Memasuki halaman gedung Rawinala, sayup-sayup terdengar syair lagu yang biasa dinyanyikan dalam kontes pencari bakat, AFI Yunior II:
"Aku bisa, aku pasti bisa. Ku harus terus berusaha. Bila ku gagal itu tak mengapa. Setidaknya ku tlah mencoba." Ternyata Angel, seorang gadis berusia 9 tahun, yang menyanyikan lagu itu. [caption id="" align="alignleft" width="261" caption="Lala menyukai piano mainannya"][/caption] "Selamat pagi Angel," sapa ibu Agatha yang menemani kami, "ayo beri kenalan dan beri salam." Bergegas dia mengulurkan tangannya, tapi arahnya tak menuju kami. Pelangi, isteri saya, meraih tangannya dan menjabatnya. Angel adalah seorang tuna netra yang menjadi siswa di Sekolah Luar Biasa (SLB) bagian G "Rawinala." Huruf G memiliki arti "Ganda". Semua siswa yang bersekolah di sini memang memiliki kebutuhan pendidikan secara khusus. Kalau SLB yang lain hanya untuk satu jenis kecacatan, maka sekolah ini mendidik siswa dengan kecacatan ganda. Angel tidak hanya tuna netra, tetapi juga mengalami gangguan pertumbuhan mental dan intelektual. Demikian juga Lala. Anak perempuan berusia 7 tahun ini mengalami kebutaan total dan belum bisa mengendalikan syaraf motoriknya dengan baik.Dia duduk di atas kursi roda dan badannya diikatkan pada kursi menggunakan semacam sabuk pengaman. Anak perempuan berkulit hitam manis ini belum dapat duduk dengan tegak secara mandiri. Kesukaannya adalah mendengarkan suara, sebab dari situlah dia mendapatkan rangsangan. Dia mendekap erat mainan piano plastik berwarna merah. Mainan itu mengeluarkan bunyi yang berbeda-beda setiap kali ada tombol yang ditekannya. Tidak semua siswa di sini mengalami kebutaan total. Hanif dan Rafli ini contohnya. Dia mengalami sindroma
low vision. Masih ada sedikit cahaya yang bisa masuk ke matanya. Namun untuk dapat melihat, mereka harus mendekatkan objek ke matanya. Kedua anak ini sedang menonton film teletubbies yang diputar menggunakan komputer. Mereka antusias menonton dengan kepala nyaris menempel pada layar monitor. Bagi mereka, seberkas sinar adalah setetes air di padang garing. Pada kelas berikutnya, Carolina dan Kezia ini sedang mendapat pengajaran tentang macam-macam kartu identintas. Dua anak perempuan yang berwajah manis ini adalah bersaudara kembar dan sama-sama mengalami kebutaan. Di depan Kezia terdapat mesin ketik Braille yang digunakannya untuk mencatat pelajaran. Sedangkan Carolina mencatat menggunakan tangannya. Di depannya ada papan plastik berlobang yang diletakkan di atas kertas tebal berukuran folio. Papan plastik ini merupakan template yang berfungsi sebagai panduan menulis dengan huruf Braille. Dengan memegang pensil yang berujung jarum Carolina membuat catatan dengan melobangi kertas di depannya. Carolina Kezia Pitera Carolina dan Kezia duduk berhadapan-hadapan. Di samping mereka, duduk anak laki-laki bernama Pitera. Dia juga mengalami kebutaan. Meski tidak dapat melihat, Pitera dapat menyebutkan berbagai macam merek mobil dan menyebutkan spesifikasi teknisnya secara detil. Kedua gurunya yang mendengar kata-katanya terheran-heran karena merasa tidak pernah mengajarkan hal itu. *** "Rawinala" adalah gabungan dua kata dari bahasa Sansekerta, yang artinya "cahaya hati." Nama ini diberikan oleh bapak Sudarmo, seorang dosen STT Jakarta yang menjadi salah satu perintis sekolah dan asrama di atas 1250 meter persegi ini. Lembaga yang berdiri sejak tahun 1973 ini memiliki visi: "Penyandang cacat gada netra menjadi individu yang mempunyai hidup berkualitas sesuai potensinya." Sedangkan misinya ada dua: (1) meningkatkan dan mengembangkan layanan pendidikan cacat ganda netra yang berkualitas; dan (2) menjangkau penyandang cacat ganda netra usia sekolah yang belum terlayani di Indonesia. Karena menyadari bahwa anak-anak yang diasuh di sini memiliki kebutuhan khusus, maka lembaga ini tidak hanya mengelola sekolah dan asrama saja. "Kami juga melayani pihak-pihak penting di sekitar anak itu, seperti orangtua, keluarga (
sibling), pengasuh, dan aksesibilitas pada tempat tinggal anak, baik itu di rumah atau masyarakat," jelas Sigid Widodo, pimpinan lembaga Rawinala. Pada waktu tertentu, para orangtua mengadakan pertemuan "
Case Conference" untuk membahas dan mendiskusikan tentang perkembangan anak-anak mereka. Untuk melakukan semua itu, dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Lembaga yang memiliki staf 55 orang dan mendidik 65 anak ini mengeluarkan biaya hampir 90 juta setiap bulannya. Darimana sumber pembiayaan lembaga ini. "Biaya yang dibayarkan oleh orangtua siswa hanya mencukupi 20 persen dari kebutuhan kami," papar Sigid Widodo.Demikian pula dana bantuan dari pemerintah juga berkisar pada angka yang sama. Itu artinya, lembaga ini harus mencukupi sisanya atau sekitar 54 juta/bulan. Darimana sumbernya? "Itulah pekerjaan Tuhan," kata Sigid dengan senyum
sumringah,"Kami tidak punya donatur khusus. Selama ini kami mendapat dukungan dari gereja, perusahaan dan donatur pribadi. Dan ternyata lembaga ini masih dapat beroperasi sampai saat ini." *** Menurut Sigid Widodo, metode pendidikan di Rawinala ini melalui pendekatan individual. "Artinya setiap anak mendapat perhatian dan perlakuan khusus dari gurunya sesuai dengan porsi dan kebutuhan pendidikannya," jelas Sigid. Selain itu, mereka juga mengembangkan keterampilan fungsional siswa. Mereka memanfaatkan kegiatan sehari-hari di sekitar anak sebagai bagian dari proses belajar mengajar. Dengan demikian, anak-anak didik dapat belajar untuk hidup secara mandiri. Ini persis kelanjutan syair yang dinyanyikan oleh Angel: ".....Aku bisa, aku pasti bisa. Ku tak mau berputus asa. Kucoba terus coba, sampai ku bisa AKU PASTI BISA!" Saksikan video klip yang saya buat di sini:
Profil Rawinala purnawan Rawinala:Cahaya Hati[3] purnawan Rawinala:Cahaya Hati[2] purnawan Rawinala:Cahaya Hati[1] purnawan
KEMBALI KE ARTIKEL