Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

"Sunnah Rasul"

26 November 2015   16:39 Diperbarui: 26 November 2015   17:39 75 1

 [caption caption="Ilustrasi "]
[/caption]

Puja Mandela

Memangnya sunnah rasul itu cuma urusan ranjang antara suami istri yang secara seremonial digelar rutin pada malam Jum’at saja…?

Ndasmu kuwi lho….! Asyu tenan…!

Begitu dangkalnya pemahaman sunnah rasul di sebagian kalangan masyarakat Indonesia sehingga kalimat sakral ini diobral kesana kemari, bahkan oleh mereka yang belum cukup umur. Saya sendiri nggaktahu, siapa orang yang pertamakali mendefinisikan sunnah rasul sebagai ritual seksual malam Jum’at.

Sunnah Rasulullah juga tak melulu soal memanjangkan jenggot. Masih banyak sunnah yang lebih utama daripada sekedar memanjangkan rambut di bagian dagu itu.  Memang benar, memanjangkan jenggot adalah salah satu sunnah Nabi Muhammad SAW. Tak ada yang membantah itu. Tapi kan tidak seperti itu juga. Sunnah rasul itu bukan cuma soal assesoris. Tetapi Ada esensi, esensi yang jauh lebih dalam, lebih dalam dan lebih dalam.

Apakah ketika wudhu kita batal karena buang angin yang dibasuh adalah pantat kita? Kan tidak seperti itu. Wudhu juga bukan ritual seremonial yang sekedar membasuh mulut, wajah, tangan dan kaki saja.

Syariat-nya, wudhu memang harus sesuai dengan hukum fiqh. Tinggal anda ikut ulama fiqh yang mana, ada Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, atau Imam Hambali. Di Indonesia juga ada Imam yang tak kalah populer, Imam Samudera. Heuheuheu….

Soal hukum ini, anda tak boleh berlogika dengan hawa nafsu sendiri. Misalnya, lho ngapain harus membasuh wajah sebanyak tiga kali, satu kali saja kan sudah bersih. Wah, saya sarankan anda membuka kitab-kitab rujukan masing-masing mazhab itu saja, biar nggak nyasar.

Disana sudah ada aturan teknis-nya. Berapa banyak air yang digunakan, apa saja bagian tubuh yang diusap dan berapa kali kita harus membasuh bagian tubuh tersebut. Walaupun ada perbedaan diantara empat mazhab, yang jelas disanalah umat Islam mengambil referensi fiqh berwudhu.

Yang penting jangan mencampur adukkan hukum sekarepe dewe. Misalnya hari Senin ikut mazhab Hanafi, Selasa ikut Maliki, Rabu ikut mazhab Syafi’i, Kamis ikut mazhab Hambali dan Jum’at ikut Mazhab-nya Imam Samudera. Bisa kacau…..!

Logika memang berbahaya, apalagi kalau orang awam tahu bahwa tak ada perintah solat lima waktu di dalam Al Qur’an. Makanya orang tua kita memerintahkan agar anaknya membaca dan memahami Al Qur’an didampingi guru ngaji, bukan guru seni, apalagi guru senam.

Dari perspektif Tassawuf, berwudhu tidak sekedar mengikuti hukum-hukum fiqh. Masih ada yang jauh lebih dalam dari itu. Esensi wudhu menurut ulama-ulama yang sudah sampai pada tahap ini adalah untuk membersihkan hati. Untuk apa sampeyan berwudhu kalau masih sering marah-marah. Begitu kira-kira. Kira-kira lho ya… Hehehe…

Jika Rasulullah memerintahkan kita untuk menjaga wudhu, maksud beliau wudhu tidak hanya dijaga untuk dijadikan sebagai syarat sah solat saja. Wudhu tidak sesempit itu. Wudhu bukan peristiwa seremonial.

Kita harus memahami esensi wudhu. Apalagi selain syarat solat, menjaga wudhu juga disunnahkan oleh Rasulullah. Jelas jauh lebih penting daripada sunnah dalam urusan penampilan seperti memanjangkan jenggot atau memasang cincin di jari kelingking.

Maksudnya kita sebagai umatnya harus senantiasa istiqomah untuk menjaga lisan dari ghibah, menjaga tangan dari maksiat dan seterusnya. Intinya adalah membersihkan hati.

Kalau di hati kita masih sering muncul prasangka buruk kepada sesama, masih sering mengucapkan kata-kata kotor apalagi sampai menyesatkan sesama muslim, berarti kita masih berada dalam level belajar. Belajar berwudhu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun