Namun, ketika aku merantau ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan, aku disadarkan pada kenyataan bahwa dunia jauh lebih beragam daripada yang dibayangkan. Budaya di kota ini begitu berbeda, orang-orang di sini berbicara dengan halus, memilih kata dengan hati-hati, dan cenderung menghindari konflik langsung. Awalnya, aku merasa susah beradaptasi. Di tempat asalku, berbicara blak-blakan adalah tanda kejujuran, tetapi di Yogyakarta, cara itu bisa dianggap kurang sopan.
Selain perbedaan dalam cara berkomunikasi, aku juga terkejut dengan perbedaan dalam makanan. Di Bima, masakan kami cenderung pedas dan kuat rasa bumbunya. Tetapi di Yogyakarta, hampir semua makanan yang aku coba terasa sangat manis. Mulai dari gudeg yang terkenal itu hingga makanan ringan seperti bakpia dan jadah, semuanya lebih manis dari yang aku bayangkan. Awalnya, aku agak kesulitan beradaptasi dengan rasa manis yang dominan dalam makanan di sini. Namun, lama-kelamaan aku mulai menikmatinya, meskipun tetap merasa masakan di Bima jauh lebih berani dalam hal rasa.
Hidup di lingkungan yang beragam juga mempertemukanku dengan berbagai stereotipe. Sebagai orang Bima, aku kadang dianggap keras atau terlalu lugas dalam berbicara. Di sisi lain, aku pernah mendengar stereotipe tentang orang Jawa yang dianggap terlalu lambat dalam mengambil keputusan. Aku menyadari bahwa stereotipe seperti ini, meski terlihat sederhana, bisa menjadi penghalang dalam membangun hubungan baik. Aku mencoba meluruskan pandangan-pandangan itu dengan berbagi cerita tentang nilai-nilai kekeluargaan dan gotong royong yang dijunjung tinggi di tempat asalku.