Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat Artikel Utama

Sebenarnya, Bisakah Manusia Eksis?

3 Mei 2015   18:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:25 60 0
Pagi itu tak seperti pagi biasanya. Angin seperti ketakukan berlarian ke sana-sini. Matahari pun tak muncul-muncul, gelap begitu betah. Di salah satu sudut di permukaan Jakarta salah seorang perempuan tua berusaha keras menahan sakit. Tak ada suara, hanya air mata yang keluar tak henti-henti dari sudut matanya. Tak ada erangan, hanya napas berat yang cepat tergesa-gesa.

Pagi itu sanak keluarga perempuan tua mau tak mau menangis juga ketika melihat orang yang dikasihinya meregang nyawa. Mereka belum sempat salat subuh. Pikiran mereka terlalu bingung, tubuh mereka terlalu lelah, dan perasaan mereka terkadang masih belum rela.

Di luar sana orang-orang baru saja memulai hari. Ada yang baru beranjak dari tempat tidurnya. Ada yang sedang berlari-lari kecil di taman dekat rumah. Ada juga orang yang sedang menyusuri lorong-lorong pasar dan sibuk mengisi plastik belanjaannya. Dan di dalam ruangan ini satu orang baru saja menutup kisah hidupnya.

Perempuan ini bukan perempuan yang memiliki kisah indah, apalagi inspiratif. Bisa dibilang dia adalah semacam tokoh-tokoh yang kalah dalam sebuah kisah, bisa kita sebut sebagai korban dari sebuah kehidupan. Dia tidak pernah menempuh pendidikan. Sejak muda dia sudah harus pergi dan bekerja di Jakarta demi memenuhi kebutuhan hidup kelima adiknya. Dia sendiri tidak bisa berharap pada siapapun. Ayahnya meninggal dunia sejak  ia muda dan ibunya hanya petani biasa. Modal hidupnya cuma nekat dan sedikit kepasrahan.

Masa mudanya tidak penuh dengan kisah indah nan bahagia. Dia lebih sering menerima makian karena melakukan kesalahan daripada mendapat pujian karena berprestasi dalam pekerjaan. Dia tidak pernah tahu harus melakukan apa saat bekerja, dia tidak pernah tahu apa yang terbaik, dan dia juga tidak pernah tahu kenapa majikannya selalu marah padanya.

Dia sempat gonta-ganti pekerjaan, pindah tempat kerja. Dia tumbuh dan menjelma jadi perempuan pendiam. Dia jarang bercerita tentang apa yang ia rasakan, ia tidak pernah mengungkapkan apa yang dirinya inginkan, dia lebih banyak memendam perasaan. Tanpa sadar ia pun telah menjadi tua, adik-adiknya tumbuh besar juga. Adik-adiknya menikah, membeli rumah, memiliki anak-anak. Lalu, bagaimana dengan dirinya? Ia tidak pernah menikah, tidak punya rumah, dan tak punya anak untuk mengusir kesepiannya.

Sampai tua ia masih harus bekerja. Saat sore hari ia pergi ke rumah pedagang uduk dan memasak hingga larut malam. Tengah malam ia tidur sebentar dan harus bangun lagi saat dini hari untuk memasak lagi. Kemudian siang hari baru pulang ke rumah (yang dibangun oleh adiknya) dan beristirahat hingga sore hari. Hal itu terus ia lakukan berulang-ulang.

Suatu hari ada acara kumpul-kumpul di rumah keluarga. Adik-adiknya datang, saudara jauhnya semua berkumpul. Pertemuan itu penuh canda dan pembicaraan. Ada yang mengeluh tentang pekerjaannya, ada yang bangga karena anaknya akan pergi ke luar negeri, tapi perempuan itu itu hanya diam saja. Ia tidak menyampaikan keluhan dan juga tidak memamerkan apa yang sudah ia dapatkan di hidupnya.

Perempuan tua itu lebih memilih untuk tidur di kamar belakang. Sebenarnya ia sedang tidak enak badan hari itu. Sudah beberapa hari kepalanya terasa pusing. Hari itu juga ia merasa sangat mual. Ia sempat muntah, tapi orang-orang hanya menganggap bahwa ia sedang masuk angin. Jadi, tidak ada orang yang peduli padanya saat itu.

Sayangnya, penyakit yang diderita perempuan tua itu bukanlah penyakit pusing biasa atau sekedar masuk angin saja. Tubuhnya sedang tersiksa karena tekanan darahnya terlalu tinggi. Sampai akhinya pembuluh darah di otaknya pecah dan ia tidak sadarkan diri. Ketika ia tak bangun-bangun padahal acara sudah bubar sesungguhnya ia sedang koma. Banyak orang tak sadar. Begitulah, sampai akhirnya malam tiba dan perempuan tua itu tidak bangun juga.

Akhirnya, ia dibawa ke rumah sakit. Ia dirawat di sana sampai seminggu lamanya. Selama seminggu itu beberapa kali ia sempat tersadar, meski tidak terlalu lama, dan apa yang ia ucapkan hanyalah soal ibunya yang berada di kampung. Ibunya pun pergi ke Jakarta. Ibunya memang perempuan yang tegar dan tangguh. Meski usianya sudah hampir delapan puluh tahun, tapi tubuhnya masih sehat. Ia hanya diam saja ketika memandang anaknya tak berdaya. Anaknya pun sudah tak tersadar sama sekali.

Hingga akhirnya pagi itu datang dan nafas si perempuan tua makin sengal. Ibunya membisikkan doa-doa di sekitarnya. Adik-adiknya yang lain menangis sesengukan. Dan beberapa saat sebelum azan subuh perempuan tua itu meregang nyawa. Air mata mengalir deras dari ujung matanya.

Begitulah kisah hidup manusia yang tidak bahagia dan tidak inspiratif. Apa yang bisa dibanggakan dari kisah hidupnya. Selain berhasil merawat adik-adiknya, tak ada kisah lain yang indah. Sepanjang hidupnya ia terus-menerus menjadi korban. Waktu kecil ia hidup di gunung karena kakek dan neneknya terpaksa bersembunyi dari kejaran para penjajah. Ketika menjelang ajal ia juga terusir dari pemerintahan Indonesia sendiri.

Perempuan tua itu tidak memiliki kartu jaminan kesehatan. Ia sempat beberapa kali ditolak karena tidak ada biaya. Siapa yang mau menjamin biaya pengobatannya? Ketika diharuskan operasi yang terjadi malah tanda tangan penolakan, ketika harus masuk ICU malah tanda tangan penolakan pula. Hal lain yang lebih miris adalah ia sempat tidak bisa mengurus jaminan kesehatan karena katanya ia sudah memiliki jaminan kesehatan.

Ternyata, di kampung sana ia seharusnya mendapat jaminan kesehatan dan jaminan sosial. Namanya sudah tercatat bersama dengan suaminya. Tentu orang yang mengurus hal tersebut merasa heran karena si perempuan tua tidak pernah dapat jaminan kesehatan dan jaminan sosial. Apalagi, tercatat ia memiliki suami maka semakin tidak mungkin. Ke mana uang jaminan itu mengalir?

Sebenarnya, bisakah peremempuan tua ini eksis dalam hidupnya? Bisakah ia memiliki kebebasan untuk menjadi apa yang ia inginkan? Bisakah ia tidak terus-menerus menjadi korban? Bisakah ia memperoleh pendidikan, kesehatan, dan memiliki pemerintah yang perhatian padanya? Memiliki keluarga yang sanggup memenuhi segala kebutuhannya? Memiliki rumah, menikah, dan membesarkan anak-anak?

Tentu saja jawabnya adalah bisa. Jika saja ia memiliki akses pada pendidikan, kebebasan untuk memilih kariernya, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik. Tapi, semua itu tidak pernah ia dapatkan. Lalu, apa atau siapa yang salah? Penjajahkah yang salah karena sudah mengusir keluarganya hingga ke gunung? Pemerintahkah yang salah karena korup dan mementingkan diri sendiri tanpa peduli pada rakyatnya? Ayahkahnya yang salah karena meninggal dunia pada saat anak-anaknya masih muda? Ibunyakah yang salah karena ia hanya seorang petani biasa saja? Atau dirinyakah yang salah karena ia seorang perempuan, tidak berpunya, dan tidak berpendidikan?

Plato pernah berkata bahwa di dalam negara ideal pendidikan memperoleh tempat yang paling utama dan mendapat perhatian yang paling khusus. Ia mengatakan pendidikan merupakan suatu tindakan pembebasan dari belengggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Jadi, peranan pendidikan yang utama adalah membebaskan.

Sayangnya, di negeri ini pendidikan belum menjadi fokus utama pemerintah. Memang, anggaran pendidikan pernah naik pesat, tapi anggaran itu habis hanya untuk menyejahterakan guru dan dosen saja agar mereka bisa pergi ke sekolah naik mobil. Atau buat beli UPS seharga miliaran rupiah. Apalagi, perempuan tua itu hidup di zaman pendidikan yang benar-benar masih terabaikan.

Masih banyak di negeri ini orang-orang yang hidupnya sama dengan perempuan tua itu. Orang-orang kalah yang jadi korban dalam kehidupan. Orang-orang yang tak mampu eksis sama sekali di dunia ini. Mereka tidak memiliki kebebasan dan tak mendapat pendidikan. Mereka terjajah secara sosial dan ekonomi oleh masyarakatnya sendiri dan bahkan oleh pemerintahannya sendiri.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun