Tekatnya bulat. Ia harus menjadi manager di salah satu perusahaan big 4 Jakarta. Seperti cita-cita yang pernah digilai oleh almarhum ayahnya.
Namun 5 tahun bekerja di PwC Indonesia, tidak lantas memudahkan langkahnya menjadi seorang manager, sebagaimana yang ia idam-idamkan sejak lama.
Tekanan demi tekanan kerap sering menghampirinya, tapi kali ini, ia hampir nyerah.
"Hai Nal... Eh, mata kamu kenapa?" Tegur Dina saat berpapasan di pintu toilet PwC.
"It's okay. Duluan ya."
Langkah kaki Nala terburu-buru. Lagi-lagi ia harus kembali ke depan laptopnya.
"Nala, dari mana? Ikut ke ruangan Mas Jai sebentar yuk, katanya ada yang mau diomongin." Pinta Mas Zain, leader di Business & Strategy team.
Nala mengangguk, dan mengekor di belakang.
*****
"Revenue drop. Strategi yang Anda propose satu bulan lalu itu tidak membantu. Ini udah akhir tahun loh, Nala. Any assumption?"
"Bukan tidak Mas, tapi memang belum. Di digital ini memang agak sedikit sulit untuk bisa hype atau viral-viral seperti itu, tapi nanti kalau kita sudah ketemu formulanya pasti sangat membantu kok, Mas Jai. Dan selain menggunakan KOL yang berbeda di tiap platform, saya juga sudah berusaha mengontek dan mengadakan pertemuan dengan klien-klien lama untuk mereka extend subscription layanan-layanan kita. Saya juga sudah menawarkan benefit lainnya, seperti jika mereka extend di layanan audit komprehensif dan layanan non-audit, kita akan memberikan free pemeriksaan informasi keuangan prospektif di Q3 & Q4 pada tahun ke-3 mereka subscribe. Gak hanya itu, dua minggu lalu saya bersama Hanna dan Dina juga sudah menaikan campaign 'Pajak Aman, Keuangan Perusahaan tetap Sehat' di semua platform kita dan beberapa platform partnership. Dan saat ini, yang sedang running ada 'coba skema konsultasi 15 menit bersama expert kita secara daring dan gratis', Mas."
"Saya tau digital memang gak mudah. Tapi masa mau nunggu aja? Cari inisiatif lain, Nala."
"Ya, Mas. Kita gak hanya nunggu growth saja kok, seperti yang saya sudah rincikan, beberapa yang lain juga sudah kita coba. Hopefully, dari semua itu, ada salah satu yang works."
"Cari inisiatif lain, berharap aja gak cukup. Kalau seperti ini, gimana nanti Anda jadi manager." Tutup Mas Jai, Head of Manager dari Business & Strategy team, dengan ketus.
Mas Zain menggangguk, dan segera meninggalkan ruangan Mas Jai diikuti Nala.
*****
"Mas, maaf. Sebentar."
"Yes, Nala."
"Saya mau tanya, kok tadi di dalam, mas Zain diam aja?"
"Memangnya saya harus berbicara apa, Nal?"
"Emmm, anything. Mungkin ada poin saya yang kurang tepat atau lainnya..."
"Gak ada, Nal. Saya juga udah bahas ini sebelumnya sama Mas Jai, jadi saya rasa saya udah gak perlu banyak bicara lagi."
"Oh, oke, Mas."
Nala pergi kembali ke mejanya, tentu dengan wajah yang penuh kecewa. Segala yang sudah ia coba lakukan dengan sepenuh hati terasa bukan apa-apa setelah mendengar ucapan terakhir dari Mas Jai saat di ruangannya tadi.
*****
"Nala, kok kamu keliatan pucet. Kenapa? Kamu sakit?" Tanya Hanna.
"Iya Nal, kamu pucet. Ada apa sih?" Tambah Dina.
"Aku gak papa."
"Bohong. Kamu tuh ya, belakangan ini setiap pagi, pas baru sampe di office pasti matanya sembab. Dan tadi lagi, aku tuh udah beberapa kali lihat mata kamu merah kalo keluar dari toilet. Aku tuh merhatiin tau. Sebenernya kenapa sih, Nal. Cerita donggg."
"Cuma kecapean aja. Kayaknya pressure-nya makin gila. Makanya aku sampe hangover."
"Kamu kayaknya harus ambil cuti deh, Nal. Yuk aku temenin ke Mas Jai, sambil izin pulang buat istirahat."
"Gak bisa, Han. Aku gak bisa cuti. Tapi hari ini aku kayaknya akan izin pulang deh. Aku gak enak badan."
"Mau ditemenin?"
"Gak usah, makasih ya."
Perlahan Nala memasukan alat-alat kerjanya ke dalam Swiss Polo totebag miliknya.
"Aku duluan ya, sekalian mau izin ke Mas Jai dan Mas Zain."
"Oke, hati-hati di jalan ya, Nala"
*****
"Company has spent a lot of money to fulfill all your initiatives. But now the revenue has dropped by 37%. What have you done all this time? You have done nothing, right? In Q4, the promises of increase and growth that you talked about are just fairy tales, Jai." Samar terdengar oleh Nala suara Pak Toto Harsono, Chief Officer PwC Indonesia, dari depan pintu ruang kerja Mas Jai.
Bisa merasakan hal yang serius sedang terjadi di dalam, Nala mengurungkan niatnya untuk izin ke Mas Jai. Ia langsung berjalan ke luar kantornya.
*****
Hari terasa begitu pendek dan sangat cepat, lagi dan lagi Nala sudah harus bangun dari tempat tidurnya dan bersiap untuk bekerja kembali.
Masih di atas ranjang kosannya, ia menangis. Dan tanpa disadari, entah tepatnya sejak kapan, ini menjadi rutinitas yang ia lakukan setiap hari sebelum benar-benar bersiap untuk memulai hari.
Di tengah tangisnya yang semakin deras dan sesak, Nala hilang akal. Ia melirik ke arah sabun pembersih wc yang tepat berada di depan pintu kamar mandinya.
Nala mendekat, membuka tutupnya dengan tergesa-gesa diiringi isak tangis yang menyesakkan dadanya.
Sepersekian detik, dengan agak ragu dan takut ia mendekatkan ujung lubang botol tersebut ke mulutnya, tiba-tiba handphone-nya berdering.
Dina menelepon.
"Halo Nal, kamu masih di kos atau udah sampe office?"
"Di kos, Din." Jawabannya dengan napas tersengal.
"Eh, kamu lagi nangis ya, Nal? Kenapa? Ini ada kaitannya sama berita PwC pagi ini ya? Sabar ya, Nal."
"Hah, berita PwC, maksudnya gimana, Din? Berita apa?"
"Ya ampun kamu belum denger ternyata? Mas Jai Nal, Mas Jai bunuh diri, kata security yang liat, Mas Jai lompat dari lantai 34 di WTC3 subuh tadi. Kabarnya dari kemarin dia gak pulang ke rumah, di office semaleman."
Nala syok. Gemetar.
"Nal... Nala, kamu baik-baik aja? Kamu kalo mau nangis, selesaiin dulu aja gak papa. Nanti kita ketemu di office ya."
"Mmm, iii, iiiya, iya Din, ketemu di office ya, aku siap-siap berangkat. Makasih banyak ya, Din."
Nala bergerak mendekati laptopnya. Membuka sebuah draft di Gmail yang sudah ia tulis dari 3 tahun yang lalu.
Ayah, maaf. Ujarnya dalam hati.
[Enter]
Setelah beberapa tahun ia urung, akhirnya draft tersebut berani ia kirim.
'Resignation Letter'