Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

HAM di Bumi Papua??

16 Maret 2013   01:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:42 261 0
Permasalahan yang  melanda di negeri bumi pertiwi tidak kunjung berhenti sungguh malang nasib negeri ini. Terutama permasalahan yang sangat mengkhawatirkan pada saat ini yang sedang di ekspose adalah menyangkut PT.Freeport  yang berada diwilayah bagian timur Indonesia yaitu Bumi Papua.

PT Freeport Indonesia adalah perusahaan tambang tertua di Indonesia. Perusahaan tambang Amerika Serikat inilah yang mengarahkan kebijakan pertambangan Indonesia, Kontrak Karya (KK) PT. Freeport (PT.FI) dengan pemerintahan Indonesia dimulai sejak tahun 1967 berlaku selama 30 tahun. Pada tahun 1989 pemerintahan Indonesia kembali mengeluarkan izin eksplorasi tambahan dan sebelum habis masa berlaku kontrak karya pada tahun 1997 pada tahun 1991 kembali dilakukan penandatanganan KK berlaku 30 tahun ditambah dengan 2 kali perpanjangan masing-masing selama 10 tahun.Melalui proses kontrak tersebut artinya KK PT.FI akan berakhir pada tahun 2041.Jadi intinya pemerintah indonesia terlalu gegabah dalam mengambill sebuah Keputusan dalam suatu kontrak atau perjanjian, tidak difikirkan apa permasalahan yang akan terjadi dimasa yang akan datang,pada saat perjanjian tersebut ditandatangani.Sehingga akan sulit bagi indonesia untuk Lepas dari belenggu penguasa "Adi Daya dan Adi Kuasa" tersebut. dengan PT.Freeport. Dan sampai saat ini catatan buruk akibat dampak pertambangannya di Papua sangatlah luar biasa.

Jika dilihat dari sejarahnya masuk ke indonesia, PT.FI tersebut telah ada sejak zaman orde baru di mana yang menandatangani kontrak kerja dengan PT tersebut adalah presiden soeharto sendiri, tetapi pada saat ini hal tersebut  dipertanyakan keabsahannya , mengingat antara tahun 1963-1969,Irian barat (pada saat itu), sedang menjadi daerah perselisihan International(International dispute region).

Kemudian yang menjadi permasalahan sekarang adalah masalah "Mogok kerja para pekerja di PT.Freeport indonesia" . Mereka menuntut peningkatan  kesejahteraan dan upah yang sebanding  dengan risiko kerja yang tinggi, menurut mereka gaji yang didapatnya jauh dari memadai mengingat tingkat resiko kerja yang amat tinggi, yakni bekerja di ketinggian 4200 meter, berkabut, curah hujan yang tinggi, suhu dingin yang sangat ekstrem,untuk mencari emas,tembaga,perak dan tambang lainnya. Di lihat dari segi  gaji mereka sangat rendah di banding dengan PT.FREEPORT yang di luar negeri . Pada tahun 2010 gaji para penambang di Amerika selatan mencapai rata-rata 66,432 dolar AS per jam jika di indonesia hanya 4,421-7,536 dolar AS per jam.'' Alangkah malangnya nasib para pekerja buruh indonesia '' .

Wajar saja kalau para pekerja indonesia menginginkan hal tersebut.  Jika PT  tersebut tidak meyikapi,melarang, atau malah menindak dengan kekerasan  tuntutan tersebut ,  itu sangat melanggar HAM  Mengapa?. Karena jika dilihat dari Hak Ekonomi , Sosial dan Budaya(EKOSOB)  terkait dengan kesejahteraan material , sosial,dan budaya meliputi :hak untuk bekerja (hak atas kondisi kerja yang aman dan sehat,upah yang adil,bayaran untuk pekerja yang sama) hak atas pemilikan, hak atas jaminan sosial ,hak atas standar jaminan hidup yang layak, PT FI telah melanggar poin HAK EKOSOB  yang berkaitan dengan  hak atas bekerja dengan upah yang layak dan jaminan sosial.

Selain upah dan jaminan sosial yang tidak memadai mekanisme penambangannya sangat merugikan penduduk sekitar. Penambangan terus menerus tanpa ada perbaikan secara langsung itu akan berpotensi  menyebabkan berbagai macam malapetaka. Yang pertama mengenai tailing dengan kategori limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) yang dibuang melalui Sungai Ajkwa. Limbah ini telah mencapai pesisir laut Arafura. Limbah tailing Freeport  telah mencemari perairan di muara sungai Ajkwa dengan air asam tambang berjumlah besar.

Menurut perhitungan Greenomics Indonesia, biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan lingkungan yang rusak adalah Rp 67 trilyun. Freeport mengklaim, sepanjang 1992-2005 Pemerintah Pusat mendapatkan keuntungan langsung US$ 3,8 miliar atau kurang lebih Rp 36 trilyun. Namun juka dihitung dari perkiraan biaya lingkungan yang harus dikeluarkan, Indonesia dirugikan sekitar Rp 31 trilyun.

Mestinya pemerintah melakukan langkah pengamanan sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku, khususnya pelanggaran terhadap UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan perundang-undangan mengharuskan adanya upaya pencegahan bagi kerusakan lingkungan lebih lanjut, jadi seharusnya pemerintah menghentikan aktivitas penambangan Freeport, kemudian melakukan upaya perbaikan lingkungan. Pemerintah dapat mengehentikan kontrak karya pertambangan karena kerusakan lingkungan yang terjadi di Timika. Proses penambangan dapat dihentikan sementara sampai kerusakan lingkungan dapat diperbaiki dan perbaikan kerusan lingkungan menjadi tanggung jawab Freeport. Penambangan Freeport juga melanggar UU 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, karena penambangan memanfaatkan kawasan lindung, aktivitas penambangan hanya dibolehkan di kawasan budidaya. Pelanggaran terhadap tatanan ruang dapat berdampak pada penurunan kualitas tata ruang yang selanjutnya berimplikasi pada penurunan kualitas lingkungan dan manusia. Dan yang lebih fatal lagi PT FI melanggar konstitusi kita UUD 1945 pasal 33.

Untuk masalah penuntutan para pekerja  tambang PT.Freeport yang ada di indonesia , Solusi  yang terbaik yang harus di ambil oleh pengelola dari PT tersebut harus memenuhi apa yang dituntut oleh para pekerja sesuai apa yang menjadi tuntutan karena mereka mengiginkan keadilan  yang rasional dan wajar bukan yang tidak rasional.Jika masih tidak di gubris maka selaku para pekerja indonesia akan mengajukan kearah hukum dan itu mereka berhak. Karena PT tersebut telah melanggar HAM. Selain itu kerusakan lingkungan yang fatal juga melanggar HAM, walau tidak langsung.

Bagi negara Indonesia sendiri PT.Freeport memberi masukan ke kas negara hanya  memberikan royalti bagi pemerintah senilai  1 persen untuk emas , 1,5 persen-3,5 persen untuk tembaga . Royalti ini jelas jauh lebih rendah dari negara lain yang biasanya memberlakukan 6 persen tembaga dan 5 persen untuk emas dan perak.

Maka dari itu Pemerintah juga harus meninjau kembali perjanjian yang dibuat dan ikut campur dalam pemasalan ini agar cepat terselasaikan dengan baik untuk kepentinagn bersama.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun