Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Menguak Etnisitas di Dalam Menjalankan Roda Pemerintahan Indonesia

8 Mei 2020   20:35 Diperbarui: 8 Mei 2020   21:46 368 0

Mulai diberlakukannya desentralisasi memicu konflik etnis di daerah. Beberapa pandangan masyarakat mungkin tidak membenarkan hal ini dikarenakan konflik etnis memang sudah sering terjadi bahkan sebelum reformasi. Tetapi sebagian pandangan membenarkan akan diberlakukannya desentralisasi memicu terjadinya konflik etnis di daerah. 

Sebenarnya program pemerintah yaitu desentralisasi benar-benar mulai dijalankan pada tahun 2001 atau sering terdengar di telinga masyarakat dengan istilah otonomi daerah. Dimana daerah diberikan keleluasaan atas penyerahan kekuasaan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur bagaimana provinsi mereka sendiri supaya berkembang dengan ketentuan asas otonomi.

Konflik etnis adalah konflik yang terkait dengan permasalahan permasalahan mendesak mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial di antara dua komunitas etnis atau lebih (Brown, 1997). Kasus pada tahun sebelum desentralisasi menunjukkan  data konflik etnis yang terlihat bahwa konflik etnis memang sudah ada dan sudah sering terjadi sebelum berlakunya pemerintahan yang desentralisasi. 

Tetapi bagaiamana sebenarnya penampakan yang terjadi di daerah saat awal kemunculan desentralisasi yang masyarakatnya selama 32 tahun hidupnya selalu diatur oleh pemerintahan pusat atau istilahnya adalah sentralistik. Semua peraturan mulai dari yang dekat dengan kehidupan masyarakat yang bahkan pemerintah pusat atau presiden belum pernah melihatnya semua diatur oleh pusat. Seolah-olah pusat tau apa yang sebenarnya terjadi di daerah.

Semasa sentralistik banyak daerah-daerah yang menginginkan melepaskan diri dari Indonesia. Layaknya provinsi Aceh dan Papua, yang kehidupannya diusik dan diatur pemerintahan pusat tetapi sangat jauh dari kata layak akan diurus pemerintah. Dan masih banyak daerah-daerah yang menginginkan pelepasan diri dari NKRI. Tetapi mereka bungkam, penguasa-penguasa daerah hanya bisa diam karena takut akan pemerintahan pusat pada masa itu. 

Kemudian setelah desentralisasi dijalankan, daerah-daerah yang diberi kekuasaan untuk mengurus dirinya sendiri merasa senang. Mereka membuat peraturan-peraturan yang baik untuk perkembangan daerahnya. Hingga mulai muncullah permasalahan-permasalahan, muncul cekcok antara daerah satu dengan daerah lainnya, terdapat konflik didalam daerah, hingga muncullah apa itu pemekaran provinsi dan masalah-masalah lainnya.

Masa orde baru, daerah banyak diekslpoitasi oleh pusat. Pemilihan gubernur dan bupati sebatas penyerahan nama dari DPRD ke DPR RI, namun untuk penunjukannya semua dilakukan oleh pusat bahkan mirisnya terkadang terjadi penunjukan gubernur dan bupati yang bukan dari daftar nama yang diajukan oleh DPRD. Hal ini dilakukan pemerintah pusat untuk memperlanggeng kekuasaanya. 

Bagaimana pemerintahan pada masa orde baru yang sebegitu lamanya hanya dipegang oleh elite-elite politik saja. Sampai dengan 32 tahun Indonesia dikuasai oleh presiden yang sama. Saat itu pemerintahan dengan sentralistik atau lebih dikenal dengan otoriter yang semua kehendak ada di tangan pusat. Masyarakat dilarang mengikuti organisasi masyarakat dan partai politik benar-benar dikebiri. 

Masyarakat dibungkam dan muncul penderitaan masyarakat pada zaman itu ketika hak-hak yang ada di daerah mereka yang seharusnya mereka rasakan mereka tidak merasakannya. Akibat ekstensifnya pengurasan dan ekstraksi akan sumber daya, menyebabkan daerah tidak beranjak maju melainkan belitan kemiskinan semakin menjadi-jadi. Hal ini banyak terjadi di Kalimantan, Papua, Aceh, Riau, dan daerah lainnya semasa berkuasanya pemerintahan orde baru. 

Sebagai akibat pengurasan sumber daya alam, ekonomi, dan politik yang ada di daerah yang dirasa tidak memperbaiki kehidupan masyarakat, muncullah berbagai konflik etnis saat itu, misalnya Aceh yang kemudian muncul Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sejak tahun 1976 yang mengumandangkan perlawanan terhadap pemerintah pusat. Perlawanan GAM menuntut kemerdekaan ditanggapi pemerintah pusat dengan kekerasan.

Konflik yang terjadi di Kabupaten Poso pada tahun 1998-2001 akibat perkelahian antara pemuda yang mabuk meluas hingga konflik agama. Pasalnya kehidupan toleransi yang ada di Kabupaten Poso terbilang masih sangat rendah. Terjadi tindakan anarkisme yang saling menghancurkan, membakar, hingga membunuh antar dua komunitas yang berbeda agama yaitu antar agam Islam dan Kristen. 

Kemudian konflik etnis mulai menjadi-jadi ketika muncul konflik baru antara masyarakat pendatang dengan penduduk lokal yang mengkambinghitamkan konflik Poso. Konflik ini dikarenakan perebutan kekuasaan elite politik yang menginginkan posisi-posisi strategis dalam struktur pemerintahan, persaingan tersebut melibatkan dua komunitas agama.

Berdasarkan pasal 18 UUD 1945 yang berbunyi “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan UU, dengan memandang dan mengingat dasar pemerintahan negara, dan hak asal-usul di dalam daerah yang bersifat istimewa”.

Kemudian lahirkan beberapa UU yaitu: Undang-Undang No.1 Tahun 1945, Undang-undang No. 22 Tahun 1948, Undang-undang No. 1 Tahun 1957, Undang-undang No. 18 Tahun 1965, Undang-undang No. 5 Tahun 1974, dan Undang-undang No. 22 dan 25 Tahun 1999.

Undang-undang No. 22 dan No. 25 Tahun 1999 diimplementasikan terhitung sejak 1 januari 2001, muncul gejala etnosentrisme yang tidak sehat di daerah. Kondisi ini tidak dipikirkan sebelumnya oleh pembuat kebijakan sehingga tampak kurang antisipatif dari pemerintah. 

Ketika terjadi pengalihan status kepegawaiaan pusat ke daerah banyak diantara pegawai pusat yang berbondong-bondong pindah ke daerah asal. Bahkan ada beberapa pejabat pemerintah daerah yang dengan terbuka mengatakan kepada warganya yang berada di luar kota segera pulang kampung, untuk membangun daerah bersama-sama.

Ada sebagian pendapat menyatakan bahwa dengan implementasi kebijakan otonomi daerah, semangat nasionalisme semakin luntur dan semangat kedaerahan yang semakin menguat. Kemudian untuk pencalonan kepala daerahpun secara praktik mempersyaratkan harus putra daerah itu sendiri. 

Apakah konsep putra daerah dan bagaimana indikatornya sampai sekarang tidak begitu jelas konsep dan penjelasan akademik yang mampu meyakinkan. Isu putra daerah sesungguhnya tidak lebih merupakan alat yang digunakan untuk menggugurkan seorang calon pimpinan yang bukan dari daerah tersebut.

Dalam konteks otonomi daerah, paham etnosentrisme yang berpusat kepada kelompok masyarakat setempat dalam pengelolaan pemerintahan daerah menjadi efisien, karena apa, pejabat daerah berasal dari masyarakat setempat, sehingga memiliki local knowledge dan komitmen terhadap daerahnya dan penduduknya. Hal ini sejalan dengan Miles’Law of Political and Administration yang menegaskan “Where you sit is where you stand” (Bingham, 1999: 5). Pemerintah daerah juga menjadi lebih dipercaya kepada masyarakat setempat yang notabene mereka lebih dekat, lebih bertanggung jawab, dan lebih mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat setempat (Osborne dan Gaebler, 1993: 283-284 di dalam buku Teori Pemerintahan, Rahman Fathur: 2018). 

Bahkan menurut Surbakti Ramlan, kewenangan otonomi diberikan kepada daerah ialah untuk memelihara dan mengembangkan identitas budaya lokal. Tanpa otonomi yang luas, daerah-daerah akan kehilangan identitas budaya lokal baik berupa adat istiadat maupun agama, seperti Bali, Yogyakarta dan Aceh.

Di dalam suasana reformasi, terdapat tuntutan supaya sentralisasi segera ditiadakan dan desentralisasi dilaksanakan. Tetapi anggapan bahwa desentralisasi akan menimbulkan perpecahan justru muncul. Diakibatkan terlalu luasnya kewenangan yang diberikan pemerintah pusat kepada daerah yang akhirnya pada saat itu pemerintah pusat tidak dapat mengendalikan apa yang terjadi di daerah. Daerah merasa sudah otonom dam kuat sehingga menginginkan memisahkan diri. 

Adanya sistem pemerintahan yang desentralisasi memungkinkan terjadi kesenjangan antara satu daerah dengan daerah yang lain, mengingat sumber daya alam yang dimiliki daerah berbeda-beda serta kapabilitas daerah yang tidak merata. Hal ini menimbulkan pertumbuhan ekonomi antar daerah tidak seimbang. 

Dengan diberlakukannya desentralisasi bisa terjadi juga persaingan yang tidak sehat antar daerah. Upaya pemerintahan daerah yang menginginkan daerahnya maju sehingga menarik para investor domestik maupun asing. Yang ujung-ujungnya menimbulkan terbentuknya pemerintahan daerah yang seperti pemerintahan pusat, terjadi KKN.

Pada masa orde baru tumbang, harapan tinggi untuk membawa bangsa Indonesia menuju pemerintahan yang demokratis melalui desentralisasi. Runtuhnya orde baru dinilai sebagai transisi politik dari negara otoriter menuju negara demokratis, yang tadi sistem pemerintahan sentralistik menjadi desentralistik. 

Di tengah sistem pemerintahan negara yang bertransisi menuju negara demokratis lain hal di daerah seperti Aceh, Kalimantan ditambah Papua, Sulawesi, Maluku, Ambon, dan juga Riau muncul konflik etnik yang berujung dengan kekerasan, brutalitas, dan pembersihan terhadap etnik. Utamanya terjadi pada penduduk setempat dengan penduduk pendatang. 

Di beberapa daerah semangat kedaerahan mulai bangkit dan menghancurkan siapa saja yang selama ini dianggap pencipta kemiskinan dan keterbelakangan di daerah tersebut. Di Aceh yang diwakili GAM (Gerakan Aceh Merdeka) selain membenci Jakarta atau pemerintah pusat juga mengusir orang-orang suku Jawa, di Kalimantan suku Dayak membersihkan suku Madura dari daerah mereka, di Sulawesi yaitu Kabupaten Poso konflik agama makin tidak terkendali, di Maluku dan Ambon konflik agama dan kesukuan eskalasinya juga semakin tinggi. 

Sementara di Papua, akibat mengalami deprivasi ekonomi dan politik yang berkepanjangan sampai ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia. Di Riau perasaan anti terhadap pemerintah pusat muncul ditambah lagi keinginan Melayu menjadi tuan rumah makin menggaung keras. Konflik etnik yang bertumpang tindih dengan sentimen agama, kesukuan, dan ketimpangan ekonomi serta politik itu semakin nyaring terdengar di berbagai daerah di saat kekuasaan pusat terus melemah.

Di beberapa daerah yang terjadi konflik etnis mulai terjadi perundingan damai diprakarsai oleh perundingan Helsinki antara GAM dan pemerintah Indonesia. Dalam perundingan ini mendorong Aceh untuk berdamai. Sedangkan di beberapa daerah seperti di Kalimantan konflik etnis mulai mereda sudah tidak berkecamuk, konflik etnis di Maluku dan Ambon juga terus menurun, Di Riau tuntutan untuk memisahkan diri dari NKRI juga telah bungkam, ketegangan di daerah-daerah mulai surut. Lain hal dengan di Sulawesi yang telah diam tetapi belum sepenuhnya diam. 

Di Kabupaten Poso masih pernah terjadi peledakan bom dan pembunuhan 3 pelajar non muslim dengan ditebas pada bulan Otober 2005 lalu. Konflik ini merupakan konflik adanya kekerasan di lingkup agama. Kemudian di Papua yang sampai saat inipun masih sering menuntut pemberlakuan otonomi khusus dan telah dikabulkan serta adanya penolakan untuk Papua dipecah-pecah menjadi beberapa provinsi. Jika persoalan di Papua sampai salah tindakan dan penanganan oleh pemerintah pusat. Dapat dipastikan ketidaksenangan rakyat Papua kepada pemerintah pusat terus akan terjadi dan terjadi anti pemerintahan pusat.

Sebenarnya yang terjadi saat ini aau konflik etnis memang sudah lama terjadi bahkan sebelum desentralisasi dijalankan konflik etnis udah sering terjadi. Konflik etnis mulai menggebu-gebu setelah adanya UUD 1945 pasa 18 tentang otonomi daerah. Dan iya benar tidak selamanya perubahan membawa kebaikan namun pasti terdapat dampak negatifnya. 

Dampak negatif seperti memicu terjadinya konflik etnis memang benar. Tetapi tindakan pemerintah sangat penting untuk meredam permasalahan. Desentralisasi merupakan bentuk pemerintahan daerah yang masing-masing akan membuat dan menjalankan kebijakan berdasarkan kehendak rakyatnya, tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan negara, dan harus sesuai dengan bidang kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat.



DAFTAR PUSTAKA
Kambo, Gustiana A. Etnisitas dalam Otonomi Daerah Ethnicity in Regional Autonomy. Jurnal Magister Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Volume 1, Number 1, January 2015
Agustono, Budi. DESENTRALISASI DAN POTENSI KONFLIK HORIZONTAL: Refleksi Relasi Pusat dan Daerah. Jurnal Antropologi Sosial Budaya Universitas Sumatera Utara ETNOVISI Vol. 1,No.3, Desember 2005
Diharna, Dede Mariana, dan Utang Suwaryo.Implikasi Penerapan Kebijakan Otonomi Daerah Terhadap Hubungan Eksekutif dengan Legislatif Daerah (Studi Proses Penyampaian Laporan Pertanggungjawaban Tahunan Kepala Daerah di Propinsi Jawa Barat). Jurnal Sosiohumaniora Vol. 5, No. 3, November 2003: 193 – 204. Staf Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran
Tori, Hernan.Kebijakan Otonomi Daerah dan Keadilan dalam Mewujudkan Good Governance.Jurnal TAPIs Vol.7 No.12 Januari-Juni 2011. Dosen Tetap pada FISIP Universitas Megou Pak Tulang Bawang
Koswara, E. Menyongsong Pelaksanaan Otonomi Daerah Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999: Suatu Telaahan menyangkut Kebijakan, Pelaksanaan dan Kompleksitasnya.Jurnal Analisis CSIS, No. I Tabun XXIX/2000.
Neill, Daniel I.O.1999.Multicultural Liberals and the Rushdie Affair: A Critique of Kymlicka, Taylor, and Walzer.Jurnal Notre Dame: Cambridge University Press Vol 61, No 2
Tilaar, H.A.R.Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia.Jakarta: PT Asdi    Mahasatya
Rahman, Fathur.2018.Teori Pemerintahan.Malang: UB Press
Varshney, Ashutosh.2002.Ethnic Conflict and Civic Life: Hindus and Muslims in India. New Haven & London: Yale University Press
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun