Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Rindu yang Tak Terucap

23 Desember 2024   15:30 Diperbarui: 23 Desember 2024   15:30 31 0
Jakarta malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Mahesa duduk di balkon apartemennya, memandangi langit kelabu yang hanya dihiasi sedikit bintang. Pikirannya melayang jauh ke Yogyakarta, tempat Dwika berada. Sudah empat tahun mereka menjalani hubungan jarak jauh, dan semakin lama, rindu itu semakin sulit ditahan.

Ia membuka ponselnya, memperhatikan foto Dwika yang tersimpan di galeri. Foto itu diambil saat mereka terakhir bertemu, hampir lima bulan yang lalu. Mahesa menghela napas, lalu mengetik pesan di aplikasi chat. Hanya satu huruf: "P."

Tak lama, balasan masuk. "Iya, kenapa?"
Mahesa tersenyum kecil. Jawaban itu sudah ia duga.

"VC malam ini?" tanyanya lagi.
"Iya."

Percakapan mereka selalu seperti ini "singkat, padat, tanpa basa-basi". Namun, Mahesa tahu, di balik kesederhanaan kata-kata itu, ada kerinduan yang sama besar di hati Dwika.

Setelah beberapa saat, video call tersambung. Wajah Dwika muncul di layar, mengenakan hoodie biru kebesarannya. Rambutnya digelung asal, dan matanya terlihat sedikit lelah. Tapi bagi Mahesa, Dwika tetap terlihat sempurna.

"Baru selesai tugas?" tanya Mahesa membuka obrolan.
Dwika mengangguk kecil. "Iya, ada laporan dosen yang tiba-tiba minta revisi. Capek banget."

Mahesa tersenyum tipis. "Semangat, Wi. Nggak apa-apa, kan?"
"Nggak apa-apa, cuma pengen tidur lama."

Percakapan itu mengalir pelan. Mereka berbicara tentang hari-hari mereka, dari pekerjaan Mahesa yang penuh deadline hingga tugas kuliah Dwika yang tak ada habisnya. Namun, seperti biasa, obrolan mereka diwarnai gengsi. Mahesa ingin sekali mengatakan bahwa ia rindu, bahwa ia ingin segera bertemu. Tapi lidahnya terasa kelu.

"Wi," panggil Mahesa, memecah keheningan.
Dwika mengangkat alis. "Kenapa?"
"Jangan lupa makan, ya."

Dwika tersenyum kecil. "Iya. Kamu juga."

Hanya itu yang mereka ucapkan. Meski sederhana, kata-kata itu menyiratkan kepedulian yang tak pernah berkurang.

Malam Terus Berjalan
Dwika mulai menguap, matanya tampak semakin berat. Mahesa memperhatikan layar, senyumnya mengembang tanpa sadar.

"Tidur aja, Wi. Aku temenin," kata Mahesa.
"Ngapain nemenin? Aku bisa tidur sendiri," balas Dwika, meski ia tak mematikan video call-nya.

Seiring waktu, suara Dwika mulai hilang, tergantikan oleh napas teraturnya yang menandakan ia telah tertidur. Mahesa tetap di sana, menatap layar ponselnya. Dalam hati, ia bergumam pelan, "Aku kangen. Aku sayang kamu. Tapi kenapa kita terlalu gengsi buat bilang itu?"

Esok Pagi
Saat matahari terbit, Mahesa terbangun dengan ponsel masih menyala di tangannya. Ia mengetik pesan: "P."

Balasan Dwika datang cepat. "Iya, kenapa?"
Mahesa tersenyum. Ia mengetik lagi: "Semangat hari ini."

Dwika hanya membalas dengan singkat: "Iya, kamu juga."

Mungkin, bagi orang lain, hubungan mereka terlihat datar. Tapi Mahesa dan Dwika tahu, di balik pesan singkat itu, ada cinta yang mendalam. Cinta yang tidak perlu diungkapkan dengan kata-kata indah, karena kehadiran mereka di layar masing-masing sudah cukup untuk menguatkan hati.

Jarak memang memisahkan mereka, tapi cinta mereka tetap bertahan, meski tertahan oleh gengsi yang entah kapan akan runtuh.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun