Beberapa hari lalu, ada sebuah video yang menceritakan tentang seorang ibu memprotes anaknya karena terlalu sering buka di luar bersama teman-temannya daripada dengan keluarga.
Entah ini hanya sebuah konten semata, atau memang kejadian yang sesungguhnya. Namun, hal ini tak memungkiri terjadi di masyarakat kita.
Saya membaca komentar-komentar para netizen di media sosial soal ini, ternyata banyak hal yang memicu anak-anak muda senang buka bersama di luar ketimbang bersama keluarga.
Selain mereka senang mengupload kegiatan buka bersama tersebut, ada sesuatu kemirisan tersendiri yang terjadi dalam hati.
Pertama yang saya tangkap adalah ketidaknyamanan mereka berada dalam lingkungan keluarga atau rumah. Meja makan yang beberapa orang menjadi tempat ternyaman bersama keluarga, bisa memicu ketidaknyamanan buat beberapa orang.
Ada anak yang justru merasa risih saat bergabung satu meja makan bersama keluarga, entah karena ucapan salah satu anggota keluarga yang membuat tidak nyaman, maupun aturan saat bergabung dengan keluarga, dan lain sebagainya membuat mereka lebih nyaman saat bersama teman-temannya di luar.
Saya pribadi sejak masih di masa sekolah atau bangku kuliah, justru lebih senang buka bersama keluarga. Saya menyukai masakan mama, saya senang saat mama membuatkan makanan kesukaan saya maupun membeli bukaan yang saya inginkan. Sebagai anak, tentunya saya merasa di nomorsatukan. Bahkan, saat ekonomi keluarga tidak baik-baik saja, orangtua saya berusaha tetap memprioritaskan, menyiapkan makanan yang saya suka. Dan ini menyebabkan saya nyaman berada bersama keluarga saat berbuka, saya tidak mau membuang kesempatan berharga yang belum tentu bisa didapatkan di ramadhan selanjutnya.
Lantas, sadarkah orangtua tentang mengapa anak merasa tidak nyaman saat satu meja makan berbuka dengan keluarga?
Ada hal yang memicu orang berlari ke tempat lain mencari kenyamanan karena tempat yang seharusnya hangat menjadi dingin.
Anak-anak menjadi tidak suka masakan ibu, bahkan tidak rindu.