Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Munajat Cinta Syarifah

9 Oktober 2014   03:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:48 45 1
Haikal dan Syarifah | Munajat Cinta Syarifah

Tuban, 20 September 2013.

Hari itu adalah hari yang bersejarah untuk kakakku, Lukman Hakim. Bersanding dengan seorang bidadari yang kini menjadi pendamping hidupnya, Nabila Aulia Dewi. Lebaran kemarin ketika kami sekeluarga bersilaturahmi ke rumah Paman Haris yang tinggal di kota Malang itulah awal mula kakakku bertemu denganya. Mbak Nabila terhitung masih keluarga jauh dengan Bulek Fatimah istri Paman. Setelah melakukan taaruf selama tiga bulan akhirnya Mas Lukman mempersunting Mbak Nabila.

"Mas yakin kok nduk cinta itu akan datang dengan sendirinya setelah menikah nanti karena pada dasarnya jika setiap kaum muslim melangsungkan pernikahan semata karena berharap ridha Allah Subhanahu Wa Ta'alaa dan ittiba' sunnah Rasulullah Shollallaahu 'Alaihi Wa Sallam, Insya Allah itulah pernikahan yang diberkahi dan rumah tangganya Insya Allah sakinah, mawaddah, dan warahmah..."

Aku tersenyum mendengar penuturan kakakku. Kulihat betapa besarnya keyakinan kakakku akan fadhilah sebuah syariat yang diajarkan oleh Rasulullah Muhammad Shollallaahu 'Alaihi Wa Sallam, pernikahan. Bahwasanya pernikahan itu menyempurnakan separuh agama dan separuhnya lagi adalah kesabaran.

Sambil mengelus kerudung yang melingkar di kepalaku kakakku satu-satunya ini kembali bekata, "Makanya nduk...doakan saja moga pernikahan dan rumah tangga masmu ini semoga diberkahi oleh Allah Subhanahu Wa Ta'alaa dan langgeng hingga kembali dipertemukan di akhirat nanti."

"Siaaaap komandan...!!!" Kakakku tergelak. Ayah dan ibu yang duduk di kursi depan hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah polah putra-putrinya yang katanya masih saja menggemaskan seperti saat kami masih kanak-kanak dulu.

Mobil Avanza hitam metalik yang dikemudikan ayah berjalan dengan tenang menyusuri tiap ruas jalan kota Tuban tempat kelahiranku.

***

Sebuah mobil Fortuner hitam metalik yang sudah tak asing lagi bagiku perlahan memasuki halaman rumah. Dadaku berdegup kencang ketika dari jendela ruang makan yang menghadap ke halaman depan rumah kulihat seorang pemuda bertubuh tegap keluar dari mobil mewah itu bersama dengan lima orang lainya.

Sebuah kopiah hitam menggantung di kepalanya menutupi rambutnya yang hitam lebat. Pemuda itu berwajah bersih dan bercahaya karena dawamul wudhu senantiasa menyelimuti wajahnya yang kuning langsat. Dengan mengenakan baju koko putih dan celana panjang hitam bagiku ia lebih rupawan dari bintang sinetron yang sering muncul di televisi.

Masya Allah, aku hanya mampu menundukkan pandangan ketika Sang Hafidz Qur'an itu sekilas mengetahui keberadaanku. Aku berlalu dari ruang makan untuk menyambut kedatangan rombongan tamu agung itu dengan perasaan yang bergemuruh di dalan dada.

Muhammad Haikal Abdullah. Nama itu selalu kupanjatkan dalam tiap doa dan sujudku. Muslimah mana yang tak akan bahagia andaikata bisa bersanding dengan seorang muslim pilihan sepertinya. Seorang hafidz Al- Qur'an. Begitupula dengan diriku. Lima tahun mengenalnya saat ia dan Mas Lukman kakakku nyantri di pondok pesantren Krapyak Yogyakarta saat itu telah mulai tumbuh benih-benih cinta di dalam hatiku.

"Balutlah rasa cintamu itu dengan iman dan ketakwaan terhadap rabbul izzati anakku. Temanilah ia dengan cahaya Quran dan Sunnah agar cinta dalam hatimu itu terpelihara kesuciaanya dan terbebas dari api neraka. Hidup, mati, rezeki, dan jodoh telah tertulis dalam lauful mahfudz. Lelaki yang baik untuk wanita yang baik. Wanita yang baik untuk lelaki yang baik. Lelaki yang keji untuk wanita yang keji dan wanita yang keji untuk lelaki yang keji. Persiapkan dirimu dengan sebaik-baiknya untuk layak mendapatkan yang terbaik dengan iman dan ketakwaan."

Aku menangis dalam pangkuan ibunda. Dengan penuh kasih sayang membelai kepala anaknya tiap kali bersedih hati. Kata-kata ibunda laksana embun pagi bagiku.

Sejuk dan menentramkan hati.

***

Lantunan-lantunan ayat-ayat suci yang dikumandangkan Sang Hafidz Qur'an mengalun begitu merdu menggetarkan kalbu. Suasana walimatul ursy kakakku mendadak hening. Semua yang hadir seakan terbius oleh lantunan-lantunan ayat-ayat suci yang dikumandangkan Sang Hafidz. Tak terasa air mataku perlahan jatuh. Akankah Allah Sang Maha Pencipta mengabulkan doa-doa yang kupanjatkan. Wallaahu a'lam bi showab.

***

Usai doa untuk kedua mempelai selesai dipanjatkan para tamu undangan berkesempatan memberi ucapan selamat kepada dua mempelai yang senyum kebahagiaan seolah tak pernah lepas dari wajah mereka.

Kakakku merangkul Sang Hafidz yang juga sekaligus sebagai sahabat karibnya. "Masya Allah Kal, jazakallah khairan katsiron atas doanya. Kapan jenengan nyusul kal?"

Sang hafidz itu hanya tersenyum mendengar gurauan kakakku. "Hehe...doa dari jenengan itulah yang saya harapkan Lukman..."

Giliran kakakku yang tersenyum, "Insya Allah...doa saya selalu untukmu Kal. Hemm...tapi ngomong-ngomong apa jenengan sudah punya calon?"

Aku yang berdiri disamping ibunda entah kenapa merasa tegang menanti jawaban dari Sang Hafidz. Aku merapatkan peganganku pada lengan bunda. Keringat dingin membanjiri kulitku.

"Masya Allah...Lukman, sudah lama saya jatuh hati pada seorang muslimah yang saya yakini akan kesholihahanya. Jika waktunya sudah tepat saya akan datang melamar dan semoga Allah menakdirkan dia sebagai jodohku di dunia sampai di akhirat kelak."

Subhanallah, aku tertegun mendengar penuturanya. Tak kusangka ia sempat menoleh kearahku dan melemparkan senyum yang tak sepenuhnya kumengerti namun ada bunga-bunga yang bermekaran tumbuh dalam hatiku. Spontan dalam hati aku mengamini ucapanya. Serasa mau copot tulang-tulang di seluruh tubuhku saat sekilas melihat senyumnya ketika hendak berpamitan pulang kembali ke kota asalnya di Yogyakarta.

Aku gemetaran menangkupkan tangan di dada ketika ia menghampiriku dan mengucapkan salam. "Assalammualaikum dik Syarifah, kami sekeluarga pamit pulang dulu..."

"Wa..waalaikumsalam mas, hati-hati geh di jalan." Aku tersipu malu melihatnya tersenyum mungkin karena aku terbata-bata menjawabnya.

Kulihat mobil Fortuner hitam metalik itu bergerak perlahan meninggalkan pelataran rumah membawa kembali rombongam tamu agung itu.

Ibundaku merangkul pundakku, mengajakku masuk kembali ke dalam rumah. Sebait doa kembali kupanjatkan: "Ya Allah yaa rabb, andaikan Engkau menakdirkan hamba sebagai pendamping hidup hamba pilihan-Mu maka pertemukanlah hamba denganya dalam ikatan suci tali pernikahan...."

****

~~Tamat~~

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun