Tanggal 18 Januari 2024, kapal Bantu Rumah Sakit (BRS) KRI dr. Radjiman Wedyodiningrat (RJW)-992 pelan bergerak menjauh dari tepi dermaga Komando Lintas Laut Militer, Tanjung Priok Jakarta Utara. Mengikuti kapal pandu, KRI RJW-992 yang kini berubah penampilan total bercat putih, bagai angsa yang anggun berenang menjauhi tepi kolam. Satu momen bersejarah, untuk pertama kali salah satu kapal perang TNI AL badan luarnya bercat putih.
Melaksanakan bantuan kemanusiaan adalah satu dari 14 jenis tugas Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2004. Sebelumnya pada tahun 2016, kapal BRS KRI dr. Soeharso (SHS)-990 juga melaksanakan bantuan kemanusiaan pelayanan kesehatan bagi warga sipil, para Veteran dan anggota militer Timor Leste. Namun saat itu KRI SHS-990 tetap menggunakan warna khas kapal perang, yaitu abu-abu.
Saat ini tiga Komando Armada TNI AL masing-masing diperkuat satu kapal BRS. Kapal BRS KRI RJW-992 adalah unsur dari Satuan Kapal Bantu Koarmada-1. Unsur-unsur Satuan Kapal Bantu berperan sebagai kapal perang pendukung. Selain kapal rumah sakit, termasuk dalam Satuan Kapal Bantu adalah kapal tanker, kapal tunda, kapal latih layar dan kapal perbaikan dan pemeliharaan.
Seperti kapal perang yang lain, dalam struktur organisasi KRI RJW-992, terdapat 4 departemen, yaitu operasi, senjata bahari, mesin dan logistik. Yang membedakan dengan kapal perang lainnya adalah dalam KRI RJW-992 terdapat departemen kesehatan. Tugas departemen kesehatan selain melaksanakan pembinaan kesehatan internal kapal juga melaksanakan pemeliharaan material kesehatan. Jumlah personel departemen kesehatan hanya 16 orang, dipimpin seorang dokter berpangkat Mayor Laut.
Bila KRI RJW-992 sedang dalam misi pelayanan kesehatan yang memerlukan fungsi rumah sakit maka akan dibentuk organisasi tugas rumah sakit dengan supervisi Dinas Kesehatan Koarmada. Dengan demikian pada kapal BRS terdapat dua organisasi, yaitu organisasi kapal yang bersifat tetap dan organisasi rumah sakit yang bersifat sementara bila diperlukan.
Biasanya pada misi bantuan kemanusian, operasi bakti maupun penanggulangan bencana, dibentuk organisasi satuan tugas sesuai kebutuhan. Pada umumnya organisasi satgas operasi bakti meliputi Unsur Tugas Angkut, Unsur Tugas Kesehatan, Unsur Tugas Pengamanan dan unsur-unsur bantuan umum (perbaikan dan pembangunan infrastruktur, SAR dll).
Kebutuhan personel Satgas Bantuan Kemanusian dipenuhi dengan mobilisasi dari rumah sakit atau satuan kesehatan setempat, satuan pelaksana/kerja di lingkungan Koarmada serta Batalyon Zeni Marinir. Bila misi telah selesai maka organisasi rumah sakit, dan unsur tugas lainnya dibubarkan dan personel kembali ke satuan induk.
Kini kapal BRS KRI RJW-992 bertugas membawa 200 ton bantuan untuk rakyat Palestina di Gaza. Bantuan sebelumnya telah dikirim dalam dua sorti penerbangan pesawat Hercules TNI AU. Keputusan cepat Pemerintah Indonesia diambil juga untuk memfasilitasi solidaritas rakyat Indonesia baik pribadi maupun lembaga sosial yang ingin mengirim bantuan kepada warga Gaza.
Oleh karena itu tertundanya keberangkatan KRI RJW-992 menimbulkan pertanyaan karena masyarakat berharap bantuan segera dapat terkirim. Sampai kemudian tersiar kabar, KRI RDW-992 menjalani pengecatan ulang menjadi putih untuk menaati Konvensi Jenewa.
Pada fase persiapan dan perencanaan pratugas, fokus perhatian adalah memilih bentuk bantuan kemanusiaan, apakah hanya mengirim material saja atau juga melaksanakan pelayanan kesehatan. Bagi Staf Personalia dan Staf Logistik satgas mungkin tidak banyak mengalami kendala. Berbeda dengan aspek intelijen dan operasi yang memerlukan pengumpulan berbagai bahan keterangan termasuk pertimbangan dan saran perwira hukum.
Problem khusus yang pasti mendapat perhatian adalah risiko dalam rute melintas Laut Merah dan Laut Aden yang menjadi area baku serang antara armada Amerika Serikat dan sekutunya melawan Yaman. Maka misi bantuan kemanusiaan untuk Palestina perlu berlindung kepada Konvensi Jenewa dan ketentuan San Remo Manual terkait konflik bersenjata di laut.
Dalam Bab III Konvensi Jenewa II 1949 terdapat dua jenis kapal kesehatan, yaitu kapal kesehatan militer (ps.22) dan kapal kesehatan non-militer (ps.24). Kapal kesehatan tidak boleh diserang dan harus dilindungi. Kapal-kapal tersebut harus memberi pertolongan kepada yang luka, sakit dan karam tanpa melihat kebangsaan. Kapal kesehatan bersifat netral dan tidak boleh digunakan untuk tujuan kemiliteran.
Perubahan warna cat dan spesifikasi KRI RJW-993 diikuti dengan langkah administrasi registrasi di Palang Merah Internasional. Mewakili pemerintah, Kemenlu RI memfasilitasi proses registrasi ke The International Committee of the Red Cross (ICRC). Maka kapal KRI RJW- 992 dan sekoci berhak atas perlindungan Konvensi Jenewa karena telah ditandai :
- seluruh bagian luar kapal berwarna putih.
- Pada lambung dan bagian horizontal kapal diberi tanda palang merah yang tampak dari laut dan udara (Ps. 43).
Kapal rumah sakit militer dilarang dipergunakan untuk keuntungan militer sesuai Pasal 22 Konvensi Jenewa II tahun 1949. Fasilitas kesehatan di darat dalam Pasal 19 Konvensi I, tidak boleh diserang dari laut (ps.23). Alat komunikasi yang menggunakan kode rahasia dilarang (ps.34). Namun senjata ringan tetap diizinkan untuk pemeliharaan keamanan dan membela diri atau membela yang sakit (ps.35).
Maka dapat dipahami bila dalam Satgas Bantuan Kemanusiaan terdapat Unsur Tugas Pengamanan sebanyak 40 personel pasukan khusus dan penyelam TNI AL. Keterlibatan pasukan khusus merupakan upaya pengamanan fisik karena kapal dan seluruh personel satgas adalah aset negara yang harus dilindungi dan KRI RDW-992 adalah representasi bangsa.
Pilihan bentuk bantuan kemanusiaan ke Palestina bukan hanya terkait soal taktis dan strategis militer saja, karena dalam misi tersebut berkelindan isu politik yang kompleks. Mesir sebagai lokasi sandar KRI RJW-992 tentu juga mempunyai kalkulasi mengapa kita hanya diberi ijin menyalurkan bantuan saja. Indonesia selaku pemberi bantuan dan Mesir sebagai lokasi distribusi bantuan, masing-masing menerapkan intelijen dan taktik pada kaidah-kaidah hubungan antara pemerintah negara yang merdeka.
Akhirnya misi bantuan kemanusiaan ke Palestina dilaksanakan tanpa pelayanan kesehatan. Pelayaran Kapal BRS KRI RJW-992 bertajuk kunjungan muhibah ke El Arish Mesir. Apakah hal itu membuat kunjungan muhibah menjadi berkurang maknanya?
Misi utama KRI RJW-992 adalah terlaksananya politik luar negeri mendukung kemerdekaan Palestina. Tanpa pelayanan kesehatan tetap saja kehadiran KRI RJW-992 mendapat nilai positif dalam agenda diplomasi Angkatan Laut. Suatu tugas yang melekat ke mana pun kapal perang TNI AL berlayar.
Armada kuat diplomasi hebat
Kebijakan politik luar negeri Indonesia konsisten mendukung terwujudnya kemerdekaan Palestina. Sikap tegas Indonesia disampaikan dalam berbagai forum multilateral dan sidang PBB. Indonesia melengkapi instrumen politik luar negerinya dengan menghadirkan KRI RJW-992 sebagai upaya diplomasi.
Sesuai pasal 9 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, salah satu tugas TNI AL adalah melaksanakan diplomasi Angkatan Laut dalam rangka mendukung kebijakan politik luar negeri yang ditetapkan pemerintah. Diplomasi juga merupakan salah satu peran universal Angkatan Laut, selain peran militer dan polisional. Kunjungan muhibah (port visit) adalah implementasi diplomasi Angkatan Laut.
Bantuan kemanusiaan untuk Palestina yang dikemas sebagai kunjungan muhibah menunjukkan TNI AL memanfaatkan kemampuan memproyeksikan soft power melalui kapal BRS KRI RJW-992. Kebetulan pada kawasan yang berdekatan, Indonesia menyumbang peran pada misi Operasi Pemeliharaan Perdamaian (OPP) PBB UNIFIL di Lebanon. Indonesia mengirim KRI Diponegoro (DPN)-365 sebagai unsur Maritime Task Force (MTF) UNIFIL bersama kapal perang Angkatan Laut Bangladesh, Jerman, Turki, dan Yunani.
Meskipun tanpa melaksanakan pelayanan kesehatan, kehadiran kapal BRS diharapkan tetap dapat menyentuh hati warga Palestina. Mungkin hal tersebut dirasakan Duta Besar Palestina dan para kadet/mahasiswa Universitas Pertahanan asal Palestina yang juga ikut melepas keberangkatan KRI RJW-992 menuju Mesir.
Akan lebih baik bila di lokasi tujuan di pelabuhan El Arish Mesir, KRI RJW-992 membuka kesempatan masyarakat di kota tersebut bisa berkunjung ke kapal. Mereka dapat melihat fasilitas rumah sakit kapal yang mewakili empati masyarakat Indonesia terhadap penderitaan rakyat Palestina di Gaza. Mereka dapat mengenal langsung kapal BRS sebagai hasil produksi PT PAL Indonesia.
Dengan demikian kunjungan muhibah KRI RJW-992 selain menjadi ajang diplomasi pamer bendera, juga menjadi sarana promosi dan menunjukkan upaya kemandirian industri pertahanan Indonesia. Kita patut bangga Uni Emirat Arab telah menandatangani kontrak pembuatan kapal LPD multi-mission dengan PT PAL Indonesia. Angkatan Laut Filipina adalah pengguna pertama kapal LPD buatan Indonesia.
Kemandirian industri pertahanan Indonesia adalah salah satu upaya memenuhi Kekuatan Pokok Minimum TNI 2024. Menyesuaikan aspek kemajuan teknologi, TNI AL juga membeli kapal perang baru produk negara lain dengan skema transfer teknologi. Melengkapi kedua cara tersebut Kemhan juga sedang melaksanakan peremajaan 41 kapal perang TNI AL. Namun pandemi Covid-19 membuat target pemenuhan Kekuatan Pokok Minimum pada akhir 2024 diperkirakan hanya tercapai 70%.
Di tengah keterbatasan tersebut dan dihadapkan kepada perkembangan lingkungan strategis terkini, diplomasi angkatan laut menjadi pendekatan utama Indonesia di tengah masyarakat internasional. Dalam hal ini menghindaria sengketa dengan diplomasi kompromi merupakan pilihan rasional. Ada yang menyebut upaya mengatasi sengketa dapat dilakukan Angkatan Laut melalui cooperative maritime diplomacy dan persuasive maritime diplomacy.
Apa pun namanya, sebenarnya hal itu dilakukan untuk menyiasati kurang memadainya kekuatan Angkatan Laut. Kunjungan muhibah, latihan bersama, operasi keamanan maritim, kerja sama bantuan kemanusiaan, penanggulangan bencana dan operasi SAR adalah implementasi diplomasi yang lazim diselenggarakan TNI AL dan diikuti TNI AL di negara lain. Berbagai pertemuan bilateral dan forum ilmiah keangkatanlautan diselenggarakan dan diikuti TNI AL untuk mengoptimalkan diplomasi.
Seperti yang dilaksanakan kapal BRS KRI RJW-992, tugas implementasi diplomasi disandang oleh setiap kapal perang TNI AL. Maka semakin baik kekuatan Armada RI, semakin besar dampak penggentar, akan semakin baik pula kualitas diplomasi TNI AL.
Ungkapan TNI AL yang besar, kuat dan profesional tidak boleh berhenti sebagai slogan. Diperlukan komitmen yang kuat untuk mewujudkannya bagi Indonesia, yang ditakdirkan sebagai negara maritim. Hal tersebut menjadi syarat terbentuknya kemampuan diplomasi dalam partisipasinya mengatasi sengketa regional dan global secara bermartabat. Bila masih bisa diplomasi, mengapa harus berperang?(pw)
Pudji Widodo,
Sidoarjo, 09022024 (148/102).
foto : kompas.com