Jelang kelulusan, saya sempat memilih jurusan arsitektur yang bisa menjanjikan karir profesional. Berkat hobi ini, saya mendapat grade yang cukup baik ketika ikut penerimaan mahasiswa di suatu universitas swasta. Pada saat test gambar, saya memilih tema lobby bioskop beserta interior dan cafetaria-nya. Menariknya, alat tulis yang diperbolehkan hanyalah pensil 2B tanpa penghapus ataupun penggaris. Sungguh pengalaman yang membekas sampai sekarang walaupun akhirnya saya masuk ke universitas negeri dengan jurusan yang berbeda pula.
Belasan tahun berselang, atau sekarang, saya tidak yakin jika masih memiliki bakat itu. Jika dikaitkan dengan istilah Practice Makes Perfect, hobi ini belum tentu bisa dikembangkan lagi, alias jauh dari kata sempurna. Selain waktu yang terbatas untuk berlatih, konsentrasi pikiran sudah jauh berbeda. Karena saat usia remaja, seseorang biasanya lebih serius jika menekuni suatu hobi. Termasuk saya, bergadang bukanlah masalah demi menyalurkan hobi.
Nostalgia ini sedikit mirip dengan cerita pembalap F1 Heikki Kovalainen, ia menyukai golf walau tak berminat untuk menjadi pe-golf professional. Begitu pula dengan saya, gambar-gambar pada tulisan ini hanyalah koleksi dari komikus non-profesional, hanya seorang biasa yang menyukai komik. Saat SMA, saya suka menggambar karena tidak perlu mengeluarkan banyak biaya, cukup bermodalkan pensil dan kertas. Satu hal yang pasti, hobi bisa bermanfaat bagi diri sendiri selama dijalani dengan benar dan penuh sukacita.