Kepalan tangan itu sedikit rapuh
Melepuh dalam kebisuan yang gusar dalam keluh
Pilu dalam kepedihan tak tertahan seperti meranggasnya daun-daun yang jatuh
Entah kapan bisa reda atau sekejap saja ada jeda tuk sekedar membasuh peluh
Di luar sana sangatlah terang benderang
Apalagi ketika mentari siang bersinar dengan garang
Disaat kepulan asap-asap pabrik dan kendaraan hilir mudik bak sedang perang
Tapi mengapa di sini, di dalam begitu pengap dan sesak tak bisa bernafas dengan tenang
Ada yang lain dari pemandangan ini
Ketika sembilu menyayat waktu dengan suara-suara meraung dari ambulan yang ke sana ke mari
Tawa bahagia kembali sembunyi di antara kegetiran yang ngeri
Tiada lagi teriakan lantang di tengah lapang tuk berdiri tegak dan memberi hormat Sang Saka tanda kebesaran negeri ini
Malam kembali mencekam dalam keheningan para jelata yang seakan disuruh diam
Mulut-mulut awam itu hanya mampu bertanya-tanya tak sanggup bicara seperti dibungkam
Kehidupan semakin mencekik si papa yang hanya bisa mencari sesuap nasi di bawah lampu taman yang temaram
Sedang di sana mereka tidur dengan pulas berselimutkan kekayaan yang tak mungkin habis hanya karena kompor mereka padam
Tapi ini memang harus terjadi di negeri yang katanya makmur lohjinawi
Biarlah pemandangan kontras terlihat di sini, di antara hiruk pikuk kepanikan dan tawa-tawa tersembunyi
Jangan menjadi kerdil dengan keadaan yang tak pasti, akan tiba masanya nanti
Kita hidup bebas lepas dari semua ini, takkan lagi ngeri di balik jeruji pandemi
Semoga...
Purwakarta, 12 Februari 2022