Sejarah musik Indonesia tidak akan bisa dilepaskan dari perkembangan bangsa Indonesia itu sendiri. Musik di Indonesia sangat lekat dengan sejarahnya yang panjang dan tentu saja sangat menarik untuk disimak untuk menambah wawasan kita.
Di asia, tidak ada negara lain yang perkembangan musiknya se-kreatif bangsa Indonesia. Kendati tidak bisa lepas oleh pengaruh musik Inggris dan Amerika, namun bakat-bakat musisi Indonesia di dunia musik populer sudah muncul pada awal 1960-an.
Hebatnya lagi, setiap dasawarsa negeri ini selalu berhasil memproduksi seniman-seniman musik handal dengan karya yang tak kalah bagusnya dengan musisi barat. Indonesia juga memiliki banyak musisi legendaris yang karyanya selain digemari masyarakat juga abadi.
Sayangnya, bakat luar biasa musik Indonesia ini tidak diimbangi dengan dokumentasi sejarah baik itu foto, video atau arsip sejarah lainnya. Dokumentasi sejarah musik nasional kebanyakan hanya dikutip dari majalah-majalah musik lokal yang eksis pada saat itu.
Banyak kalangan menilai, dokumentasi sejarah musik Indonesia sangat minim dan kalah jauh jika dibandingkan dengan pusat musik dunia seperti Inggris atau Amerika. Tentu saja minimnya dokumentasi sejarah di Indonesia ini menjadi salah satu kendala bagi kita yang ingin mengetahui lebih dalam perkembangan musik Indonesia dari masa ke masa.
Sebagai contoh, kita akan sangat kesulitan mencari sejarah otentik perjalanan Koes Bersaudara di era awal 1960-an. Tak hanya itu, berbagai pertunjukan baik yang didokumentasikan melalui foto dan video juga akan sangat sulit didapat.
Di era awal 1960-an, Koes Bersaudara pernah ditangkap aparat keamanan dan dijebloskan ke penjara karena mereka menyanyikan I Saw Her Standing There dengan style mirip The Beatles. Tapi sayangnya ini tidak ada foto atau video yang menguatkan cerita ini. Kita sering mendengar personel Koes Plus bercerita soal ini. Bahwa Koes Bersaudara pernah dipenjara karena ini dan itu. Tapi, ya sudah… sampai disitu saja, tak lebih.
Kita mungkin akan lebih mudah mencari dokumen wawancara John Lennon saat membuat pernyataan kontroversial bahwa The Beatles lebih populer daripada Jesus Kristus pada 1966.
Banyak hal dari peristiwa paling kontroversial di era 60an tersebut yang masih bisa kita cari, baik itu di media internet maupun di media lainnya
Di era 1970-an pun belum ada perkembangan berarti. Kita masih sulit mencari sejarah musisi-musisi yang muncul dan berkembang di era itu. Kita tahu, banyak sekali musisi cadas muncul di pertengahan 1970-an yang membawa pengaruh langsung dari musik Inggris seperti Deep Purple dan Led Zeppelin.
Mungkin hanya segelintir kolektor di Indonesia yang masih menyimpan rapi arsip dokumentasi sejarah musik Indonesia pada masa itu. Salah satu contoh, apakah ada yang memiliki video konser God Bless saat menjadi band pembuka konser Deep Purple pada 1975? Kalau pun ada saya yakin kualitasnya buruk sekali.
Di awal 1980, Michael Jackson membuat terobosan baru pada video single-nya yang berjudul Thriller yang sudah berkembang sangat pesat. Thriller adalah perpaduan film dan musikal. Ini juga diikuti oleh musisi Amerika dan Inggris lainnya. Perkembangan musik barat pun semakin maju setelahnya.
Kemajuan musik barat di era 1980-an ternyata tidak berpengaruh pada musik Indonesia. Dokumentasi konser akbar Kantata Takwa pada 1990 di Senayan yang disaksikan 150 ribu penonton juga sulit didapat. Di Youtube konser ini bisa dilihat, namun hanya berupa potongan-potongan saja.
Di era 1990-an, kendati sudah mulai menjamur video-video klip musik populer, namun peristiwa demi peristiwa dalam perkembangan musik tersebut bisa dibilang belum terdokumentasikan dengan baik.
Sayang sekali, bakat-bakat musisi yang berkembang di era 1960-1980-an tidak dapat kita saksikan seperti halnya kita menyaksikan konser-konser band klasik di Inggris atau Amerika. Atau minimal, menyaksikan konser tersebut melalui tulisan. Tapi lagi-lagi ini sulit didapat. Ini adalah salah satu hal akibat buruknya dokumentasi sejarah musik di Indonesia.
Untung saja, para sejarawan musik Indonesia tidak begitu saja melupakan sejarah musik nasional. Ternyata kita masih memiliki tokoh-tokoh sejarawan musik nasional masih peduli dengan naskah sejarah perjalanan musik Indonesia.
Sebut saja alm Denny Sakrie. Semasa hidupnya ia sangat getol mengikuti dan mengulik sejarah musik nasional sampai ke akar-akarnya. Seandainya teknologi di Indonesia pada dasawarsa 1960-an sudah setara dengan Inggris atau Amerika, tentu saja alm Denny Sakrie tak perlu susah payah mengumpulkannya dan merangkum menjadi sebuah kitab sahih musik populer di Indonesia.
Tidak heran, sampai di akhir hayatnya, alm Denny Sakrie masih berupaya merampungkan sebuah buku tentang 100 tahun musik populer di Indonesia. Masyarakat pecinta musik nasional patut bersyukur, upaya alm Denny Sakrie tak sia-sia.
Buku “100 Tahun Musik Indonesia” yang diterbitkan oleh GagasMedia resmi dirilis pada 4 Maret 2015 atau dua bulan setelah wafat-nya sang pengamat musik nasional. Peluncuran buku tersebut bersamaan dengan jumpa pers Java Jazz Festival 2015 di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat.
Istri Denny Sakrie, Mike Hendrawati mengungkapkan, sepanjang malam, bahkan sampai menjelang meninggal kemarin, buku ini adalah fokus utama seorang Denny Sakrie.
Buku dengan sampul hitam itu menyajikan sejarah musik nasional sejak tahun 1905 sampai dengan 2005. Semangat ‘Bangga Musik Indonesia’ menjadi landasan dasar lahirnya buku ini.
Alm Denny juga membahas mengenai kiprah beberapa musisi legendaris, sehingga membuat buku ini menjadi lebih kaya.
Mungkin buku ini hanya sekedar kumpulan informasi mengenai sejarah musik Indonesia yang sanggup membuat ngantuk siapapun ketika membacanya. Namun, mengingat minimnya dokumentasi sejarah musik negeri di ini, pantaslah jika buku ini dianggap sangat bernilai.
Dibuat dengan desain kontemporer dan tata letak yang membuat anak muda tertarik untuk melihat, ditambah dengan tulisan alm Denny yang lugas, ringan, dan komunikatif, menjadikan buku ini lebih menarik dari sekedar buku sejarah.
“Buku ini diperuntukkan bagi mereka yang mencintai musik negerinya. Bangga Musik Indonesia!” tulis Denny Sakrie sebagai pembuka 167 halaman. Mike berharap kehadiran buku ini menjadi referensi, dokumentasi atau saksi dari perjalanan musik di Indonesia. Mulai dari zaman kolonialisme sampai zaman digital.
Saya pribadi sangat bersyukur. Dengan adanya buku ini, setidaknya sejarah musik nasional dapat diselamatkan. Apalagi penulisnya yang bukan orang kemarin sore tentu akan menambah bobot dan kesahihan isi buku ini.
Salam hormat buat alm Denny Sakrie!