Pukul sepuluh, jalan-jalan di kota masih ramai seperti kepalaku yang dipenuhi alunan gitar musisi jalanan yang menyebut-nyebut namamu dalam lirik lagunya. Mataku deretan kata yang tidak mampu dibaca oleh siapapun, bahkan bagi seorang penyair yang kehabisan huruf untuk membuat sebaris puisi. Lenganku tidak lagi selengang halaman rumah bagi bahumu yang selalu kau rebahkan di sana, persis umpama seorang gelandangan yang tidur di emperan toko dan dikejar aparat keamanan.
KEMBALI KE ARTIKEL