Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Bagaimana PSI Bisa Meyakinkan Ahoker Jika Ahok Saja Tak Mau Bergabung?

24 Februari 2019   12:58 Diperbarui: 24 Februari 2019   19:39 154 1
Tak butuh waktu lama bagi Basuki T. Purnama alias Ahok untuk memutuskan kembali terjun ke partai politik. Dua hari setelah bebas dari penjara terkait kasus penistaan agama, Ahok sudah resmi menjadi kader PDIP. Keputusan Ahok ini setidaknya menjawab sejumlah pertanyaan yang santer sebelumnya. Yaitu, apakah Ahok akan terjun ke politik lagi atau tidak. Pertanyaan lanjutannya apakah Ahok akan bergabung ke partai ini atau partai itu.

Pilihan politik Ahok ke PDIP ini sebenarnya tidak begitu mengejutkan bagi sementara kalangan. Foto-foto Ahok, yang beredar di media sosial, saat menyelesaikan proses administrasi sebelum bebas dari Mako Brimob menjadi petunjuk. Dalam foto tersebut, Ahok mengacungkan tiga jari yang masih berlumuran tinta. Tiga jari tersebut, berdasarkan penjelasan stafnya, merujuk kepada nomor urut PDIP pada Pemilu 2019 ini.

Apalagi jauh sebelumnya, November 2018 lalu, Djarot Saiful Hidayat sudah menyampaikan keinginan Ahok untuk bergabung ke partai pimpinan Megawati Soekarnoputri tersebut. Djarot juga pernah mengatakan mantan tandemnya di Pemprov dan Pilgub DKI Jakarta tersebut dirayu oleh partai tertentu. Tapi dia menolak. Karena hanya ingin bergabung ke PDIP. Alasannya, cuma PDIP yang pasang badan membela saat Ahok dicaci maki oleh masyarakat yang tidak menyukainya.

Bergabungnya Ahok ke PDIP ini memperpanjang daftar partai yang pernah dimasuki Ahok. Partai pertama Ahok adalah Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB) saat Pemilu 2004. Ketika itu menjadi calon anggota DPRD Belitung Timur dan terpilih. Lalu bergabung ke Partai Golkar pada Pemilu 2009 untuk menjadi caleg DPR RI. Dia lalu meninggalkan Golkar dan juga kursi DPR untuk maju Pilgub Jakarta. Demi memuluskan langkah tersebut, Ahok bergabung ke Gerindra yang ketika itu berkoalisi dengan PDIP mengusungnya sebagai cawagub berpasangan dengan Jokowi.

Politikus yang kerap berpindah-pindah partai selalu dicitrakan negatif. Bahkan diibaratkan sebagai kutu loncat, yang menurut KBBI sebagai kiasan orang yang menggantungkan hidupnya dengan menumpang dari satu orang ke orang lain. Itu artinya politikus kutu loncat tersebut tidak punya ideologi. Makanya peneliti LIPI Syamsuddin Haris pernah mengatakan fenomena politisi 'kutu loncat' menunjukkan rendahnya kualitas moral sang politikus dan membuktikan terjadinya pragmatisme politik yang sangat luar biasa.

Disebut fenomena karena politikus berpindah-pindah partai sudah merupakan hal yang umum. Namun yang menarik, Direktur Sabang-Merauke Circle (SMC), Syahganda Nainggolan pada Juli 2012 lalu, menyampaikan bila ada Kutu Loncat Award, Ahok yang pertama layak jadi juara. Juara kedua adalah Jeffrie Geovani. Karena sama dengan Ahok, Jeffrie juga kerap pindah-pindah partai. Dari PAN, ke Golkar lalu Partai Nasdem.

Karena itu, dengan bergabungnya Ahok ke PDIP, rekor Kutu Loncat Award masih belum ada yang bisa memecahkan. Ahok masih tetap juara, dan termasuk juga Jeffrie. Karena Jeffrie juga sudah keluar dari Nasdem. Dia sekarang bergabung ke Partai Solidaritas Indonesia, bahkan menjadi pendiri dan penyokong dana partai baru di Pemilu 2019 tersebut. Yang menarik, Jeffrie merupakan pendukung Ahok di Pilgub DKI bahkan sampai menulis buku "Ahok Melawan Arus".

Tapi sebaliknya ada juga yang kaget dengan keputusan Ahok bergabung dengan PDIP. Karena kalau pun akan terjun lagi ke partai politik, kecil kemungkinan ke partai besar, apalagi sekelas PDIP. PDIP memang mendukung Ahok pada Pilgub DKI 2012 dan 2017. Tapi PDIP merupakan partai terakhir yang menyatakan dukungan. Bahkan pada 2012 paling alot. Disebut-sebut, kalau tidak karena Prabowo Subianto, PDIP bisa tak mendukung Jokowi-Ahok.

Belum lagi sikap Ahok yang kerap menunjukkan atau dicitrakan sebagai anti partai. Termasuk pernyataannya yang pernah kontroversial bahwa partai merupakan sarang maling. Dengan demikian, kalaupun kembali berpartai, bukan ke partai lama tapi ke partai baru. Makanya tidak sedikit yang menduga Ahok bakal berlabuh ke PSI. Apalagi keberadaan bekas staf atau orang dekatnya sudah lebih dahulu bergabung ke partai tersebut. Salah satunya bahkan, seperti Sunny Tanuwidjaja menjadi Sekretaris Dewan Pembina PSI mendampingi Jeffrie Geovani sebagai Ketua.

Sementara PSI sejak Pilgub 2017 lalu mendukung Ahok total secara total, bahkan mengklaim hanya PSI yang 100 persen menddukung Ahok-Djarot. Banyak kader PSI yang terjun ke partai karena melihat sepak terjang Ahok selama ini. Bahkan nilai-nilai yang diperjuangkan PSI, seperti anti korupsi dan anti intolerani, disebut terinspirasi dari sosok Ahok. Karena itu tidak heran pula kalau kader PSI berharap Ahok bergabung. Bahkan sudah menyiapkan acara penyambutan bebasnya Ahok. Meski kemudian batal atas permintaan Ahok sendiri.

Penolakan Ahok untuk disambut ini tampaknya menjadi pukulan kecil bagi PSI. Pukulan besarnya tentu setelah Ahok menyatakan resmi bergabung ke PDIP. Visi-misi sebagai partai anti korupsi dan anti intoleransi yang digembar-gemborkan akan diperjuangkan PSI menjadi hambar. Karena tokoh panutan bahkan darinya nilai-nilai tersebut terinspirasi malah bergabung ke partai lain. Dengan demikian, bagaimana PSI bisa meyakinkan rakyat? Bisa-bisa malah masyarakat yang sudah simpati bahkan kader PSI sendiri mengikuti Ahok dengan bergabung ke PDIP.

Kasus Ahok ini harus menjadi alarm bagi PSI. Apalagi sebagai partai yang mencitrakan diri sebagai partai anak muda, PSI harus berani benar-benar menonjolkan diri sendiri, jangan lagi menjual sosok-sosok atau figur-figur yang bukan kadernya sendiri. Selain terbukti tidak bisa berbuat apa-apa, figur-figur tersebut kader partai lain dan partai lain sudah terbukti mengawal figur yang ditokohkan.

Seperti yang disampaikan Ketua Umum PSI, Grace Natalie, dalam pidato pada acara ulang tahun keempat PSI di Indonesian Convention Exhibition, BSD, Pagedangan, 11 November 2018 lalu, bahwa misi pertama dari tiga misi PSI kalau lolos ke parlemen adalah menjaga dan mengawal para pemimpin reformis di tingkat nasional dan juga lokal dari gangguan politisi hitam. Seperti Jokowi, Ridwan Kamil, Nurdin Abdullah, dan Tri Rismaharini.

Tokoh-tokoh yang disebut itu bukan baru menjabat atau pemain debutan seperti PSI. Figur-figur itu punya partai pendukung yang sudah terbukti mengawal dan mendukung kinerja mereka selama ini sehingga bisa kembali mencalonkan atau naik level kepemimpinan. Jokowi dan Risma misalnya, jelas keduanya adalah kader PDIP.

Nurdin dan Emil memang bukan orang partai. Tapi keduanya tidak pernah terdengar direcoki, karena memang partai pendukung turut mengawal dan mendukung kinerja yang bersangkutan. Untuk Nurdin misalnya, didukung PKS mulai dari bupati Bantaeng periode pertama hingga Pilgub Sulawesi Selatan. PAN mendukung sejak periode kedua hingga Pilgub. Gerindra dan PKS juga terbukti mengawal Emil selama menjadi Walikota Bandung. Memang tidak berlanjut ke Pilgub. Karena masing-masing punya alasan politik sendiri.

Karena itu lucu kalau kemudian PSI sebagai pendatang baru koar-koar mau mengawal kader partai lain atau figur yang sudah terbukti dikawal dengan baik oleh partai pengusungnya selama ini. Klaim-klaim PSI bisa pula semakin ditertawakan. Karena dalam mengawal Jokowi agar tidak dipengaruhi elite-elite partai dalam menentukan cawapres saja PSI tidak berhasil. Padahal Jokowi, dan juga sesuai dengan aspirasi PSI, menginginkan agar Mahfud MD sebagai cawapres.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun