Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Ada Apa di Balik Isu Palestina?

2 Juli 2014   06:13 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:53 36 0
Pada Debat Capres bertema “Politik Internasional dan Ketahanan Nasional”, Minggu (22 Juni 2014), Capres Jokowi mengatakan: “Saya, Jokowi-JK, mendukung penuh Palestina menjadi negara merdeka, menjadi negara berdaulat. Dan mendukung penuh Palestina untuk masuk sebagai anggota PBB”.

Banyak yang bertepuk tangan. Tentu saja, bagi umat Islam di Indonesia, isu Palestina adalah jualan yang menarik perhatian.  Sebagian mungkin menilai bahwa Jokowi berusaha menarik hati pemilih Muslim.  Tapi saya pikir, pernyataan Jokowi itu seperti menabur garam di lautan.  Karena, komitmen Indonesia terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Palestina, dan dukungan agar Palestina menjadi anggota PBB sudah menjadi sikap permanen politik luar negeri Indonesia.  Dalam teori politik luar negeri ada konsep “continuity and change“. Nah, diantara banyak perubahan sikap politik luar negeri Indonesia pada setiap periode, sikap terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Palestina tidak pernah berubah sejak jaman Bung Karno.

Lalu, bagaimana kita menjelaskan “jualan” Jokowi terhadap isu kemerdekaan Palestina ini?  Ada rentetan peristiwa yang menurut saya menarik untuk dibincangkan.

Minggu, 22 Juni, sore hari sekitar jam 3 sore, ada berita heboh di situs Kantor Berita Antara Biro Sulawesi Selatan. Isinya, Dubes Palestina H.E. Fariz N. Mehdawi menyatakan dukungan dirinya dan rakyat Palestina terhadap Jokowi. Tentu saja, pendukung Jokowi segera menyebarkan link “membahagiakan” ini.

akan tetapi, sebagai orang yang belajar HI, saya terbelalak. Sungguh kaget dan tidak percaya ada Dubes negara sahabat membuat pernyataan seperti itu. Pernyataan tertulis pula. Dalam praktek diplomasi, ini fenomena seperti “off-side, plus diving di kotak penalti, dan memukul kiper lawan” dalam sepak bola. Harusnya kartu merah dan larangan bermain seumur hidup untuk Dubes H.E. Mehdawi… (maksudnya, Dubes ini harus dipersona-non-grata oleh Pemerintah Indonesia, dan diberhentikan dari diplomat selamanya oleh Pemerintah Palestina).  Ini masuk kategori “mencampuri urusan domestik” dari sisi Indonesia. Dan dapat dikategorikan “membahayakan kepentingan nasional” kalau dilihat dari sisi Palestina (coba bayangkan, apa jadinya jika Prabowo yang terpilih jadi Presiden RI).

Ternyata, berita ini memang palsu. Kantor Berita Antara pada Senin (23 Juni 2014) sore hari menyatakan bahwa Website Antara Biro Sulawesi Selatan kena hack. Antara tidak pernah menyiarkan berita tersebut, wartawannya tidak pernah mewawancarai Dubes Palestina, dan juga tidak ada pernyataan tertulis Dubes Palestina. Ini penjelasan resmi Antara di situsnya.

Hanya beberapa jam setelah berita yang dimuat Antara Biro Sulawesi Selatan (yang dirujuk oleh media-media lain, termasuk Kompas), Jokowi seperti “menyambung” pemberitaan tersebut, yang sekilas dapat diartikan sebagai komitmen persahabatan kedua pihak, yaitu Dubes H.E. Mehdawi dan Capres Jokowi, yang nampaknya akan meningkat menjadi persahabatan antara kedua negara.  Seperti saya katakan di atas, ini adalah konstruksi yang menarik.  Karena Indonesia memang lahir bathin mendukung kemerdekaan dan kedaulatan Palestina, dan juga terus berjuang untuk keanggotaan Palestina di PBB.

Pagi hari ini, Selasa (24 Juni 2014) pagi-pagi muncul berita mengenai rencana Jokowi untuk membuka Kantor Kedutaan Besar Indonesia di Palestina.  Berita ini antara lain dimuat juga Republika Online di sini.  Saat kampanye di Pontianak, Capres Jokowi menyatakan niat tersebut.

Apa yang menarik disini?

Ketiga rentetan peristiwa ini (Antara kena hack, pernyataan Capres Jokowi saat debat, dan pernyataan soal keinginan membuka Kedutaan Palestina saat kampanye) adalah konstruksi yang menarik.  Apakah itu adalah hal yang terpisah satu sama lain? Ataukah ketiganya merupakan desain, dengan maksud hendak mengangkat isu Palestina?

Saya cenderung menduga-duga (mungkin karena suasana kampanye dan di belakang sana ada yang sedang adu strategi), bahwa ketiga peristiwa itu "by design".

Masalah utama eksistensi Palestina di dunia internasional adalah faktor Israel, yang tidak pernah (atau belum) rela membiarkan Palestina merdeka.  Israel menjadikan isu Palestina sebagai alat politik internasionalnya, selain tentu saja karena faktor penguasaan efektif terhadap wilayah.  Israel memiliki bargaining position sangat kuat dalam hubungan internasional, terutama karena kemampuan negara ini mempengaruhi kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat melalui apa yang sangat populer dikenal dengan “lobby Yahudi”.

Instrumen “lobby Yahudi” yang utama di Amerika Serikat adalah American Israel Public Affairs Committee (AIPAC), suatu organisasi lobby yang sangat berpengaruh terhadap pengambilan kebijakan di Kongress dan eksekutif Amerika Serikat.  Karena “dekatnya” hubungan Israel dan Amerika Serikat, hampir tidak ada perbedaan kepentingan kedua negara yang "mencolok di muka umum".  Amerika Serikat adalah negara adidaya yang tidak pernah dapat berbuat apa-apa terhadap Israel, seberat dan separah apapun Israel melanggar norman internasional atau hukum internasional.

Sementara itu, pada konflik Israel-Palestina, Indonesia sudah sejak lama ingin mengambil bagian dan berperan strategis dalam penyelesaian konflik.  Selama ini, peranan Indonesia hanya sebatas memberikan dukungan kepada Palestina saja, baik melalui mekanisme bantuan kemansiaan mapun melalui dukungan kepada Palestina di forum-forum internasional.  Padahal, Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk menjadi aktor dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina, baik sebagai fasilitator maupun sebagai mediator.

Akan tetapi, keinginan Indonesia tersebut tidak pernah dapat direalisasikan, karena Tel Aviv mengajukan satu syarat yang sangat sulit diterima Jakarta, yaitu: “Indonesia harus membuka hubungan diplomatik dengan Israel” terlebih dahulu.  Rakyat Indonesia yang mayoritas muslim sangat sensitif dengan isu ini.  Cita-cita Israel untuk membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia tidak pernah kesampaian, karena kuatnya penolakan di dalam negeri Indonesia. Ketika Presiden Abdurrahman Wahid membuka wacana ini, penolakan publik (terutama umat Islam) luar biasa besar. Tentu saja, wacana itu berhenti ditengah jalan.

Mungkinkah Kedutaan Besar di Palestina?

Apa yang oleh sebagian negara di dunia diakui sebagai “negara Palestina”, dalam perspektif Israel hanyalah wilayah otonom, yang secara formal disebut Palestinian National Authority atau PNA.  Sebagian besar wilayah tersebut berada di bawah kendali Israel.  Karena Israel tidak mengakui eksistensi Palestina sebagai negara berdaulat, maka Israel tidak pernah mengijinkan ada Kedutaan Besar negara asing di Palestina.

Negara-negara yang mempunyai hubungan diplomatik dengan Palestina (artinya mengakui eksistensi Palestina sebagai negara berdaulat) mengakreditasi Kedutaan Besar di beberapa negara sekitar, sehingga wilayah kerjanya juga mencakup Palestina.  Sebagian besar terletak di Kairo, Mesir.  Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Palestina kini dirangkap oleh KBRI Jordania di Amman.

Sekarang ini ada 39 perwakilan negara asing plus Uni Eropa di dalam wilayah Palestina (sebagian besar berkantor di Ramallah dan beberapa diantaranya berkantor di Gaza).  Akan tetapi, statusnya adalah Kantor Perwakilan, bukan misi diplomatik, apalagi Kedutaan Besar.  Tentu saja, karena hanya merupakan kantor perwakilan maka tidak ada kekebalan diplomatik (diplomatic immunity) yang menjadi atribut utama para diplomat.  Israel dengan tegas mengatakan bahwa negara-negara asing diperkenankan membuka perwakilan di wilayah Palestina, tetapi tidak mengijinkan pelaksanaan fungsi kekonsuleran.

Dengan latar belakang demikian, maka gagasan Jokowi untuk membuka Kedutaan Besar di Palestina adalah gagasan yang tidak masuk akal, setidaknya untuk situasi politik internasional saat ini.  Paling maksimal yang bisa dilakukan adalah membuka kantor perwakilan.  Akan tetapi, hal itu hanya dapat dilakukan jika “Indonesia terlebih dahulu membuka hubungan diplomatik dengan Israel”.  Apakah memang Jokowi berniat membuka hubungan diplomatik dengan Israel?

Saya yakin, tim pemikir Jokowi-JK paham sekali situasi Palestina.  Bukankah ada pemikir-pemikir HI papan atas, seperti Andi Widjajanto (mantan dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia), ada Rizal Sukma (tokoh penting di CSIS Jakarta), bahkan juga ada puluhan mantan jenderal yang seharusnya telah menerima informasi tentang hubungan luar negeri Indonesia saat mengenyam kursus-kursus di Lemhanas.

Maka kita patut pertanya-tanya mengenai motif utama dibalik mainstreaming isu Palestina oleh Jokowi pada Pilpres kali ini.  Jika saja Jokowi betul-betul ingin membuktikan janjinya membuka Kantor Perwakilan Indonesia di Palestina, berarti memang ada niat untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel.  Apakah rakyat Indonesia siap dengan hal itu? Ini tantangan terbesarnya. Memberi pengertian kepada ratusan juta rakyat Indonesia untuk isu seperti ini tidak bisa dengan “diplomasi makan siang“, sebagaimana strategi berdialog dan memberi pengertian kepada pedagang kaki lima yang diminta pindah.

Atau, jangan-jangan Jokowi dan tim pemikirnya diam-diam sudah mempunyai strategi untuk mendirikan Kantor Perwakilan RI di Palestina, tanpa perlu membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Ya, kemungkinan itu juga sangat mungkin ada. Bukankah Jokowi penuh kejutan, kan? (*)

Disclaimer: artikel ini ditulis pada 24 Juni 2014, setelah Debat Capres 22 Juni 2014, di blog www.justishaq.com (link lengkapnya disini)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun