Terdengar memanggil, menukil, menyentil
Pendengarnya yang susah bangun sebab menggigil
Ujung menara putih delapan sisi itu,
Menjadi saksi bisu, menjadi oblivien yang tergugu
Lekuk batu putih susu empat segi itu,
Menjadi penunjuk rasa, roman, pilu
Syair dan syiar yang terjeda kontinyu
Tereka menjadi epifani
Keluar masuk manusia dari ruang abdi
Masuk membuka berbekal hati
Dulu, rasa dan ilmu masuk mudah terpateri
Duduk alas jerami pun jadi
Ngelmu, menuntut eunoia merasuk pikir dan diri
Tak ada salah, hijaunya rumput dan almamater ini masih serasi
Arunika yang menyeruak, menyela, masih bersenyawa
Cita-cita yang masih tertawan
Satu, dua , tiga, bertambah, bersatu, berkelipatan
Bak bunga, bak makhluk bernyawa yang memiliki rasa
Mungkin iya,
Kini, kata paling tempat menggambarkannya adalah, efloresen
Manusia, yang masuk di ruang abdi itu sudah berada di tengah
Belajar menjadi manusia berkarakter Ulul Albab,
Seperti apa yang almamatater itu biasakan
Ngabdi, eunoia di ujung abdi
Pikir indah, pikir baik, pikir sejati
Yang harap diusung menjadi cita diri
Nanti, manusia di ujung abdi, itu
Yang akan bercerita, tentu
Mengenai ipoh yang sedikit terkuak, aku
Almamater kebanggaan itu, perlu
Berterima kasih, lelah, rasa, pilu dulu
Eunoia yang diinginkan raihnya itu
Sampai pada masanya, nanti
Hingga akhir, UIN Malang
Kampus hijau itu, setia menjadi
Terbentuknya eunoia hingga
Ujung abdi, nyawa-nyawa yang t'lah
Merasakan epifani