Cireundeu, dalam bahasa Sunda, berasal dari kata 'ci' yang berarti air dan 'reundeu' yang merujuk pada pohon reundeu yang banyak tumbuh di kampung tersebut pada masa lalu. Kampung ini memiliki sejarah panjang yang telah dimulai sejak abad ke-17.
Masyarakat Cireundeu adalah pemeran utama dalam keseluruhan cerita ini. Mereka adalah penjaga tradisi yang teguh, mencakup sekitar 1000-1009 jiwa, yang mata pencahariannya terutama berasal dari pertanian singkong di lahan seluas 20-30 hektar.
Sejak 1918, masyarakat Cireundeu telah mengalami kelaparan sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Mereka tidak lagi menggunakan beras sebagai makanan pokok, melainkan singkong, sebagai simbol perlawanan dan kebebasan.
Proses memasak singkong di Cireundeu memiliki ritualnya sendiri. Singkong diproses menggunakan dandang, kemudian dijemur dan ditumbuk. Singkong yang telah diproses dapat disimpan hingga 6 bulan, dan biasanya dimasak dengan perbandingan 1:1. Selain itu, adat pernikahan di Cireundeu tidak mengenal perceraian, dan setiap orang yang ingin menikah diharuskan memilih untuk tetap berada di dalam adat atau keluar dari adat.
Cireundeu bukan hanya sebuah kampung adat biasa. Masyarakat di sana memegang erat kepercayaan Islam dan kepercayaan Sunda Wiwitan, menciptakan campuran unik dari kepercayaan dan budaya.
Kunjungan ke Kampung Adat Cireundeu adalah sebuah pengalaman yang menggugah hati. Ini adalah cerminan dari keteguhan dan keberanian dalam mempertahankan warisan budaya, serta sebuah pengingat akan pentingnya memahami dan menghargai tradisi-tradisi yang berbeda di dunia ini.