Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Tanggap

13 Juli 2014   23:17 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:26 46 0
Seorang bapak bertanya kepada seorang pelajar “nak, di mana rumah pak Arman ?”. pelajar yang ditanya segera menyahut : “Boleh, akan saya tunjukkan, mari ikut, pak”.

Karena rumahnya flat (susun) yang cukup tinggi dan banyak, sehingga bapak ini harus naik tangga ke tingkat 7. “nah, ini pak rumah pak Arman”. Maka diketuklah pintunya. Tetapi tidak ada tanda rumah itu ada orangnya. Dengan setengah putus asa, bapak ini mengeluh “rupanya pak Arman tidak ada nak, biarlah lain kali saja saya datang lagi”. Tetapi pelajar itu menjawab dengan cepat : “ooo, bapak mencari pak Arman. Ada. Itu ada di bawah, dia sedang berjemur matahari”.

Tersurat & tersirat

berkomunikasi tidak cukup dengan bahasa lisan, bila ingin mencakup semua isinya. Juga tidak hanya bermodalkan telinga dan mata saja, dengan segenap hati harus bergetar untuk menangkap isi yang sebenarnya.

Contoh di atas menggambarkan andaikata pelajar ini tanggap atas isi dan maksud bapak yang bertanya, tentu tidak akan segera naik tangga dulu, dan akhirnya turun lagi hanya untuk bertemu dengan pak arman yang berjemur di halaman bawah. Tanggap adalah tidak hanya mengerti yang tersurat saja, tetapi juga yang tersirat di balik itu, sehingga justru mungkin ini yang penting, yang perlu diselesaikan masalahnya.

Di Indonesia ini ketajaman menangkap isi arti kata yang sebenarnya agak pudar atau menipis. Terlena oleh slogan baru yang hanya untuk menghindarkan tanggung jawab, maka seolah-olah perhatian dialihkan ke slogan baru, padahal sebelumnya ada masalah yang perlu segera ditangani. Tahun 1969, permasalahan pertamina telah diungkapkan dan diramalkan sebelumnya, namun yang mengungkap dituduh mendapat dukungan dari imperialis petro dolar dari luar negri, sehingga justru koran ditutup. Kenyataannya benar terjadi tahun 1977 Pertamina dianggap pailit, sehingga seluruh rakyat disalahkan. Termasuk yang bertempat tinggal di gunung-gunung di Kalimantan yang bila mencari minyak tanah sulit sekali, juga ikut salah.

Bagai air penyubur

Sifat 'tanggap' diperlukan sekali bagi seorang orang tua atau pemimpin. Seorang orang tua yang disodori hasil prestasi anaknya, bila ia 'tanggap' ia akan segera menangkap dua arti. Bila nilai baik, anak mengharap dorongan atau penghargaan dan perhatian. Bila buruk, anak mengharap bimbingan dan pengarahan, untuk mengetahui hambatan psikologis apa yang dialami anak sehingga prestasinya tidak baik. Hakikatnya, penghargaan adalah air penyubur benih prestasi. Bimbingan adalah faktor penghilang patah semangat. Pemimpin yang 'tanggap' segera tahu prestasi dan kekurangan yang ada pada anak buahnya.

Prestasi segera diakui dan dihargai. Kekurangan segera dimodulasi. Sehingga bermanfaat sebaik-baiknya. Bila didiamkan saja, benih-benih yang ada dalam pribadi akan mati layu. Apalagi yang dibicarakan hanya kekurangannya saja, makin dalam luka hiti sehingga terasa hidup tidak ada gunanya.

Seorang yang tanggap adalah yang mudah bergetar manakala orang lain merasakan kesusahan, juga kegembiraan. Dengan kacamata yang tajam dia melihat potensi yang ada pada masing-masing anak buahnya, untuk didorong dan dikembangkan.

Tanggap hakikatnya adalah paham akan arti dan tanda-tanda sebenarnya dari suatu kesan itu. Tanggap berpengaruh besar terhadap gerak dan langkah seorang pemimpin, karena dalam waktu cepat hambatan segera diketahui dan diselesaikan.

Perlu pengalaman

Konon untuk menjadi pemimpin yang 'tanggap' memerlukan pengalaman ragam hidup, kasih sayang, obyektivitas, kehalusan rasa, sehingga dalam mendengar dan melihat tidak hanya kesan kuat yang tertangkap, tetapi juga yang kecil dan halus terdengar jelas. Mendengarkan bagi pemimpin yang 'tanggap' adalah mendengarkan suara musik 'stereo'. Tidak hanya nada keras dan amplitudo besar terdengar, tetapi nada yang halus pun tidak terlewatkan. Namun intisari 'tanggap' adalah tajamnya getaran kemanusiaan. Sehingga, meskipun teknologi sepesat roket ke bulan, kemanusiaan tetap menempati urutan utama. Manusia adalah manusia, bukan mesin. Sehingga kehalusan kemanusiaan tetap dituntut.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun