Pagi ini dia muncul dan mengacaukan kebiasaan pagi saya untuk selalu sarapan sendirian. Call me weird, tapi saya terlanjur jatuh hati dengan ‘kerajaan’ serba sendiri yang saya ciptakan ini. For me, it is always nice to live solitarily. Beruang, harimau, orangutan, kuda nil, semuanya dikenal sebagai penyendiri ulung. Dengan hidup soliter, tak ada lagi ruang yang perlu kita sisakan untuk dibagi. Selamat tinggal juga untuk toleransi, yang seringnya kita sisihkan atas nama tak enak hati.
Bagaimana bisa orang-orang itu membiarkan hidup mereka bersinggungan terlampau dalam dengan yang lainnya?
Sebelum tuntas kepala saya menemukan jawaban, biji mata kami sudah lebih dulu bertabrakan.
Dia tertawa. Tawa persis sama dengan yang dipecahkannya semalam di muka pintu kamar saya.
“Kamar 811?” tanyanya, ketika jarum dari jam tangan yang saya letakkan di meja sisi tempat tidur nyaris melampaui angka sebelas.
Entah setelah ketukan di bidang pintu yang ke berapa, saya akhirnya memang terbangun dan menatap dia sebal dengan wajah bekas tertimbun bantal.
“Apakah Anda perlu saya kirim ke taman kanak-kanak lagi untuk bisa membaca nomor yang tertempel di pintu?” Saya mengantuk luar biasa dan sedang tak punya selera bercanda, tapi saat itulah tawanya menghambur ke udara.
“Saya nggak merokok,” jawab saya menanggapi pertanyaan soal pemantik apinya, dengan wajah tak senyalang semalam. Entah sebagai sinyal damai atau lantaran aroma tubuhnya yang, emmm.. menyenangkan, kali ini wajah saya terbubuhi senyuman.
Betul. Mungkin mata saya belum berada dalam kondisi paling tajam, tapi penampilannya jauh lebih segar ketimbang semalam. Di perjumpaan kedua kami, dia memilih paduan celana jins biru gelap dengan kemeja flanel bermotif kotak-kotak warna cerah yang lengannya sudah digulung hingga ke siku. Rambutnya pendek rapi setengah basah, sementara di pipi dan dagunya saya temukan bintik-bintik halus cambang, hasil bercukur dua hari sebelumnya (karena for me, it is the best time to see your scratchy-faced partner, saat cambang mulai ‘nongol’ lagi dan menciptakan aksen paling maskulin).
Dan melengkapi suguhan Tuhan yang tengah menjulang di hadapan saya ini, ada bibirnya yang semerah seperti baru terpoles sikat gigi. Remahan tawanya tadi, tertinggal menjadi seulas senyum yang mustahil saya hindari.
Tanpa mengajukan permisi, dia memindahkan ransel di punggungnya ke kursi di seberang saya. Dengan sigap, dia mengambil kursi yang lainnya dan duduk dengan manis di sana sehingga kami pun kini duduk berhadapan.
“Nenek gue juga tahu lo nggak ngerokok.” Dia tertawa kecil.
Terus terang, saya buta harus bersikap apa. Laki-laki ini main duduk tanpa bertanya, melangkahi batas ‘wilayah’ yang tak akan pernah kasat oleh mata siapapun selain saya. Daerah istimewa milik saya, dia masuki begitu saja.
“Tahu darimana?” Cuma pertanyaan bego itu yang akhirnya keluar dari mulut saya, asal ceplos saja entah bagaimana ceritanya.
“Siapa? Nenek gue? Wah, gue belum nanya sih,” sahut dia, sama asalnya dengan saya. “Gue mau ambil kopi. Titip sesuatu? Roti?” Mungkin karena dia tak melihat ada makanan kecil di atas meja.
Saya menggeleng. Ini tak pernah kurang dari cukup; sebuah mug, seperempat gelas susu, segelas air hangat, sepiring nasi goreng dengan telur digoreng mata sapi, dan teh kantong yang akan saya seduh dengan ketepatan sempurna.
Dia kemudian berdiri, berjalan menuju meja tempat minuman hangat bisa langsung dituang. Di sana ada satu ketel isi teh dan satu ketel kopi yang sudah jadi, tamu-tamu hotel tinggal menambah gula atau krimer sesuai selera.
Saya meletakkan kantong teh di dasar mug, lalu menuanginya dengan segelas air hangat. Kata George Orwell, teh terbaik dihasilkan dari seduhan selama tiga menit agar tak terlalu pahit, dan begitulah yang tak pernah luput saya lakukan. Menakar durasinya dengan kepastian yang presisi.
Hmm.. Tak ada yang lebih saya sukai daripada kombinasi ini: pagi hari, menyendiri, dan menunggui segelas teh yang diseduh sampai menginjak titik sempurna.
Beruntung kadar patuh saya dalam ‘upacara’ kecil membuat teh ini tak sampai menandingi Beethoven. Artist jenius itu setiap pagi memilah sendiri keenam puluh biji kopi yang akan diseduhnya. Betul, tepat enam puluh. Saya memilih daun teh sendiri? Terima kasih.
Saya baru saja menekan tombol penghitung waktu mundur di ponsel saat dia kembali dengan cangkir berasap mengepul.
Pagi ini, saya tak sendiri.
“Tanpa gula?” tanyanya heran sambil memandang mug tempat label teh saya menjuntai.
Saya menggeleng. “Glukosa akan mengganggu rasa asli kafein. Pecinta teh sejati pantang menyentuh gula.”
Dia tertawa. “Kalau begitu I am not in,” katanya sambil merobek bungkus gula sachet dan menuang isinya ke cangkir minumannya. “Dan bukan penggemar kopi garis paling tulen juga, gue rasa.” Dia tersenyum jenaka sebelum menyesap bibir cangkirnya.
Kali ini, saya tertawa.
Dan ketika kita tertawa, bukankah semua batas biasanya jadi terpangkas dan rasa rikuh akan luruh? Saat itulah kita berada di tempat paling rapuh, membiarkan orang lain masuk dalam hidup kita yang sebelumnya utuh.
Wrong move, Jena.
“Oh iya,” ujarnya, setelah sesapan ketiga (dan setengah tak percaya bahwa saya betul-betul memperhatikannya!). “Maaf buat kejadian semalam.”
Kejadian… Oh.
“Nggak apa-apa. Bukan mau kamu juga resepsionisnya salah ngasih nomor kamar.”
“Dan ganggu orang malam-malam.” Dia terkekeh. “Gue di 821,” katanya menyebutkan nomor kamar yang benar.
Saya mengangguk.
Laki-laki yang kelihatannya… yah, cukup menyenangkan, masa ke tempat romantis macam ini sendirian?
“Lo sarapan sendiri?” Justru dia yang pertama melempar pertanyaan itu, dengan nada, well, cukup sopan karena saya tak berhasil menemukan nyala penasaran yang menyebalkan dari mimik wajahnya.
“Iya,” jawab saya. “Kamu tiba larut betul. Liburan?”
Duh! Lidah ini hampir putus saya gigit. Sejak kapan saya jadi begini mudah penasaran dengan urusan orang? Persetan dia mau liburan, kunjungan dinas, bertemu teman, atau bulan madu sekalipun…
… Kemungkinan yang terakhir, entah kenapa, membuat ludah ini saya telan mati-matian.
“Pengennya sih liburan solo seperti lo.” Dia tertawa. “Gue wartawan. Ada seminar yang harus diliput di sini. Bad luck.” Disesapnya kopinya lagi.
Ooh.. Saya mengangguk lagi tanpa sadar.
Syukurlah bukan bulan ma… Ah, mulai ngaco kan!
“Darimana kamu tahu saya liburan?”
Jena, harusnya kamu tutup mulut saja dan memaksanya lekas pergi agar kamu bisa kembali sendiri! ‘Pagar’ milikmu mulai terbuka terlalu lebar..
Mendadak saya tersengat kesadaran.
Meski belum pernah sengaja saya kunci, ‘pagar’ ini memang tak sering dilewati orang. Sebagian segan karena saya tampak begitu nikmatnya sendiri, sebagian besar lainnya mungkin tak peduli.
Yang duduk di depan saya sekarang ini rupanya datang dari kelompok agak ‘ajaib’.
Dia tertawa lagi. “Ini Bali. Lo nggak mungkin liburan rame-rame ke sini cuma buat bangun pagi dan ikut jadwal sarapan hotel kan?” Pertanyaannya tak butuh jawaban. “Kalau nggak sendiri, harusnya semalam lo teler di reggae bar dan baru bangun menjelang makan siang.”
Sedikit tersinggung karena kata-katanya semua benar.
“Kamu sendiri bangun pagi. Barnya sudah tutup semalam?” Saya memutuskan untuk balas menyindir.
“Itulah bedanya. Kalo liburan sendirian, bangun pagi karena memang lapar dan mau makan. Kalo kerja, bangun pagi cuma untuk mengejar kopi dan pergi lagi.”
Dia tertawa, dan kali ini, mau tak mau, saya pun juga.
“Lo… di sini sendirian?” tanyanya lagi, menatap saya. Membuat rute napas ini jadi lebih panjang tiba-tiba.
“Iya.”
“Ngapain?”
“Maksud kamu?”
“Ngapain di Bali sendirian? Di kampung juga bisa.”
Saya tertawa.
“Ya kalau bisa sendirian ngapain harus rame-rame?”
Dia menuntaskan sesapan di cangkirnya, lalu balas tertawa. Di sudut bibirnya, saya bisa melihat jejak kopinya yang tertinggal. “Karena there are too many things in this world yang rasanya bukan untuk dinikmati sendirian,” katanya sambil memberi saya senyum kecil. “Lo suka pizza nggak?” tanyanya, sekedar memberi jeda. “Bahkan regular size of pizza aja isinya empat potong sementara perut lo cuma butuh dua slices.” Dia tertawa. “Ngabisin makanan yang lo suka pun lo nggak bisa sendirian.”
Saya mencerna kata-katanya, lalu ikut larut dalam tawa. “Kalau sudah tahu nggak bakal habis, ya bikin pizza sendiri aja. Semua bisa terserah kita. Nggak perlu ikut standar orang.” Heran, saya masih saja membiarkan orang ini mengganggu kualitas waktu saya. “Kita lebih suka mendengarkan apa inginnya orang daripada mencari tahu kemauan sendiri karena buat kita, itu jauh lebih mudah. Iya, kan?”
Tatapannya menjaring milik saya, lalu tawa kami berdua pecah ke udara.
“Daripada repot bikin sendiri, mending gue belajar gimana caranya ngabisin empat slices pizza ajalah.”
Saya terbahak. Dia terkekeh lalu mengusap bibirnya dengan selembar tisu dari atas meja.
“Gue dari Jakarta. Lo?” tanyanya.
“Saya juga,” jawab saya.
“Wah. Kerja di mana?”
“Sudirman.”
“Gue juga Sudirman. Gedung apa?”
“Menara Indonesia.”
“Lantai?”
“Delapan. “
“Gue tujuh belas.” Meledak tawanya. “Kalo ngajak lo makan siang bareng kapan-kapan, ngantrinya panjang nggak?”
Saya tersenyum mendengar ajakannya. Senang, tapi sekaligus juga kebingungan karena hobi sendirian ini langsung merasa terancam.
Akhirnya, entah didorong kekuatan yang mana, saya mengangguk. “Nggaklah.”
Dia tertawa lagi, lalu merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Kertas kecil dan pulpen. “Gue ambil nomor antrian dari sekarang ya,” katanya sambil menulis sesuatu dan memperlihatkan kertas itu pada saya. Tertulis “01″.
Giliran saya tertawa. “Nanti saya pertimbangkan.”
Tersenyum, dia menggulung lengan kemejanya sampai ke atas siku dan mengambil gelas air putih di sebelah cangkirnya.
Saat itulah saya melihat tulisan yang membujur di tangannya. Tato sebuah nama: Girardia tigrina.
Agak lama saya memandang tatonya dan bertanya-tanya dalam hati.
Pacarnya? Istrinya? Atau.. Anaknya? Duh, lancang betul kepala ini menduga-duga! Siapa itu kan tak jadi perkara. Memangnya kamu siapa?
Dia rupanya kemudian menyadari arah mata saya dan tertawa.
“Lo belum pernah dengar nama ini?” Dia menunjuk tatonya.
Saya menggeleng. Well, it does sound sexy. Tapi memangnya dia siapa sampai saya harus tahu?
“Ini nama latin cacing pipih.” Dia nyengir.
Oh? Binatang?
“Cacing pipih?” Saya gagal memahami maksud bicaranya.
Dia mengangguk. “Gue jatuh hati sama spesies ini begitu tahu kalau cacing pipih punya ingatan masa lalu yang luar biasa. Lo tahu nggak kalau binatang itu tetap bisa mengingat meski kepalanya dipotong lepas dari badannya?” Dia menjelaskan dengan suara, gestur, dan mimik wajah yang antusias. Mengingatkan saya pada keponakan laki-laki saya yang tak lama lagi masuk sekolah dasar, saat dia menuturulangkan kelanjutan cerita film kartun kesayangannya.
Entah kenapa, saya senang melihatnya.
Aduh. Ini pasti karena sudah terlalu lama saya nggak membiarkan orang lain masuk ke ‘wilayah’ saya..
“Artinya, memori cacing pipih nggak cuma ada di kepala, tapi juga di sel-sel tubuhnya. Isn’t it amazing?” tanyanya, masih dengan antusias yang sama. “Bayangin kalo lo jadi dia. Bawa kenangan dari masa lalu ke mana-mana, nggak bisa lupa sampe mati karena itu nempel di badan lo. Mau nggak lo?
Mendapat pertanyaan macam begitu, jawaban apa yang harus saya berikan? Maka karena memang tak tentu harus berbuat apa, saya pun diam. Begitu juga dia. Tapi ini tak lama saja, karena detik berikutnya tawanya sudah lebih dulu tergebah ke udara. “Anjing, banci parah ya gue pikir lo,” ujarnya di sela tawa. “Dan biar gue makin kelihatan banci, let me tell you another thing: tato ini gue buat sehari setelah patah hati.”
Saya menatapnya, lagi-lagi bingung harus mengucapkan apa. Haruskah meletuskan confetti dan ikut tertawa, atau menitipkan simpati?
“I am so sorry.” Cuma itu yang kemudian meluncur dari mulut saya.
Dia terkekeh. “Nggak perlu,” katanya sembari mengambil ransel di kursi sebelahnya. “Begitu waras, gue pun langsung kepikiran untuk removal surgery.”
Kami berdua tertawa.
Dia melongok jam di pergelangan tangannya, lalu mengerang kecil. “Ah. I have never been an advanced early riser. Tolong bantu gue dengan doa supaya sampai sana nggak terlambat keterlaluan ya. I gotta go..” Dia terkekeh. “Sampai ketemu lagi… Gue Ferdi. Sorry, gue sampe lupa nanya nama lo siapa.” Dia mengulurkan tangannya.
“Jena.” Saya menyambut tangannya, tersenyum.
“Jena, sampai ketemu lagi dan have a wonderful room number 811. That’s all yours, karena habis acara gue langsung balik ke Jakarta.”
Saya tertawa.
“Bye, Jen.” Dia berdiri dan berjalan menuju pintu di belakang punggung saya. “Oh ya satu lagi,” katanya tiba-tiba, menghentikan langkah dan menoleh pada saya. “Protein bisa merusak kecanduan lo pada nikotin.”
Saya memandangnya bingung.
Dia tertawa, menunjuk meja saya. “Gelas susu lo. Karena itu nggak ada orang yang merokok sambil minum susu.”
Dia tertawa lagi, lalu melambaikan tangan dan kali ini benar-benar menghilang ditelan pintu.
Saya tersenyum.
Well. Ferdi. Common and easy name. Mudah diingat, terlebih karena orangnya yang memang menyenangkan..
.. Oke, lupakan. Tak ada yang lebih nikmat daripada pagi hari, menyendiri, dan secangkir teh yang diseduh dengan takaran sempurna…
Ouch!
Speaking of making a perfect cup of tea..
Saya buru-buru mengeluarkan tea bag dari dalam mug dan meletakkannya di atas piring.
Aduh, saya menelan ludah.
Kaum tea enthusiast biasanya menambahkan madu atau susu sebagai pengganti gula. Buat saya, yang ternikmat jatuh di pilihan kedua. Tapi, apapun tambahannya, untuk mendapat rasa terbaik, kami sepakat bahwa teh hitam cukup diseduh selama tiga menit. Lalu, seduhan teh dituang ke seperempat gelas susu dan bukan sebaliknya, karena dingin susu akan pelan-pelan menyerap panas dari teh dan ini akan membuat cita rasa teh tetap terjaga..
Saya memandangi countdown timer yang sudah berhenti di titik nol entah sejak kapan, kemudian ganti menatap mug berisi teh yang warnanya lebih pekat dari biasanya.
Saya menyesapnya pelan-pelan.
Betul, kan..
Rasa pahit yang asing menuruni tenggorokan saya..
Saya tersenyum sambil meletakkan mug teh ke atas saucer, sentuhan keduanya menimbulkan denting halus akibat porselen yang beradu.
Ya sudahlah, saya menyusut sisa teh di sudut bibir dengan serbet kain di atas meja. Meski tak sempurna, seduhan teh kali ini justru terasa istimewa..
.. dan seharusnya sih saya tahu betul alasannya kenapa.
“Jen, sorry gue lupa.”
Suara itu lagi!
Ferdi. Jantung saya langsung mogok jalan.
“Nomor kontak lo berapa?”