Yogyakarta di samping dikenal sebagai kota kebudayaan dan pariwisata, juga dikenal sebagai kota pendidikan. Generasi muda dari berbagai wilayah nusantara mencecap ilmu di kota ini.
Kalau Anda melihat 'taman-mini-Indonesia', datanglah ke Jogja. Berbagai 'aliran' yang berakar dari daerah akan berbaur dengan kekentalan kejawaan di bekas ibukota republik ini.
Tak terkecuali nomor kendaraan dari berbagai wilayah begitu berkeliaran di jalanan kota yang sangat sempit ini. Dan tetabraknya pemegang kebijakan oleh siswa yang belum memiliki surat ijin mengemudi itu 'justru' melahirkan sebuah program.
Sego segawe, sepeda kanggo sekolah dan nyambut gawe, bersepeda untuk pergi ke sekolah dan bekerja adalah program yang terinspirasi dari sebuah kecelakaan.
Selayaknya inspirasi, penggagas sangat dibutuhkan orang yang kreatif. Kreativitas yang akan melahirkan re-kreatif. Bertolak belakang dengan misalnya kepemimpinan yang reaktif, tak jarang melahirkan generasi yang reaktif, dan minimalis kreativitas.
Bersepeda merupakan kegiatan yang yang mapan dan matan. Murah, meriah dan meraih. Ia tak memerlukan pembiayaan yang selangit, penuh 'aktivitas' tubuh dan meraih kebugaran, yang sangat dibutuhkan, bukan saja tubuh melainkan juga ruh.
Apalagi ketika teknologi mulai menjajah hidup dan kehidupan, bahkan sampai ke kamar tidur. Tubuh mausia sangat mudah mengalami ketergantungan, dengan minimalis gerakan. Eek langsungnya kebugaran manusia justru kian menurun. Bahkan ayun kaki kita hanya ketika akan buang air.
Bahkan pelajar-pelajar sekolah menengah pun kini sangat enggan menggerakkan tubuhnya. Mungkin ketika berangkat ke sekolah mereka akan menumpang kendaraan umum minimalnya. Dan tak sedikit yang memaksa orang tua untuk mengkreditkan sepeda motor.
Seperti yang Anda tonton di media elektronik hari ini, seorang pemuda meloncat dari lantai 3 sebuah hotel di Yogyakarta. Hanya karena tidak segera memiliki sepeda motor.
Begtulah generasi es krim. Yaitu generasi yang tampak luarnya gagah dan menggagah, namun sebenarnya sangat lembek, mudah sekali tergiur dan tergelincir.
Merek tidak mengalami asam keringat dalam menggapai tujuan. Tak sedikit yang menghalalkan segala cara, dengan mengharamkan proses mencapai tujuan.
Dan kesabaran menuju 'kota' tujuan pun tak mereka miliki. Inginya bergegas menggapai 'kota', dan bejibun jumlahnya yanng menerabas, mencari jalan yang mudah dan murah.
Dan ketika mereka mabuk kemudah teknologi, mereka pun menyembah berhala kemodernan ini, sembari mentongsampahkan perjuan menggapai cita-cita.
Dan keterengahan pun mendarahdaging, hingga penjajahan sospolbudek (baca: soaial, politik, kebudayaan dan ekonomi) pun merajah-rajah wajah generasi es krim itu.
Akhirnya, kalau pemuda bukan hanya harapan pemudi, generasi muda hars mau dan mampu merasakan asam keringat dalam memproses dirinya mencapai cita-cita. Tanpa memahami proses, mereka akan sangat mudah mencair, seperti es krim.
Dan generasi muda yang tak mudah goyah oleh teknologi khayalan akan menyelamatkan negara dari keterjajahan yang lebih menyakitkan.