Bahkan, ide pembentukan sebuah lembaga pengawas yang menyeluruh terhadap institusi keuangan di Indonesia sudah diamanatkan lebih dari sepuluh tahun yang lalu! sebagai respon terhadap krisis yang menerjang Indonesia tahun 1998. Tenggat waktu awalnya adalah 31 Desember 2002. Tak juga terbentuk setelah tenggat waktu tadi terlampaui, kemudian diperpanjang lagi menjadi tahun 2010 tadi bersamaan dengan amandemen undang-undang Bank Indonesia tahun 2004.
Tak jelas benar apa yang menjadi hambatan belum juga terbentuknya OJK sampai saat ini. Apakah karena perkembangan industri keuangan, terutama menyangkut konglomerasi, tak seperti yang semula dibayangkan. Atau, situasi pasar finansial dinilai semakin kompleks sehingga memerlukan koordinasi tingkat tinggi yang makin erat.
Tentu saja, perlu pertimbangan dan perencanaan yang matang untuk membentuk sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan dan tangung jawab yang sangat luas. Apalagi krisis global 2008 kembali menunjukkan lemahnya pengawasan otoritas sedunia terhadap industri keuangan, bahkan di negara maju. Akibatnya, hampir seluruh dunia menanggung beban, langsung maupun tidak langsung atas ulah tak bertanggung jawab para pengelola bisnis keuangan, terutama perbankan, akibat lemahnya pengawasan.
Sayangnya, bukan hal 'strategis' seperti itu yang muncul ke permukaan. Yang mencuat di media massa dan disebarkan ke masyarakat saat ini, justru lebih terkesan pada 'perebutan kekuasaan', dalam bentuk susunan dewan komisioner antara parlemen dan pemerintah. Bila hal tersebut benar-benar yang menghambat terbentuknya OJK, tentunya sangat mengherankan dan menyedihkan!
Perdebatan sengit seharusnya lebih pada substansinya. Misalnya bagaimana nantinya mekanisme pengawasan yang menyeluruh sehingga lebih menjamin agar rakyat banyak tidak menjadi korban manakala industri keuangan, mengalami kesulitan, baik akibat salah urus manajemen atau pemiliknya maupun karena faktor eksternal. Juga, bagaimana bentuk dan mekanisme koordinasi dan saling tukar informasi yang lebih mulus, sehingga langkah penanganan yang diperlukan dapat lebih cepat, mangkus dan sangkil. Apalagi koordinasi antar instansi di negeri ini, meski sudah dirasakan membaik masih lebih banyak yang merupakan mimpi!
Banyak pengamat yang juga menyatakan bahwa untuk negeri dengan budaya yang dikatakan sebagai 'informasi merupakan bahan jualan', atau mengidap penyakit 'silo', membentuk institusi bukan merupakan solusi untuk mempercepat proses birokrasi. Walaupun maksudnya sebagai 'short-cut' untuk mendobrak kerasnya tembok status quo di instansi lama yang sudah 'mapan'.
Intinya, sepatutnya bila sengitnya perdebatan berpusat pada bagaimana menciptakan bentuk pengawasan yang lebih mangkus dan sangkil, bila perlu sembari membayangkan sampai detail gambaran pelaksanaannya nanti, sehingga kepentingan masyarakat dapat lebih terlindungi. Juga agar industri keuangan dapat maksimal manfaatnya bagi ekonomi rakyat, bukan hanya bagi pemegang sahamnya. Perdebatan seperti ini, bila ada, yang seharusnya 'dibagikan' ke masyarakat. Tentu akan tetap ada nilai jualnya bagi media, karena tentunya akan mengulas sepak terjang praktik industri keuangan di tengah masih lemahnya sisi perlindungan nasabah dan rendahnya pemahaman masyarakat umum akan karakteristik transaksi keuangan.
Bukan justru seperti yang selama ini mencuat, yaitu lebih mengesankan masalah bagi-bagi kekuasaan yang sarat dengan 'peluang' dan isu dalam konotasi negatif.
Sekedar untuk membandingkan, lembaga semacam OJK di Korea Selatan, Financial Supervisory Service (FSS) yang ide pembentukan awalnya serupa dan bersamaan dengan munculnya isu OJK pasca krisis 1998 sudah terbentuk tahun 1999. Ini karena ide pembentukan FSS memang dianggap urgent dan ditangani secara serius, karena merupakan bagian dari financial sector regulatory reform negeri ginseng itu.
Meski demikian, sejak terbentuknya, lembaga inipun sudah diindikasikan akan kental dengan isu korupsi melihat luasnya kewenangan yang dimilikinya. Kini skandal korupsi yang melibatkan para pejabatnya semakin mengemuka.
Skandal korupsi di FSS, konon melibatkan sekitar 30 pejabat FSS, termasuk pejabat yang sangat senior. Mereka dituduh menerima suap sebagai 'imbalan' terhadap longgarnya pengawasan atas beberapa bank yang dianggap bermasalah. Termasuk ada pula praktik sebagai 'calo' penyaluran kredit. Sebagian pegawai FSS bahkan banyak yang tergiur menjadi auditor bank, dengan memanfaatkan koneksi teman-temannya di FSS untuk mempengaruhi hasil audit dibanknya agar terlihat tetap 'kinclong'.
Sekedar gambaran, inilah beberapa skandal suap-menyuap yang menimpa FSS. Salah satu pejabat teras FSS, dikabarkan menerima suap sebesar 120 juta Won dari salah satu bank yang bermasalah, yaitu Busan Saving Bank.
Pejabat FSS lainnya, konon meminta imbalan berupa mobil mewah, Hyundai Grandeur senilai 40 juta Won untuk tidak mengungkap praktik perbankan yang tidak sehat di Bohae Savings Bank. Bahkan, pejabat ini, yang istrinya bekerja sebagai di perusahaan asuransi, ikut 'meminta' sekitar 56 karyawan bank tersebut untuk membeli produk asuransi tempat istrinya bekerja.
Kemudian, mantan direktur jenderal FSS dikabarkan meminta suap sekitar 200 juta Won dari Bohae Savings Bank ini. Busan dan Bohae Savings Bank ini termasuk dalam 8 bank bermasalah yang dibekukan otoritas akibat modal banknya yang cekak.
Meski demikian, ada pula pihak yang menyatakan bahwa lemahnya pengawasan FSS terhadap beberapa bank bermasalah, konon juga merupakan 'arahan' staf kantor presiden terkait dengan penyelanggaraan pertemuan G-20 di Seoul November tahun lalu. Bila ini benar, bisa jadi para pejabat FSS memanfaatkan situasi ini dengan 'menekan' banknya. Only God knows.
Merebaknya skandal korupsi yang melibatkan pejabat FSS ini, menyebabkan presiden Korea Selatan, Lim Myung-Bak, marah besar. Bisa dimengerti tentunya, karena korupsi juga menjadi musuh pemerintahannya saat ini. Apalagi sang presiden dinilai lunak terhadap upaya pemberantasan korupsi dan menyebabkan indeks korupsi Korea Selatan tak juga beranjak dari level 39 dalam beberapa tahun terakhir. Terkait penyakit korupsi, industri sepakbola di Korea Selatanpun sudah pula terjangkiti budaya suap-menyuap meski kini mulai pula terungkap dan puluhan pemain dan yang terlibat di beberapa klub sepakbolanya sudah ditahan (the economist, 21 Juli 2011).
Untuk memberantas praktik korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat FSS tadi, sang presiden memerintahkan kantor perdana menteri membentuk tim investigasi independen, beranggotakan 13 orang. Tak satupun melibatkan pejabat FSS dalam tim tersebut. Selain itu, FSS akan direformasi total agar tidak menjadi lembaga 'super power' yang cenderung korup, tanpa pengawasan yang ketat.
Konon, merebaknya skandal korupsi di FSS dan kendala koordinasi kebijakan dalam merespon dampak krisis global 2008 menyebabkan pemerintah Korea Selatan berfikir untuk memperkuat kewenangan dan tanggung jawab bank sentralnya, Bank of Korea, di area pengawasan perbankan dan institusi keuangannya. Kabarnya, draft reformasi pengawasan sistem keuangan di Korea Selatan ini, sedang dibahas di parlemen.
Cukup beralasan memang kemarahan sang presiden terhadap maraknya isu korupsi yang melibatkan beberapa pejabat FSS, yang semakin dinilai tidak berhasil mengemban misi dibentuknya untuk menyehatkan industri perbankan di Korea Selatan. Padahal seperti halnya di Indonesia, ketika krisis 1998 lalu, pemerintah harus 'merekap' perbankan dengan dana cukup besar. Konon mencapai sekitar 11,5 triliun Won (sekitar 10,5 milyar dollar).
Kecenderungan pengawasan sektor keuangan di dunia memang sepertinya berlawanan arah dengan semangat pembentukan OJK saat ini. Konon, kesadaran ini muncul setelah krisis keuangan hebat menerjang tahun 2008 dan bernaung dalam dalih untuk memiliki pengawasan macro prudential. Meski tak seorangpun tahun persis binatang macam apa itu yang disebut dengan macro prudential.
Tengok misalnya yang terjadi di Inggris. Bank sentral Inggris, Bank of England (BOE) justru kembali diberikan kewenangan dan tanggung jawab pengawasan perbankan dan industri keuangan yang lebih luas. Semula hal ini berada di pundak Financial Supervisory Agency (FSA), yang dinilai gagal setelah, antara lain, mencuatnya kasus Northern Rock. Hal serupa terjadi di Amerika Serikat yang bank sentralnya, Federal Reserve, diberikan kewenangan yang lebih luas pasca tsunami pasar finansial menerjang di tahun 2008. Meski bukan berarti tendensi ini bisa begitu saja dicontoh dan ditiru.
Tidak ada satupun pola pengawasan industri keuangan yang seragam bagi seluruh negara. OJK-nya Australia misalnya, Australian Prudential Regulation Authority (APRA) dinilai yang paling berhasil menjalankan tugasnya mengawal kesehatan dan daya tahan industri keuangan negaranya, termasuk perbankannya.
Mengawasi perbankan memang terbukti bukan perkara mudah. Otoritas dituntut untuk menjaga perbankan berpraktik secara sehat, sekaligus melindungi kepentingan masyarakat penabung. Di sisi lain, pengawas tidak boleh terlalu mencampuri manajemen bank. Manajemen bank harus tetap bertanggung jawab penuh atas bank yang dikelolanya. Bahkan, harus tetap independen terhadap kemungkinan campur tangan pemilik.
Tak lebih penting sebenarnya dimana pengawasan bank dan institusi keuangan berada. Apakah di bank sentral, seperti di Inggris mulai tahun depan, ataupun di lembaga lain seperti di Australia.
Yang jauh lebih penting adalah keampuhan pengawasannya. Ini tentunya menuntut pengawas untuk tidak hanya memiliki kemampuan teknis, melainkan juga 'berani' mengambil 'judgment' dan mengambil tindakan pencegahan berupa 'supervisory actions', bukan semata tindakan korektif setelah semua kesalahan dan pelanggaran terbukti terjadi.
Jangan-jangan, karena menyadari bahwa tidak terlalu banyak bedanya pengawasan sektor keuangan, bank khususnya ada dimana, maka yang terjadi dalam pembahasan OJK adalah 'praktik dagang sapi'.
Mudah-mudahan bukan demikian yang terjadi, karena celakalah kita semua bila itu kenyataanya. Bilapun kesadaran itu yang diyakini, pilihan untuk 'mereformasi' dan memperkuat yang ada tentu akan lebih bijak dan efisien biayanya. Termasuk bila 'sekedar' untuk memenuhi amanat undang-undang!
Sekali lagi, bukan hal mudah mewujudkan mimpi memiliki lembaga pengawasan industri keuangan yang tangguh. Pengawas bank di Amerika misalnya, dinilai kurang kompeten dalam menjalankan pengawasan bank dan dinilai tidak mampu mencegah praktik bank yang kurang hati-hati. Penilaian ini, misalnya diberikan oleh unit audit internal bank sentral AS, Office of Inspector General, yang menilai lemahnya pengawasan atas bank Midwest Bank, yang akhirnya ditutup pada Mei 2010 telah menyebabkan beban kerugian bagi Federal Deposit Insurance Company (FDIC), semacam LPS, senilai 200 juta dollar (lihat laporan audit internal atas lemahnya pengawasan terhadap Midwest bank di sini).
Sangat mengherankan sebenarnya, bila melihat bahwa perbankan dan pengawasan terhadapnya sedang mendapat kritikan tajam di hampir seluruh dunia, dan di era yang semakin terbuka saat ini, namun terkesan banyak yang ingin menempati posisinya. Jangan-jangan perebutan ini hanya tergiur sisi kewenangannya saja, mengesampingkan sisi tangungjawabnya.
Bila saja, yang terjadi dalam berlarutnya pembahasan OJK adalah cerminan betapa banyaknya pihak yang tulus ingin serius bekerja ekstra keras dan bertanggungjawab penuh untuk perbaikan negeri ini, alangkah indahnya! hanya Tuhan yang tahu ...
(Korea Herald, Korea Times, Korea JoongAng Daily, Â Dong-A Ilbo, the economist, federal reserve)