Mohon tunggu...
KOMENTAR
Diary Pilihan

Bertani dari Hati [1]

22 Januari 2023   12:10 Diperbarui: 21 Agustus 2023   08:30 254 5
Bermula dari rasa keinginan untuk membantu masyarakat petani untuk mengatasi permasalahannya dibidang permodalan, maka muncullah ide untuk merealisasikannya melalui pola kerjasama tertentu sesuai kesepakatan bersama.

Dan, karena pada dasarnya hanya untuk mengatasi permasalahan permodalan, maka pola kerjasama tertentu dimaksud secara tidak langsung mensyaratkan syarat lain yang harus tersedia yaitu ketersediaan lahan dan tenaga kerja di lain pihak.

Bahwa dengan adanya kombinasi 3 komponen dasar dimaksud yaitu lahan, tenaga kerja dan modal, secara teori  niscaya permasalahan klasik para petani bisa teratasi.

***

Dari hasil penyaringan beberapa calon mitra yang dianggap potensial, terjadilah kesepakatan kerjasama dengan 3 keluarga petani yang memenuhi syarat, yaitu petani yang mempunyai lahan minimal 2 hektar, dan ada tenaga yang siap untuk mengelolanya sesuai jenis tanaman yang akan ditanam sesuai kesepakatan yang untuk awal-awal difokuskan untuk tanaman Cabe, Kentang, Tomat dan yang sejenisnya.

Dari beberapa contoh simulasi yang bersumber dari potensi, asumsi maupun proyeksi, disepakatilah  sistem bagi hasil dengan sistem fifty-fifty (50 :50) dari keuntungan. Sementara keuntungan dimaksud adalah hasil bersih dari penjualan setelah diperhitungkan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pemilik modal.

Dengan pola kerjasama ini, kecuali untuk biaya tenaga kerja,  semua biaya-biaya yang harus keluar menjadi tanggungan  pemilik modal, mulai dari olah lahan, bibit, pupuk, pestisida dan yang lain-lainnya yang terkait pada setiap sesi tanam mulai dari awal hingga panen, akan diperhitungkan terlebih dahulu, lalu sisanya dibagi dua, dengan catatan bahwa apabila karena satu dan lain hal  mengakibatkan  tidak ada untung atau malah rugi, maka kerugian tersebut tidak dibebabankan kepada Petani, akan tetapi menjadi risiko pemilik modal.

***

Singkat cerita, dari 3 keluarga petani yang kerjasama tersebut tak satu keluargapun yang dapat memberikan imbal jasa sebagaimana yang diharapkan. Jangankan imbal jasa, untuk kembali modal saja dari hasil panen tanaman yang ditanaman  tidak pernah terjadi. Bahkan untuk hanya setengahnyapun tidak bisa sama sekali.

Mulai dari sesi pertama, kedua, ketiga dan seterusnya hingga rata-rata 5 sesi musim tanam sesuai musim tanamnya, tidak pernah satu sesipun yang bisa menghasilkan untung. Bahkan  jangankan  untung, untuk kembali modal, pun hanya untuk setengahnya saja  tidak pernah  bisa tercapai, sehingga membuat semakin lama, modal semakin banyak tergerus hingga kalau dihitung-hitung sudah  mencapai 200 jutaan.

Dikira dari sesi berikutnya akan bisa menggantikan kerugian yang ada,  maka masih ada upaya-upaya untuk mencoba terus. Gagal lagi,  coba lagi, gagal lagi,  coba lagi, demikian seterusnya hingga berlangsung sampai berapa sesi percobaan.

Padahal maksudnya apabila ada keuntungan, maka keuntungan tersebut akan dimanfaatkan untuk menambah calon mitra baru dari petani lain,  supaya lebih banyak lagi yang bisa terbantu. Kalau dari awal misalnya 3 keluarga petani, setelah itu bisa  menjadi 6, dari enam bisa jadi 12, dari 12 bisa jadi 24 demikian seterusnya bisa menjadi ratusan bahkan sampai ribuan untuk jangka panjangnya.

***

Setelah melakukan evaluasi mendalam atas semua hasil kerjasama yang sepertinya tidak akan bisa lagi berujung pada hasil yang sesuai dengan yang diharapkan,  terutama juga dari 3 percontohan yang ada  namun tak satupun yang bisa memberi harapan yang positif,  maka diputuskanlah untuk menghentikan semua kerja sama.

Sedih memang. Niat  untuk membantu masyarakat petani yang dimulai dari skop yang kecil dulu untuk tujuan skop yang lebih besar lagi menjadi tidak bisa tercapai, kandas, gagal total lalu tutup buku, ditengah masih  banyak yang berminat dan siap untuk diajak kerjasama.

***

Aneh juga ya.

Modal, tenaga, lahan, pasar, pengalaman,  semua ada.

Tapi Kok  bisa gagal?

Selama ini yang mereka keluhkan adalah modal. Karena tenaga, lahan, pasar termasuk pengalaman bertani sudah tersedia. Tapi setelah modal tersedia kok tetap juga gagal?

Harusnya, secara teori tidak akan gagal. Soal harga yang turun naik tidak menjadi soal, karena pada akhirnya kalau diambil rata-rata akan tetap saja masih bisa dapat untung. Kuncinya adalah di volume atau  hasil produksi panen. Kalau volumenya sesuai, biasanya margin keuntungan masih tetap ada meskipun kondisi harga pasar sedang rendah-rendahnya.

Selain volume, konsistensi juga memegang peranan penting. Atau mengkin lebih tepatnya kesinambungan produski. Bahwa dengan adanya konsistensi, maka niscaya akan bisa mendapatkan semua harga pasar yang ada, baik itu harga tertinggi maupun harga terendah, sehingga jatuhnya adalah harga rata-rata untuk setiap tahunnya.

Katakanlah misalnya Kentang. Cost rata-rata untuk kentang mulai dari bibit hingga panen  paling rata-rata 3.000 sampai 4.000 rupiah per kilo. Sementara harga kentang dipasaran paling rendahnya rata-rata 5.000. Normalnya 6.000 sampai 9.000. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun