Beranda rumah. Senja merekah. Warna jingga tumpah di halaman.
Saya (S): Aku capek. (Meregangkan kaki. Menatap jalan raya. Menikmati bising kendaraan dari kejauhan.)
Tuhan (T): Kenapa?
S: Jangan tanya. Bukankah Kau seharusnya Maha Tahu Segala? (Menatap cangkir teh hangat yang duduk tegak di atas meja.)
T: Sesulit itukah menengadahkan kepalamu padaKu dan bercerita?
S: (Diam sejenak. Menegakkan duduk) Katanya Kau Maha Kuasa. Tapi kenapa Kau bikin hidupku jadi begini rumit? (Mengambil cangkir teh. Meniup bibir cangkir dan menyesapnya perlahan.)
T: Serumit doa yang kalian pintakan padaKu setiap hari?
S: Aku manusia biasa. Aku berhak meminta banyak hal kepadaMu. (Meneguk minuman kembali . Cairan kuning keemasan yang manis dan hangat mengaliri tenggorokan.)
T: Sebagaimana hakKu menerima sujudmu padaKu?
S: Jangan mengelak. Kau Tuhan. Kau wajib mendengarkan doaku.
T: Dan kau pun wajib menaatiku, bukan?
S: (Mengedikkan bahu.) Itulah. Urusanku terlalu banyak.
T: Sebanyak urusan yang kau pasrahkan padaKu setiap kau bertemu jalan buntu?
S: Oke, oke. Aku tahu. Urusanmu bisa jadi lebih banyak dariku. Tapi, sekali lagi, Kau Tuhan. Berdasarkan apa yang kudengar, Kau seharusnya sempurna, kan?
T: Betul. Itulah sebabnya Aku masih mau mendengarkanmu.
S: Begitulah seharusnya. Bukankah Kau memang Maha Mendengar?
T: Tepat sekali. Sayang, kau tutup pintu hatimu rapat-rapat saat Aku bisikkan jawaban.
S: Kau Maha Pengatur. Kenapa tak Kau buat hidupku jadi sempurna?
T: Apa pikirmu arti sempurna itu?
S: Punya segalanya.
T: Dan kau masih saja tak menyadarinya?
S: Jadi Kau anggap aku tak pernah merasa puas? (Diam.)
Kalau Kau Maha Pengatur segala sesuatunya, kenapa masih perlu ada dosa? (Menggeser posisi duduk.)
T: Akankah kau tetap ingat padaKu, kalau begitu? Dosa. Bukankah itu yang lebih kau takuti ketimbang aku?
S: (Tertegun. Mengetuk-ngetuk pinggiran meja.) Aku marah.
T: Pada apa?
S: PadaMu. Padanya. Pada hidup. Semuanya.
T: Ikhlaskan.
S: Kau mengucapkannya semudah aku mengunyah permen. Bagaimana bisa?
T: Bisa.
S: Bagaimana aku bisa ikhlas?
T: Ingat saja Aku yang selalu ikhlas mengampuni dosa-dosamu.
S: Bagaimana caranya? Aku bukan Kamu. Pintu maafku tidak selebar milikMu.
T: Ikhlaskan.
S: Bagaimana caranya?
T: Ingatlah Aku yang selalu ikhlas menerima doamu meski Kau lalai solat. Atau alpa ke gereja.
S: Sulitkah itu?
T: Kalau kau ikhlas, semua terasa mudah.
S: Sampai kapan?
T: Bersabarlah.
S: Aku bosan menunggu.
T: Saat kau tunda waktu solatmu, Aku tidak pernah bosan menantimu. Saat kau bahagia, Aku pun tak pernah bosan menanti syukurmu.
S: (Menghela napas.) Aku bingung.
T: Mengapa?
S: Entahlah.
T: Kau pernah melihat matahari dan bulan berbenturan?
S: Belum.
T: Kau pernah melihat langit bergetar lantaran bintang yang Kutebar setiap malam bertabrakan?
S: Belum.
T: Kau pernah melihat siang berpindah menjadi malam dan malam jadi siang?
S: Belum
T: Kau pernah melihat langit melesak ke tanah dan dataran yang kau pijak melesat ke angkasa?
S: Belum. Belum pernah.
T: Dan kau masih meragukan kuasaKu?
S: (Diam. Kesunyian yang memekakkan.)
T: Aku mengatur segalanya. Sekali pun Aku tak pernah lalai. Sedikit pun Aku tak pernah keliru. Apalagi urusanmu. Percayalah, semua tepat pada waktunya. Hidup ini ibarat permainan catur. Kau pionnya. Dan aku pemainnya.
S: (Menengadah. Tersenyum. Warna senja di langit terpercik di wajah. )
T: Satu lagi yang perlu kau ingat. Kau tetap boleh memohon padaKu, pada Sang Pemain. Aku tak keberatan, sungguh. Bukahkah kau tak pernah mendengarku mengeluh?
S: (Tersenyum. Lagi.) Haruskah aku berterima kasih padaMu sekarang, Tuhan?
T: Kapanpun. Kapanpun kau mau. Pintuku selalu terbuka untukmu. Dan lagi, Aku selalu sabar menantimu...
*Dini hari, setengah meracau. Untuk diri saya sendiri, yang acapkali lalai mengingatNya... =’)
@putririzkyp