28 dan 29 Oktober 2011, di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta, program pergelaran “Indonesia Kita” memasuki seri 6, sekaligus menjadi pentas penutup di tahun ini.
Menurut Agus Noor, Indonesia Kita mengolah kegelisahan seputar “menjadi Indonesia”. Cerita-cerita diangkat dari keberagaman akar budaya yang dimiliki bangsa ini. Program kesenian dan kebudayaan ini menawarkan pesan agar kita jangan lelah untuk memperjuangkan ke-Indonesia-an yang terbuka, plural dan saling menghargai.
Setelah di seri sebelumnya mengambil tema budaya tertentu, seperti Jawa, Maluku dan Melayu, di seri ke enam ini, Indonesia Kita mengangkat persoalan yang paling mendasar yang sedang di kita hadapi bersama sebagai suatu bangsa, yaitu korupsi. Butet Kartaredjasa dalam pengantar pentas semalam, mengatakan tak akan pernah rela bila korupsi dianggap sebagai produk budaya Indonesia. Korupsi harus dilawan.
Korupsi menjadi benang merah cerita dari lakon yang di beri judul “Kadal Nguntal Negoro” , yang dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan sebagai kadal makan negara.
Pembuka cerita kadal nguntal negoro, bersetting di kantor kepolisian, di suatu negara yang disebutkansebagai Afrika Selatan, yang sebenarnya semua juga tahu kalau yang dimaksudkan adalah Indonesia. Polisi –polisi disana sangat korup, dari hal yang paling kecil seperti meminta suap dariseorang pelapor kehilangan onderdil sepeda, semua bertujuan ‘menggendutkan” rekening pribadi.
Masalah kemudian dimulai, ketika seorang gubernur datang menyerahkan diri ke kantor polisi, meminta diperiksa bahkan dipenjarakan, karena dia dengan jujur telah melakukan korupsi diberbagai proyek. Polisi berusaha mencegah gubernur, karena menurut polisi pengakuan adanya korupsi akan merusak pencitraan lembaga sebagai penegak hukum, pencitraan yang dibentuk adalah “tidak ada korupsi di negeri ini”.
Gubernur bersikukuh dia telah melakukan korupsi, sementara selain polisi, penegak hukum yang lain, seperti jaksa, hakim dan pembela –yang kesemuanya korup- tetap mencegah gubernur untuk memenjarakan dirinya karena persoalan korupsi. Dibelokkan kasusnya ke persoalan perselingkuhan. Dengan menyertakan saksi palsu- -yang berbayar-, gubernur akhirnya bisa dipenjara. Meskipun gubernur tidak rela kalau dia dipenjara sebab perselingkuhan, dia berkehendak untuk di penjara karena korupsi.