Sebuah layar berukuran 112 x 178 cm tergelar, layar yang menampilkan reproduksi lukisan Raden Saleh yang diciptakan tahun 1857, melukiskan tentang penangkapan pangeran Diponegoro. Iwan Fals dengan gitarnya, menyanyikan lagu yang liriknya menjadi pengantar memasuki cerita. Berikutnya lukisan memudar ketika lampu sorot menyinari penari-penari yang muncul di belakang layar, dalam gerak gerak yang merupakan simbolisasi dari cerita.
Konsep serupa berulang dalam 7 babak pementasan Java War! Opera Diponegoro 1825-0000, di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, 10-11-2011. Pertunjukan membagi kisah sejak Diponegoro muda, berperang, tertangkap sampai kemudian meninggal dunia dalam pengasingan.
Cerita yang disutradarai Sardono W Kusumo di gubah dari 2 karya seni monumental yang merupakan kesaksian perlawanan Diponegoro melawan kolonialisme Belanda, karya tersebut adalah otobiografi Diponegoro dan lukisan Raden Saleh, yang ternyata sarat akan pesan tersembunyi tentang penangkapan Diponegoro. Peter Carey, yang selama lebih dari 25 tahun meneliti Babad Diponegoro menjadi konsultan cerita untuk Sardono.
Pembabakan di Java War! Opera Diponegoro ini, menjadikan sebuah tontonan yang menarik. Cerita yang tersuarakan lewat nyanyian, simbolasasi gerak tari sampai teknis tata panggung, tersusun padu menjadi sebuah drama panggung yang mengesankan.
Di pertunjukkan ini Iwan Fals, menunjukkan totalitas dalam bernyanyi,
suaranya stabil terdengar, serupa sihir bagi penonton menjadikannya penutur cerita yang sangat baik. Happy Salma sebagai ”diva mabuk” berhasil menemukan harmoni gerak dengan semua penari-penari profesional dalam tarian yang di ciptakan Sardono W Kusumo.
Java War! Opera Diponegoro seperti membuka kembali pengetahuan tentang sejarah, yang lewat karya tulis nya Diponegoro di jamannya, menuliskan sendiri perjuangannya bukan untuk dirinya tapi untuk kepentingan masyarakat banyak di tanah Jawa, Indonesia..