Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

"Saya Murtad Saja"

20 Mei 2016   20:55 Diperbarui: 20 Mei 2016   21:39 144 1
"Ya Allah, hamba benar-benar bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan." Apakah hamba harus keluar dari kelompok ini dan masuk ke salah satu kelompok Islam lainnya dengan resiko akan kembali disesatkan dan dikafirkan. Atau saya murtad saja, agar tidak terikat dengan aturan-aturan agama?" ***
Saya risau. Bukan karena soal isu tentang aparat penegak hukum yang sudah bisa dibeli para konglomerat, bukan pula tentang semakin banyaknya suami yang meninggalkan istrinya untuk berkencan dengan wanita-wanita penghibur kelas atas di hotel bintang tujuh.

Problematika yang sedang saya hadapi jauh lebih urgen daripada itu. Bahkan, jauh lebih penting daripada membicarakan potensi sumber daya alam di negeri ini yang semakin hari semakin tidak menarik untuk didiskusikan.

Karena kegalauan yang sudah sangat memuncak, saya putuskan untuk menjauh dari segala kegaduhan yang terjadi di semua komunitas sosial masyarakat di negeri ini. Tak cuma di tingkat elit, kegaduhan-kegaduhan itu juga terjadi di kalangan rakyat jelata.

Sudah tak pernah melindungi rakyatnya, masyarakat kecil justru ditindas, digusur, dikejar-kejar, dan dipukuli sampai babak belur oleh prajurit negara. Saya sendiri juga tidak memiliki kemampuan apa-apa untuk menghilangkan ketidakadilan di negeri ini. Lebih baik saya mengundurkan diri saja dari percaturan kehidupan yang semakin, entah saya juga tak tahu.

Sejujurnya, saya ingin sekali bertemu Tuhan. Saya ingin curhat dengan segala yang terjadi di kehidupan saya. Tapi bagaimana bisa ngobrol-ngobrol santai sembari menikmati intip goreng plus kopi hitam dengan Tuhan, sementara saya tak punya media untuk mempertemukan saya dengan sang pencipta. Sepintas memang terdengar lancang. Apalagi semua orang tahu, bahwa sejak lahir saya memang tak punya agama.

Bapak ibu saya atheis. Mereka menganggap agama sumber perpecahan dan peperangan diantara manusia. Keyakinan kedua orang tua saya tentu menurun ke anak-anaknya, termasuk saya. Terus terang, saya memang tidak pernah tertarik dengan mahluk bernama agama.

Tapi hari ini, saya benar-benar ingin bertemu Tuhan. Saya ingin curhat dan menumpahkan air mancur keluh kesah saya selama ini. Hanya inilah satu-satunya cara agar kehidupan saya menjadi tenang dan damai. Saya mbatin, mungkin ini seperti orang yang ini menyeberangi samudera, namun ia tak punya kapal, atau bahkan perahu.

Seorang sahabat mengajak saya untuk berkenalan dengan Islam. Ia mengatakan bahwa Islam adalah agama yang paling rasional dibandingkan agama-agama lain yang ada di muka bumi. Sebenarnya saya tak terlalu tertarik dengan Islam. Bagi saya, Islam adalah agama yang terlalu kaku dan kurang bisa mengikuti perkembangan zaman. Belum lagi ditambah dengan citra Islam yang selalu dikaitkan dengan isu-isu terorisme dan aksi kekerasan.

Tetapi penjelasan yang saya terima dari sahabat saya justru bertolak belakang dari yang saya pahami. Menurutnya, Islam bukanlah agama yang terlalu kaku dengan teks-teks keagamaan. Islam juga merupakan agama yang amat rasional, bahkan Islam merupakan agama yang paling masuk akal dibandingkan dengan agama-agama lain.

Misalnya, ia mencontohkan, ulama-ulama Islam banyak sekali yang memberikan sumbangsih untuk ilmu pengetahuan modern seperti ilmu kedokteran, sastra, ilmu perbintangan, matematika, sains, dan masih banyak lagi. Ia menyebutkan satu persatu, nama ulama yang berpengaruh di bidangnya.

Karena itu, Islam tidak mengajarkan pengikutnya menjadi orang jumud, tekstualis, atau menjadi seorang muslim yang puritan. Islam merupakan agama bagi orang-orang cerdas dan memiliki intelektualitas di atas rata-rata. "Jadi sayang, kalau orang sepandai saya tidak masuk Islam," begitu katanya.

Sepertinya menarik juga. Saya kok baru tahu jika ulama-ulama Islam juga banyak yang intelek dan bisa menemukan berbagai pengetahuan modern yang sangat berpengaruh bagi perkembangan ilmu pengetahuan dunia.

"Coba kau baca dahulu. Kalau tidak menarik, bisa kau kembalikan kapan saja," ujarnya, sembari memberikan sebuah buku tokoh-tokoh intelektual Islam, dan kitab yang mereferensikan pemikiran Khalifah Al Makmun dari Dinasti Abbasiyah.

Suatu ketika, ia mengatakan bahwa Al Qur'an adalah makhluk. Saya sih manggut-manggut saja. Bagi saya pelajaran itu masih terlalu tinggi. Tapi saya yakin, suatu saat saya akan memahami apa yang ia katakan. Semakin hari, Islam semakin membuat saya jatuh cinta. Sepertinya saya mulai menemukan jalan yang saya cari selama ini. Akhirnya saya putuskan untuk mengucapkan kalimat sakral itu. "Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah."

Sahabat saya langsung memeluk saya. Ia berkata, "Engkau telah menemukan jalanmu. Dan sekarang, kita bisa berjalan beriringan sambil berdiksusi tentang betapa hebatnya orang-orang Islam itu."

Sampai suatu hari, dunia telah mengetahui keislaman saya. Saya yakin, mereka akan menyambut dengan suka cita. Tapi dugaan ini ternyata salah. Saya justru dicela sebagai orang sesat, bahkan sebagian orang menyebut saya kafir. Mereka berkata, saya telah masuk Islam ke aliran yang salah yang telah difatwa sesat ratusan tahun yang lalu.

Saya amat terkejut dengan tuduhan-tuduhan itu. Nafas saya sesak. Tak terasa mata saya menggerimis ditengah hujatan-hujatan mereka kepada saya. Lalu, apa yang harus saya lakukan? Padahal, keislaman saya berangkat dari niat untuk mencari ketenangan dan kedamaian hidup. Tapi mengapa mereka justru mencela, mencaci maki, mengolok-olok, dan menyesatkan saya? Padahal sebelumnya saya tidak pernah mengagumi agama yang dibawa Nabi Muhammad sebelum sahabat saya menjelaskan tentang Islam.

Mereka justru mengklaim sebagai kelompok yang paling benar dan sejalan dengan isi kandungan  Al Qur'an dan As Sunnah. Mereka mengajak saya masuk ke dalam kelompoknya. "Segera engkau tinggalkan ajaran-ajaran itu. Ikutlah bersama kami. Sebab ajaran-ajaran Islam selain yang kami ajarkan sudah terkontaminasi  oleh tradisi dan ritualitas budaya masyarakat. Islam mereka tidak semurni Islam kami. Mereka semua sesat!."

Adapula yang mengatakan bahwa belajar Islam tidak bisa dilakukan secara otodidak dan parsial. Belajar Islam harus melalui ulama-ulama yang mu'tabar yang sanadnya bersambung kepada Rasulullah SAW. Sementara kelompok lainnya juga mengatakan bahwa kelompoknya adalah wujud ajaran Islam yang kaffah, Islam yang sesuai ajaran Nabi Muhammad.

Sambil meneteskan air mata, saya terus berdo'a kepada Tuhan. "Ya Allah, tunjukkanlah hamba jalan yang lurus. Jalan yang benar-benar engkau ridhoi." 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun