Dunia jurnalistik membuat sebuah cerita untuk kehidupan seorang perempuan muda, sebut saja Agustina. Berawal dari mencintai dunia tulis-menulis, perempuan ini akhirnya sempat masuk dan bekerja dalam dunia media cetak. Seiring perjalanannya, menurut Agustina terdapat banyak hal – hal yang menyimpang dalam manajemen perusahaan media lokal Surabaya yang dulu pernah menaunginya. “Sistem manajemen di perusahaan saya tidak jelas. Ketika sebuah manajemen sudah tidak jelas, kita bisa memilih tetap bertahan atau berhenti,” ujarnya. Manajemen yang membuatnya begitu kecewa adalah dalam perusahaan medianya tersebut, sebanyak apapun jurnalis menghasilkan berita upah yang di dapat sama dengan jurnalis yang tidak menghasilkan berita. Agustina sendiri hanya mendapatkan upah sebesar Rp.1.300.000,00 per-bulan. Hal tersebut tidak adil, manajemennya berbeda sekali dengan media group besar yang memberikan bonus pertulisan. Kekecewaan itu yang membuat perempuan muda ini meninggalkan dunia media cetak. Berbicara mengenai kesejahteraan. Banyak artikel dan penelitian yang mengatakan bahwa jurnalis perempuan memiliki upah yang lebih rendah, tapi hal tersebut di bantah oleh Agustina. Namun ada sesuatu yang “nyelekit” ketika saya mengetahui bagaimana kesejahteraan kehidupan jurnalis. Beberapa jurnalis yang kurang disejahterakan oleh perusahan medianya, akhirnya mengambil celah kesempatan. “Tunjangan” tersebut biasanya di dapatnya dari narasumber. Salah satu faktor terjadinya hal tersebut dapat dikarenakan karena perusahaan yang tidak mau tau akan kesejahteraan jurnalis yang notabene juga memiliki kebutuhan hidup. Menurut Agustina dapat di persentasekan sekitar 90% jurnalis di Surabaya menerima amplop tersebut.
Ini merupakan fakta baru yang saya ketahui. Mengapa akhirnya dunia jurnalistik yang awalnya menurut saya sederhana berubah menjadi begitu rumit dan kompleks. Kalau “amplop” ini terus terjadi, bagaimana nasib berita – berita yang disampaikan oleh jurnalis? Waa... jurnalis harus benar – benar belajar ilmu bijaksana juga dalam hal ini.