[caption id="attachment_133008" align="alignnone" width="730" caption="Spanduk Pemilukada Kota Yogyakarta"][/caption] Tak terasa besok warga Kota Yogyakarta akan melaksanakan Pemilukada guna memilih walikotanya. Tak terasa juga saya akhirnya mau menulis tulisan ini yang sebenarnya sudah saya ingin lakukan jauh-jauh hari. Tapi tak usah dibahaslah masalah itu, intinya saya ingin berbasa-basi menjelang Pemilukada yang akan dilaksanakan esok hari. Sebelumnya saya tekankan bahwa saya tidak ada hubungan (setidaknya secara langsung, entah yang tidak langsung) dengan ketiga pasangan calon, partai pengusung pasangan calon ataupun tim sukses pasangan calon. Jadi tulisan saya ini bukan sebagai "kampanye susulan" salah satu dari pasangan calon. Maaf jika terlalu panjang berbasa-basi, toh saya juga memberi judul tulisan ini dengan "Basa-basi". he-he-he. Kesempatan menjadi Pemilukada kali ini menjadi pengalaman pertama saya. Sebagai warga kota Yogyakarta yang baik saya tidak ingin melewatkan momen ini begitu saja. Salah satu caranya adalah dengan mencari tahu tentang calon-calon mana yang akan saya pilih nantinya. Tetapi hasil yang saya dapatkan ternyata tidak begitu memuaskan, yang ada justru saya menjadi makin bingung untuk memilih calon pasangan yang mana. Apakah saya harus golput? Tentunya ini akan menjadi urusan pribadai saya saja nanti. Alasan saya sebenarnya cukup simpel. Dari ketiga calon pasangan yang ada, tidak ada satu pun yang benar-benar membuat saya tertarik untuk memilih mereka. Tentunya untuk tiap-tiap pasangan saya memiliki alasan yang berbeda-beda. Kita mulai dari nomor urut 1 yaitu Bapak M. Zuhrif Hudaya dan Bapak Aulia Reza B. Jargon utama dari pasangan ini adalah "Mbangun Kampung". Beliau ingin membangun kampung/desa yang nantinya akan menjadi penyokong perekonomian kota. Setidaknya begitu yang saya tangkap. Dan jika dilihat sekilas tentunya pasangan ini terkesan sangat memihak masyarakat kecil utamanya di kampung/desa. Apalagi di banyak spanduk-spanduk kampanyenya, pasangan ini berani menjanjikan jumlah 80 milyar rupiah untuk memenuhi janjinya dalam membangun kampung tadi. Bahkan ada juga spanduknya yang mengatakan bahwa tiap RW di kota Yogyakarta akan mendapatkan jatah 125 juta rupiah. Angka yang tidak main-main jika memang pasangan ini terpilih nantinya. Tetapi bagi saya, penyebutan angka-angka tersebut tidak lebih bagi keinginan yang muluk-muluk. Bukan berarti saya tidak ingin nantinya ada Walikota yang punya keinginan untuk membangun kampung/desa tetapi caranya bukanlah dengan menjanjikan angka-angka yang belum jelas naganya. Akan lebih baik jika pasangan ini lebih mengedepankan program-programnya dalam spanduk-spanduk kampanyenya. Terkesan jika menampilkan angka, seperti ingin "membeli" suara warga. Selanjutnya kita ke pasangan dengan nomor urut 2 yaitu Bapak Ahmad Hanafi Rais dan Bapak Tri Harjun Ismaji. Salah satu keunikan pasangan ini, menurut saya, adalah jarak usia antara calon walikota dengan calon wakilnya terpaut cukup jauh dibandingkan pasangan lain. Tetap keunikan saya jelas tidak akan mempengaruhi penilaian saya. Sebenarnya pasangan nomor 2 ini adalah pasangan yang paling dijagokan dalam Pemilukada Yogyakarta kali ini. Jangan tanya kenapa, silahkan anda cari tahu sendiri kenapa alasannya tapi paling tidak salah satu nama telah memberikan alasan. Marilah kita tinggalkan hal itu lalu menuju penilaian saya terhadap pasangan ini. Sejujurnya, justru pasangan inilah yang pertama kali saya eliminasi untuk tidak saya pilih saat waktunya memilih esok. Kenapa? Kronologinya adalah saat saya dalam perjalanan pulang dan melwati Kantor Walikota Yogyakarta. Di pinggir jalan saat saya sedang berhenti karena lampu lalu lintas menunjukkan warna merah terpampang spanduk besar kampanye dari Bapak Hanafi. Inti isi dari spanduk tersebut adalah alasan-alasan kenapa harus memilih beliau sebagai walikota Yogyakarta selanjutnya. Saya kurang ingat dengan detail ke semua poin-poin dalam spanduk tersebut. Tapi saya jelas ingat dan juga saat itu mata saya langsung tertuju ke poin yang menyebutkan bahwa beliau adalah Dosen UGM. Lalu kenapa jika beliau Dosen UGM? Bukankah itu merupakan suatu kelebihan. Memang benar bisa begitu, tapi jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda justru bisa menjadi kelemahan. Sebagai info saja, Bapak Hanafi merupakan Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM jurusan Ilmu Hubungan Internasional (HI). Kebetulan saya adalah mahasiswa di jurusan tersebut dan pernah mengikuti kuliah yang diampu beliau. Untuk yang satu ini memang saya ada hubunga dengan salah satu pasangan, tapi tidak ada hubungannya dengan pencalonannya sebagai walikota. Tetapi justru pencatuman posisi beliau sebagai dosen UGM justru membuat saya menjadi tidak simpatik untuk memilih beliau. Alasannya adalah karena jauh-jauh hari dosen yang akrab dipanggil Mas Hanafi ini sudah meninggalkan tugasnya mengajar sebagai dosen di HI UGM karena kesibukannya dalam mengurus pencalonan dirinya. Padahal sudah jelas bahwa dirinya masih memiliki tanggung jawab untuk mengajar di kampus sebagai dosen, tapi beliau lebih memilih untuk mengurus pencalonan dirinya. Hal ini juga saya tahu dari teman saya yang kebetulan mengambil mata kuliah yang (seharusnya) diampu beliau pada semester lalu tetapi beliau tak pernah muncul batang hidungnya. Lebih parahnya lagi, saat Mas Hanafi harus memberikan seacam pidato/sambutan dalam sebuah acara (maaf saya lupa) karena beliau memiliki posisi sebagai semacam ketua institusi bentukan jurusan HI UGM, beliau justr datang. (struktur organisasi yang dipimpinnya bisa diliah di
http://iis-ugm.org/halaman/10/Researchers.html) Posisi beliau saat itu sudah menjadi calon, bukan lagi bakal calon. Karena ini makin antipati lah saya dengan pencalonan beliau. Tanggung jawab yang terbilang wajib saja beliau tinggalkan, bagaimana jika nantinya memiliki tanggung jawab lebih besar menjadi seorang walikota? Biarlah warga menilai sendiri. Terakhir calon pasangan nomor urut 3 yaitu Bapak Haryadi Suyuti dan Bapak Imam Priyono D. P. Sebenarnya untuk pasangan ini, saya masih kabur tentang apa yang menjadi programnya. Tetap yang saya tangkap kebanyakan melanjutkan apa yang sudah berhasil pada masa kepemimpinan walikota sebelumnya. Ini bisa jadi tak lepas dari fakta bahwa Bapak Haryadi adalah merupakan wakil walikota periode kepemimpinan sebelum ini. Ada isu beredar bahwa sebenarnya Bapak Hery Zudianto, walikota sekarang, ingin memberi dukungan kepada Bapak Haryadi karena dia sudah lebih tahu sepak terjangnya selama menjadi wakilnya. Tapi karena desakan partai (tak perlu saya sebutkan partai yang mana) beliau harus "rela" mengalihkan dukungannya ke pasangan lain. Entah ini benar atau tidak tetapi cukup menarik untuk diperhatikan. Sebenarnya karena kekecewaan saya pada dua pasangan sebelumnya, saya berharap pasangan ini bisa membuat saya memlihnya nanti. Tapi ada dua poin penting yang membuat saya masih belum bisa yakin untuk menetapkan pilihan pada pasangan nomor 3 ini. Alasan pertama adalah adanya partai pengusung pasangan ini yang sudah sejak lama saya kurang simpatik dengan partai ini. Apalagi saat partai ini mengkampanyekan pasangan nomor 3 ini di jalanan justru membuat macet dan polusi jalanan. Belum lagi suara raungan gas sepeda motor yang cukup memekakan telinga. Belum lagi situasi seperti itu terjadi saat siang hari di waktu panas matahari sedang puncak-puncaknya. Bukannya menambah simpati tapi jadi emosi. Alasan kedua adalah tidak adanya gebrakan inovasi dari pasangan ini. Terkesan hanya mengandalkan posisinya sebagai
incumbent, wakil walikota periode sebelum ini. Padahal dua psangan lain memberikan beberapa inovasi dalam janji kampanyenya. Apakah ini karena beliau merupakan calon yang terbilang senior dibandingkan kedua calon lainnya yang terbilang "anak muda" dalam pemilukada kali ini? Apapun itu, yang jadi masalah ini bukanlah soal senioritas. Pada akhirnya saya justru dilanda kebingungan. Padahal esok sudah memasuki hari pemungutan suara. Tetapi di tengah kebingungan saya jadi mengingat sesuatu hal yang tidak penting tapi menarik bagi saya. Hal itu terkait
start kampanye masing-masing calon. Sadar atau tidak, ternyata ketiga calon sudah memulai
start jauh-jauh hari. Pak Zuhrif saya ingat sudah mulai muncul foto-fotonya dalam spanduk maupun baliho di pasar atau pun gang-gang kampung jauh sebelum dirinya resmi menjadi calon. Mas Hanafi juga begitu. Hanya saja khusus Mas Hanafi bisa dibilang dia sudah "curi start" karena membawa
embel-embel nama "Rais". Pak Haryadi? Cukuplah dia curi
start karena statusnya yang
incumbent. Lalu ada keunikan lain yang saya dapat secara tidak sengaja. Pada saat acara
studium generale yang menghadirkan Bapak Amien Rais, ayah dari Mas Hanafi, di kampus saya, terlontar pernyataan yang cukup menarik terkait pencalonan Mas Hanafi. Bukan, bukan dukungan untuk dirinya ataupun seruan untuk memilihnya. Tetapi pernyataan yang isinya mengesankan Bapak Amien tidak merestui pemcalonan Mas Hanafi. Loh?! Heran? Saya pun juga. he-he-he. Keunikan terakhir datang pagi tadi. Seorang tetangga saya datang ke rumah mengantarkan sekotak kue brownies. Wah, saya cukup terkejut karena tetangga yang satu ini jarang memberi. Ternyata kue itu dari Pak Zuhrif yang minta doa restu dalam pemilihan esok hari. Tumben juga ada yang seperti ini. Apakah ini termasuk pelanggaran? Masuk jenis
money politic dalam bentuk kue? Saya juga tidak tahu tapi jika ada anggota KPU Yogyakarta yang kebetulan membaca tolong saya diberi penjelasan terkait pemberian ini. Info tambahan saja,
basecamp tim sukses Pak Zuhrif memang tak jauh dari rumah saya. Sebagai akhir tulisan, sekali lagi saya ingin menunjukkan kebingungan saya. Semoga besok saya tidak menghambat pemilih lain karena berlama-lama di bilik pemilihan. SALAM BINGUNG. :D NB: Saya membuka diri terhadap komentar yang sifatnya diskusi. Tapi yang ingin mengajak berdebat, maaf sekali jika saya tidak menanggapi.
KEMBALI KE ARTIKEL