Meski begitu, bukan berarti ikhlas itu nggak bisa sejalan dengan prestasi. Siapa bilang guru yang ikhlas nggak boleh punya ambisi? Justru dengan ikhlas, seorang guru bisa lebih fokus pada tujuan utamanya: membantu siswa tumbuh dan berkembang. Setiap kali melihat siswanya paham pelajaran, setiap kali melihat ada yang berhasil meraih mimpi, di situlah letak prestasinya. Dan itu nggak bisa diukur hanya dari sertifikat atau piala, tapi dari perubahan nyata di hidup anak-anak yang mereka ajar.
Tapi, guru juga manusia. Mereka butuh terus belajar dan berkembang. Mau nggak mau, dunia pendidikan terus berubah, dan guru yang hebat adalah mereka yang selalu upgrade diri. Ikut pelatihan, baca buku, atau sekadar ngobrol sama rekan sejawat untuk saling bertukar pikiran. Semua itu dilakukan demi satu tujuan: jadi guru yang lebih baik, biar bisa kasih yang terbaik buat siswa. Jadi, meskipun ikhlas, guru juga harus berprestasi, tapi dengan cara yang tulus.
Ada kalanya, guru harus bisa jaga keseimbangan. Nggak mudah memang, antara pengabdian untuk siswa dan pencapaian pribadi. Tapi bukan berarti dua hal itu bertolak belakang. Justru, dengan menyeimbangkan keduanya, guru bisa jadi pribadi yang lebih utuh. Tetap berambisi untuk maju, tapi dengan niat yang lurus: demi masa depan siswa dan juga kebanggaan diri sebagai pendidik.
Pada akhirnya, mengajar dengan ikhlas dan tetap berprestasi itu kayak sebuah perjalanan. Ada jatuh bangunnya, tapi semuanya terasa lebih bermakna ketika dilakukan dengan hati. Ketika guru bisa memberikan yang terbaik tanpa pamrih, prestasi itu datang dengan sendirinya. Dan yang paling penting, kebahagiaan sejati itu muncul saat melihat siswa berhasil, dan sadar kalau kita punya andil di balik itu semua.