Oleh : dr.Andri,SpKJ,FAPM (Psikiater)
Fenomena caleg stress seperti tahun 2009 belakangan makin disoroti menjelang PEMILU Legislatif 2014 yang akan dijelang besok. Semalam saja saat saya menonton Metro Realitas, fenomena caleg stress 2009 yang berobat ke berbagai pengobatan alternatif menjadi sorotan. Menariknya sepertinya banyak orang yang sudah menduga akan terjadinya hal ini karena mungkin beberapa hal sudah bisa diduga.
Walaupun kesehatan jiwa menjadi salah satu syarat dalam pengajuan diri menjadi caleg, sudah bukan rahasia lagi kalau semua itu hanyalah formalitas. Keputusan partai lebih menjadi yang utama dalam penentuan caleg yang diusung partai. Jadi walaupun mungkin si caleg ini secara kesehatan jiwa kurang baik, kalau dia merupakan pilihan partai maka dia akan tetap melenggang dalam pencalegan.
Kesehatan jiwa sendiri selama ini mungkin terlalu dianggap sempit dan dikaitkan dengan kegilaan. Sehat jiwa artinya tidak gila! Padahal kesehatan jiwa jauh lebih dari sekedar tidak gila. Gangguan dalam proses berperilaku, berpikir dan berperasaan dimaksudkan dalam kondisi gangguan kesehatan jiwa. Seseorang yang tidak berempati dengan lingkungan dan orang lain sebenarnya masuk dalam kategori gangguan kejiwaan. Orang-orang seperti ini yang bila nanti menjadi anggota dewan bisa menjadi orang yang tidak malu dan segan menyakiti rakyatnya, asyik berkorupsi walaupun katanya merupakan wakil rakyat yang membawa amanah.
Sudah duluan sakit jiwa
Kalau kita perhatikan para pejabat public saat ini yang tidak ragu untuk melakukan korupsi dan tidak merasa bersalah melakukan korupsi, sebenarnya mereka sudah mengalami gangguan jiwa. Orang yang tidak berempati, tidak merasa bersalah jika melakukan perbuatan jahat (contohnya sudah jadi tersangka pun masih bisa senyum-senyum di layar TV) dan malahan mengulangi perbuatannya lagi, identik dengan ciri gangguan kepribadian antisosial yang lebih awam kenal dengan istilah Psikopat.
Entah sudah dari sebelum jadi pejabat atau ciri kepribadian itu berkembang menjadi lebih kuat setelah jadi pejabat tidak ada yang bisa memahami pasti. Intinya sebenarnya walaupun disebut sebagai pejabat publik, perbuatan korupsi adalah perbuatan jahat yang mencuri bukan haknya. Jadi sebenarnya sama saja dengan perampok dan maling yang kita kenal sehari-hari dalam kehidupan. Lebih jahatnya lagi yang dirampok para koruptor ini adalah uang rakyat bersama-sama bukan milik individu saja.
Partai Punya Peran
Partai sebenarnya paling punya peran bagaimana mencegah caleg stress dan lebih jauh lagi mencegah caleg yang nantinya terpilih sebagai anggota dewan menjauhi korupsi. Sayangnya selama ini ada kesan tersirat bahwa sebenarnya partai seolah-olah “merestui” kekuasaan uang dalam proses demokrasi di Indonesia. Istilah mahar politik, ongkos politik telah menjadi akrab di telinga publik sebagai istilah yang menandakan kekuasaan uang dalam politik di Indonesia. Banyak orang yang menedepankan kekuasaan uang untuk mencapai keinginannya berkuasa secara politik baik menjadi kepala daerah atau caleg saat ini.
Uang seolah telah menjadi modal utama untuk merebut simpati selain memang proses pencalonan dan kampanye yang banyak menyedot uang para kandidat tersebut. Tidak heran apa yang dikeluarkan oleh para kandidat caleg atau kepala daerah itu ingin mereka kembalikan lagi (balik modal) setelah meraka terpilih. Iklim korupsi menjadi semakin subur dan inilah fenomena yang terjadi di demokrasi kita saat ini.
Kita masih menunggu datangnya demokrasi yang baik dan sistem politik yang mampu mendewasakan bukan hanya caleg tapi juga rakyat pemilih. Kita berharap bahwa ke depan hal-hal yang terjadi saat ini bisa berkurang dan para caleg semakin sadar bahwa menjadi caleg bukan sekedar bermodalkan uang tetapi juga kesehatan jiwa yang baik agar jika pun kalah mereka dapat menerimanya dengan sepenuh hati dan tetap bekerja demi kemajuan bangsa. Bukan malah menjadi biang rebut dan kerusuhan yang kerjanya selalu memprovokasi rakyat. Semoga segera terjadi. Selamat memilih Caleg yang baik. Salam Sehat Jiwa.