Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Beasiswa S2 untuk Penulis Sunda

16 Desember 2010   02:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:41 309 0
Sebuah surat pembaca di Kompas Jawa Barat, Rabu, 20 Oktober 2010, mencuri perhatian saya. Judulnya sepersisnya menjadi judul artikel ini, "Beasiswa S-2 Untuk Penulis Sunda", ditulis oleh Jaya Sudjana, dari Jatinangor, Sumedang. Surat itu setidaknya mengandung dua hal yang nampak tojaiyah, keprihatinan sekaligus kebanggaan.

Keprihatinan sang penulis surat terhadap besarnya beasiswa di perguruan tinggi yang belum terserap secara optimal, bahkan terbuang mubazir dan sekiranyapun terpakai kurang memanfaatkannya dengan sepenuh tanggungjawab. Penulis surat bahkan merasa bahwa "strategi pengelolaan beasiswa perlu dikaji kembali". Uniknya, Jaya menginginkan bahwa penerima beasiswa sebaiknya ditawarkan kepada anak-anak muda yang memiliki "minat khusus" kepada kesundaan.

Ada beberapa nama yang disebut Jaya layak ditawari beasiswa untuk kuliah S-2. Nama-nama itu ditengarai sebagai " sudah sering dimuat di berbagai media Sunda dan Indonesia". Selain itu ada tiga Perguruan Tinggi yang juga disebut Jaya; Universitas Padjadjaran, Universitas Pendidikan Indonesia dan Institut Teknologi Bandung. Unpad oleh Jaya disebut sebagai "selama ini punya perhatian lebih pada kesundaan".

Tentu saja, saya sendiri senang membaca surat ini. Saya jadi ingat pengalaman sendiri ketika tahun 1999 saya menempuh Program Pasca Sarjana di IKIP Bandung. Saya menjadi angkatan terakhir Program Pasca Sarjana sebelum kemudian IKIP berubah menjadi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Ketika itu bahkan mucul seloroh yang sangat terkenal bahwa UPI itu wancahan dari Universitas Padahal Ikip.

Saat itu saya bersama beberapa teman, diantaranya Djadja Djahiri dari IAIN Sunan Gunung Djati, kini UIN (Universitas Islam Negeri) Bandung, membentuk Senat Mahasiswa PPS IKIP Bandung dengan sekretariat di lantai dua. Djadja Djahiri itulah yang kemudian menjadi Ketua Senat Mahasiswa PPS. Ketika itu kebersamaan antar mahasiswa Pasca terasa sekali, tidak peduli dari jurusan mana. Saya sendiri mengambil Ilmu Sosial, sementara Djadja Djahiri yang juga duduk sebagai salah satu Ketua MUI mengambil Administrasi Pendidikan, jurusan yang paling banyak peminatnya. Jurusan yang "paling heboh" adalah Bahasa. Selain karena beragamnya disiplin ilmu dan konsentrasi, juga dosennya "paling heboh"; ada Chaedar Alwasilah yang sering mengundang penyair, seniman atau budayawan; juga ada Burhanuddin Mustafa yang baru saja pulang dari Amerika. Dosen yang juga suami dari seorang novelis ini kerap dibicarakan di kantin dengan inisial Mr BM. Pembicaraan selalu naik pada wilayah sastra yang menggairahkan.

Namun dosen yang justru dekat dengan mahasiswa adalah Dr. Dedi yang juga menjadi Direktur Dua PPS yang memungkinkannya dekat dengan seluruh mahasiswa. Bahkan beliau pernah memberikan sebuah proyek penelitian tentang SLTP Terbuka yang dikerjakan bersama-sama mahasiswa PPS. Uang sakunya cukup lumayan. Sayang, usia beliau tidak panjang.

Terus terang, masa berkuliah di PPS IKIP Bandung itu sangat-sangat berkesan bagi saya. Seandainya saja saya tidak mengalami kesulitan finansial. Kampus benar-benar menjadi semai sekaligus sumber inspirasi yang menyegarkan. Tulisan saya baik cerita pendek maupun kolom hampir tiap minggu hadir di Majalah Mangle. Namun sayangnya produktivitas itu tidak sebanding dengan materi yang didapat. Meminjam isi surat Jaya," dunia kesundaan hingga saat ini belum memberikan penghargaan berarti dalam hal materi".

Walaupun saya sempat dua kali mendapat hadiah cerita pendek terbaik Majalah Mangle, lewat karya yang berjudul "Kutamanggu" dan setahun kemudian "Lilis Jeung Lilis". Kemampuan saya untuk dapat bertahan kuliah semakin rapuh. Saya hanya memiliki uang untuk satu semester saja. Dengan harapan di semester berikutnya saya mendapat Beasiswa, sama ketika saya menyelesaikan Sarjana di Jurusan Sejarah IKIP Jakarta. Presiden B.J Habibie ketika itu memberikan prioritas Beasiswa untuk Indonesia Timur. Sementara Beasiswa yang tersedia di kampus hanya untuk dosen yang sedang tugas belajar atau mendapat mandat dari yayasan. Saya yang berstatus mahasiswa reguler sungguh-sungguh kelimpungan.

Gelimang Uang dan Si Kabayan Ngadeupaan Lincar

Beberapa nama yang "sangat populer", termasuk kepala institusi dan lembaga, di Jawa Barat pernah juga saya datangi. Dengan satu map berisi karya-karya saya. Artinya saya tidak sekedar mengharapkan beasiswa untuk menunjang study saya, tetapi juga menawarkan karya-karya saya; bahwa saya "berkarya" untuk apa yang disebut Jaya," dunia Kesundaan".

Bahkan pernah suatu ketika saya datangi seorang guru besar yang juga memiliki sebuah Perguruan Tinggi Swasta. Tulisannya tentang pendidikan sebagai aset masa depan sering muncul dalam media dan jurnal pendidikan. Mobil miliknya tak muat dalam garasi. Sebuah mobil baru yang saya tahu pajaknya luar biasa terparkir dengan pantat tersembul keluar pagar rumah. Lewat samping kendaraan mengilap itu saya masuk dengan mengatakan saya mahasiswanya di Pasca. Berhasilkah saya di sana? Sama sekali nihil. Bahkan hampir-hampir seperti dramaturgi India yang dramatis, hujan mengiringi langkah saya pulang dengan map yang basah dan tubuh kuyup!

Seorang kawan di Majalah Media Da'wah Basa Sunda, yang ketika itu saya juga rutin mengisi kolom "Pangbeberah", menyarankan saya mengirim aplikasi ke BAZIS (Badan Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh) Jawa Barat. Karena di sana, katanya, banyak sekali "uang yang diparkir". Sejatinya demikian, angka-angka yang mencapai ratusan juta itu semestinya mudah saja untuk dikeluarkan semata Rp.1,6 juta untuk setiap satu semester. Namun, kembali saya mendapat tangan hampa.

Saya ingat ketika kecil dulu didongengkan "Si Kabayan". Salah satunya yang "Ngadeupaan Lincar". Tentang seorang tetangga kaya yang mengundang banyak orang namun melupakan Si Kabayan yang justru rumahnya paling dekat. Lalu Si Kabayan dengan bertelanjang "ngadeupaan lincar", mengukur dengan jarinya jarak antara rumahnya dengan Sang Tetangga Yang Kaya. Dulu saya merasa lucu sekali mendengar dongeng itu, ayah saya memiliki buku yang bergambar Si Kabayan "ngadeupaan lincar"dengan ditonton orang banyak. Namun kini dongeng itu terasa sangat satire.

Pulang Kampung But Never Say Goodbye Kesundaan

Saya menyaksikan teman-teman seangkatan menyelesaikan study. Juga "adik-adik" kelas saya. Ada beberapa yang mencantumkan nama saya sebagai ucapan terimakasih didalam thesisnya, karena banyak membantu selama perkuliahan baik diskusi maupun semata pertemanan. Unik juga bahwa saya bersama Nenden Lilis Aisyah, penulis yang juga istri almarhum sahabat saya Beni R Budiman, bahkan pernah menjadi obyek study adik kelas saya, Senny Suzana Alwasilah (2002) dengan judul,"The Creative Process of Writing: A Case Study of Three Indonesian Fiction Writers".

Buku saya yang pertama juga terbit dalam status sebagai Mahasiswa Pasca. Buku itu berjudul Astrajingga Gugat, dengan kata pengantar Prof. Dr. Rochiaty Wiriatmadja, MA. Guru Besar dari Jurusan Sejarah IKIP Bandung ini dahulu sering menulis dengan sandiasma Aty Wr. Namanya tercatat dalam Kandjut Kundang. Buku Astrajingga Gugat saya cetak sendiri dari uang Carpon Pinilih Sunda sebesar Rp. 500.000. Tentu saja jauh dari cukup. Bantuan terbesar saya dapatkan dari adik saya, almarhum Daday Sunandar, yang ketika itu menjadi desainer grafis Pesantren Daarut Tauhiid.

Ceu Aam Amilia menyarankan saya untuk menulis cerita hidup saya itu karena ia mengasuh kolom "Romantika Kehidupan". Namun Abdullah Mustafa tidak setuju. Katanya," Punta-penta teh ulah, enya ngeunah mun dibere dina henteuna era mah geus pasti". Jangan suka meminta-minta, benar enak kalau diberi, tapi kalau tidak malunya minta ampun.

"Sapa suru (h) datang Jakarta", itu adalah idiom untuk mengolok-olok orang yang kalah bertarung di Jakarta. Kota yang telah menerima saya sebagai Mahasiswa Sejarah di IKIP Jakarta dulu. Kalimat yang nadanya saya pikir sama akhirnya saya dapatkan, "Dititah ku saha kuliah deui, Kasep?". Kalimat itu artinya kurang lebih," Disuruh siapa kamu kuliah lagi, Kasep?"

Itu adalah ucapan seorang pensiunan Guru SD yang saya datangi secara tidak sengaja. Ia yang semula pengagum tulisan-tulisan saya malah mengajari saya tentang 17 Pupuh Sunda. Suaranya lantang bergetar, menguraikan siklus kehidupan; ulah kabita ku guluburna dunya, hidup yang jaya ada kalanya sirna, semua kesulitan datang dari diri sendiri, juga semua kesenangan. Ada banyak orang yang tak seberuntung saya. Kesejukan yang sederhana, mengantar saya pulang kampung. Itu tahun 2002.

Lama saya tak ke Bandung. Beberapa teman karirnya sudah hebring. Bahkan ada yang menjadi Dekan atau Ketua Jurusan. Saya masih tetap menulis. Entah nama saya dikenal atau tidak, soalnya saya tidak pernah mendapat satupun undangan dari Paguyuban Penulis atau lembaga Kesundaan lainnya. Saya ingat heureuy almarhum Kang Nano S. "Yi, lamun hayang nyaho urang sohor atawa henteu, ketik we ngaran sorangan dina internet!"

Terakhir (2009) saya mendapat kabar dari Dhipa Galuh Purba, buku saya "Koruptor, Sapuluh Carita Pondok" terpilih sebagai salah satu yang dibeli Pemda Jawa Barat melalui SK Gubernur Ahmad Heryawan. Namun sudah setahun berlalu kabar itu tak pernah ada lagi tindak lanjutnya. Saya pernah mendatangi gubernuran Gedong Sate menanyakan kabar itu. Diminta bertanya saja ke Dinas Pendidikan Jawa Barat. Nikmat juga dipingpong, nya? Hm, nasib, bahkan salinan SK-nya saja sampai sekarang saya belum pernah lihat!

Ala kuli hal, saya senang membaca surat Pak Jaya!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun