Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Mendobrak Kapitalisme di Jantungnya

10 Oktober 2011   14:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:07 586 2
Sudah sekitar tiga minggu, ribuan demonstran menduduki Wall Street, kawasan paling terkenal di New York, Amerika Serikat. Kawasan yang juga menjadi pusat markas industri keuangan. Tak kurang, 17 perusahaan keuangan raksasa bermarkas di sini, termasuk New York Stock Exchange (NYSE). Mereka benar-benar menduduki dalam arti sebenarnya. Mereka 'camping,' sebagian dengan berbekal 'sleeping bag' di jalan dan taman di sana, terutama di daerah Liberty Plaza, tepatnya Zuccotti Park, sejak pertengahan September lalu. Kawasan ini jaraknya hanya 'selemparan batu' dari 'ground zero'. Gerakan mereka ini dinamai 'Occupy Wall Street' (OWS). Istilah yang awalnya dikenalkan oleh sebuah majalah di Canada, terbitan Adbusters Media Foundation. Sebuah organisasi non-profit yang mengkampanyekan anti-konsumerisme dan pro lingkungan hidup, yang awal Juli lalu mendorong pengikutnya untuk menduduki kawasan Wall Street (occupy Wall Street). Meski demikian para pemrotes tak hirau dengan julukan ini, mereka lebih peduli dengan apa yang mereka suarakan, mereka perjuangkan. Apa yang mereka protes? Intinya, mereka protes terhadap keadaan, kondisi ekonomi AS yang membuat mereka semakin sengsara saat ini. Keadaan yang menurut penilaian mereka akibat sistem ekonomi, dengan tulang punggung sistem keuangan yang berjalan di AS. Sistem kapitalis yang dinilai terbukti rapuh sejak pertengahan September 2008 dan memicu krisis global, yang akibatnya masih terasa sampai hari ini. Mereka protes terhadap semakin sulitnya untuk hidup layak dan mencari pekerjaan. Bahkan, banyak yang tak lagi bisa punya rumah. Tingkat pengangguran di AS saat ini memang sangat tinggi, sekitar 9,1%, yang berarti sekitar 25 juta penduduk AS saat ini tak memiliki pekerjaan pasti. Bahkan untuk 44 juta penduduk AS yang berusia antara 20-34 tahun, kelompok yang banyak ikut bergabung dengan pemrotes, tingkat pengangguran mencapai angka 11.3% (Bloomberg, 7/10/2011). Ini karena meski triliunan dollar sudah digelontorkan pemerintah dan bank sentral, belum mampu menciptakan lapangan kerja yang memadai. Sementara itu, sampai tahun 2012 nanti ekonomi AS hanya diperkirakan akan tumbuh di kisaran 2% saja. Sebagian besar dana yang digelontorkan memang jatuh untuk menyelamatkan industri keuangan, termasuk perbankan di AS saat krisis menerjang, yang sampai saat ini tak juga mau menyalurkan kredit sebagaimana diharapkan, walaupun para pimpinannya tetap memperoleh 'bonus' yang luar biasa besar. Tak heran bila Nassim Nicholas Taleb, pengarang buku terkenal 'the Black Swan' dan Mark Spitznagel menyebut fenomena di AS ini sebagai 'the Great Bank Robbery', dalam artikelnya di blog Project Syndicate. Masing-masing menyampaikan protes terhadap sistem, baik ekonomi maupun pasar keuangan yang dijalankan di AS dan menjadi panutan di banyak negara di dunia. Mereka juga protes dengan sistem industri perumahan, jaminan kesehatan dan jaminan sosial yang ada. Mereka bersatu, meski dengan artikulasi kekecewaan yang beragam dari sudut pandang masing-masing, karena merasa senasib, merasa sama-sama terpinggirkan. Di mata para pendemo, sistem ekonomi dan politik di AS terbukti terlalu berpihak pada si kaya, sang pemilik modal dan perusahaan, yang meski memang berperanan menciptakan lapangan kerja, namun terlalu tamak, rakus. Beragamnya artikulasi para demonstran, terlihat dari apa yang mereka teriakkan. Tengok misalnya suaraBrendan Burke, seorang sopir truk yang juga menjadi organisator demo, saat diwawancara John Gapper darithe Financial Times. Dia menyatakan, bahwa protesnya bukan anti polisi, tidak menentang para pekerja yang bekerja di kawan Wall Street, juga tidak anti Amerika! Yang dia suarakan adalah protes terhadap sistem bernegara yang harus diubah. Hal senada disuarakan oleh Robert Commiro, demonstran berkaos merah bertuliskan 'Mayhem' saat diwawancara Mac William Bishop dari the New York Times. Dia ingin perubahan yang lebih mendasar terhadap sistem politik di AS. Dia tidak percaya dengan sistem 'dwi partai', Partai Republik dan Partai Demokrat, yang menurutnya sama-sama didanai oleh industri keuangan yang bermarkas di kawasan Wall Street. Seirama pula yang disampaikan Mark Bray, salah satu demonstran yang kini banyak berhadapan dengan urusan media. Dia menyatakan bahwa gerakan OWS ini memang tidak memiliki agenda tunggal sedari awal. Namun, mereka menyatukan diri karena merasa di pihak yang sama, untuk ibaratnya menggerakan sebuah 'gunung'. Seorang anak pendemo remaja mengekspresikan niat ini dengan menuliskan 'the new revolution' di bendera AS yang dipasang di pohon. Beberapa kalangan menilai bahwa gerakan 'OWS' ini lemah, karena tidak memiliki misi tunggal yang diteriakkan secara jelas. Mereka menilai bahwa gerakan protes ini hanyalah dinamika demokrasi biasa. Namun demikian, bisa sebaliknya. Justru inilah sebenarnya kekuatan gerakan demo kali ini, yaitu 'natural' dan apa adanya. Bila ingin mencoba memahami gambaran 'kemarahan' para pendemo ini, ada baiknya kita melihat film 'dokumenter' berjudul 'Inside Jobs' atau 'The Last Day of Lehman Brothers'.

Sejauh ini, demo ini masih merupakan semacam gerakan moral, berjalan damai. Tidak anarkis seperti yang terjadi di Paris, Mesir maupun kawasan London beberapa waktu lalu. Meski demikian, terjadi pula ‘bentrok’ dengan aparat kepolisian. Sekitar 700 demonstran sempat ditahan karena dinilai mengganggu ketertiban umum.

Secara perlahan, suara protes mereka yang awalnya tak mendapat perhatian media-media mainstream, akhirnya mendapat pula sorotan. Dukunganpun berdatangan. Dari yang sekedar memberikan simpati dan dukungan perlengkapa tidur dan makanan, sampai dukungan terhadap ‘misi’ mereka. Dukungan misalnya, datang dari ekonom peraih Nobel bidang ekonomi tahun 2001, Joseph Stiglitz. Juga dari beberapa artis dan belakangan dari berbagai serikat buruh (labor union).

Mengapa berpusat di Wall Street?

Selain karena kawasan Wall Street merupakan pusat industri keuangan, yang dianggap biang kerok krisis ekonomi sehingga dikenal pula sebagai ‘pusatnya modal’ (capital of capital), kawasan ini memiliki sejarah panjang terkait dengan gerakan protes massal dalam sejarah AS. Bahkan sejak abad 18. Protes besar-besaran menyangkut kebijakan pemerintah juga pernah terjadi di sini dalam jangka waktu yang panjang, yaitu tahun periode 1960-1970-an dan puncaknya pada 8 Mei 1970, saat rakyat AS memprotes keterlibatan AS dalam perang Vietnam.

Menurut Steve Frazer, pengarang buku ‘Wall Street and every one a speculator’, kawasan ini sudah menjadi pusat berkumpulnya massa yang marah dan kecewa terhadap institusi keuangan dan pemerintah AS. Bahkan sejak tahun 1792, saat kawasan Wall Street pertama kali dibangun sudah terjadi spekulasi terhadap obligasi pemerintah saat itu, yang menyebabkan kolaps-nya perekonomian lokal saat itu. Hal yang kemudian menyebabkan kemarahan massa pertama kali di kawasan yang sekarang dikenal sebagai Wall Street.

Wall Street, menurut Mac William Bishop, reporter New York Times, merupakan tempat yang mempertemukan antara demokrasi dan kapitalisme. Dan bila menilik sejarah panjang gerakan protes di Wall Street, bukan tak mungkin bahwa gerakan ini juga akan membawa perubahan terhadap wajah AS, khususnya di bidang politik dan kebijakan ekonominya.

Meski demikian tak sedikit yang mengkritik sinis. Tokoh kubu Partai Republik yang biasanya memberikan komentar miring terhadap aksi demo ini. Herman Cain, kandidat presiden dari kubu partai Republik misalnya, menyatakan bahwa gerakan ini dimotori oleh pihak-pihak tertentu yang ingin mengalihkan perhatian dari gagalnya kebijakan ekonomi pemerintahan Obama. Komentar pesimis juga datang dari Gail Collins, kolumnis New York Times yang menyatakan bahwa gerakan ini tidak akan menghasilkan apa-apa dan nantinya orang hanya mengingat bahwa ‘pernah ada demo besar di Wall Street’.

Hal sebaliknya terlihat dari kubu politisi Partai Demokrat. Bahkan presiden Obama sendiri memahami gerakan sebagai wujud rasa kecewa masyarakat, utamanya terhadap para bankir di Wall Street.

Bisa dimengerti memang, karena sejak beberapa tahun terakhir, langkah Obama untuk merombak sistem keuangan dan perbankan di AS tidak berjalan mulus. Bahkan, saat akhirnya Obama meloloskan reformasi total sektor keuangan di AS dengan ‘Dodd-Frank Law’ yang ditandatangi 21 Juli 2010 lalu, banyak pihak yang menganggapnya sebagai sosialis.

Langkahnya untuk menerapkan apa yang dikenal sebagai ‘Volcker-rule’, yang merupakan salah satu inti dari Dodd-Frank Law untuk mengembalikan perbankan pada khitahnya dan mengurangi kesempatan spekulasi, terus coba diganjal oleh lobby-lobby para bankir AS dengan dana milyaran dollar. Terakhir, draft proposal ‘Volcker-rule’ ini bahkan sudah bocor ke publik beberapa hari lalu.

Perjalanan para pendemo memang masih akan panjang, sangat panjang mungkin.

Meski demikian, apa yang mereka suarakan sejatinya merupakan cerminan lain dari simbol semakin runtuhnya sistem ekonomi kapitalis, isu yang semakin merebak setelah krisis ekonomi global yang bermula di AS, dari kawasan Wall Street ini, melanda sejak September 2008 lalu. Apalagi gerakan kali dilakukan tepat di ‘jantung’nya.

Meminjam istilah Mohammad El-Erian, Pimco saat mengomentari perubahan yang terjadi di dalam perekonomian global saat ini, gerakan di Wall Street saat ini bisa jadi merupakan ‘signal of tectonic shifts’. Let’s see …

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun