Bersamaan dengan berlangsungnya Forum Ekonomi Dunia untuk Asia Timur (World Economic Forum on East Asia) di Jakarta tanggal 12-13 Juni 2011 yang lalu, dipublikasikan laporan mengenai tingkat daya saing Indonesia (The Indonesia Competiveness Report) tahun 2011. Di dalam laporan tersebut, Indonesia dinilai semakin memiliki daya saing di dunia. Daya siang Indonesia berada di peringkat 44 (dengan nilai 4,43 dari skala 7), dari 139 negara yang disurvey, naik 10 tingkat dari posisi tahun 2005. Indonesia juga dinilai sebagai negara yang paling mengalami kemajuan diantara negara-negara yang tergabung dalam kelompok G-20.
Dengan peringkat yang sebenarnya sudah pula tercermin dalam Laporan sebelumnya (edisi September 2010) ini, daya saing Indonesia lebih baik dari 4 negara berkembang besar yang tergabung dalam kelompok Brics (Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan). Indonesia hanya kalah dari China yang berada di peringkat 27. Walaupun, untuk kawasan Asean, dimana Indonesia tahun ini sebagai ketuanya ('chair'), posisi Indonesia masih berada di tengah. Peringkat daya saing Indonesia masih di bawah Singapura (3), Malaysia (26) dan Thailand (38), meski jauh di atas Vietnam (59), Philipina (85) dan Kamboja (109).
Potret cukup menjanjikan atas prospek ekonomi Indonesia ini tentunya dari sudut pandang investor/pemilik modal, karena memang forum internasional yang baru pertama kali diselenggarakan di Indonesia ini, merupakan ajang pertemuan antara pebisnis global dengan para pejabat negara yang memerlukan dana untuk pembiayaan investasi pembangunan ekonominya. Sebelumnya, forum semacam ini diselenggarakan di Vietnam, sementara tahun depan di Bangkok, Thailand.
Gambaran optimis tadi memang seperti bertolak belakang dengan apa yang ada di media massa domestik, yang penuh dengan ‘aura’ negatif. Khususnya merebaknya berita menyangkut korupsi yang semakin terlihat ‘membudaya’, polemik menyangkut tingkat kemiskinan dan lambannya proses pembangunan untuk menyejahterakan masyarakat.
Perubahan lebih dari satu dasawarsa terakhir memang ibarat gelas berisi air setengahnya. Sebagian kalangan menilai gelas masih kosong, sebagian lagi sebaliknya.
Eforia kebebasan berbicara dan demokrasi serta keterbukaan memang ibarat menyajikan ‘borok-borok’ yang ada secara lebih gamblang. Tampilan ‘kebobrokan’ akhirnya memang lebih mendominasi. Apalagi ketika sisi ‘kekuasaan’ masih dihargai lebih berat dari sisi ‘tanggungjawab’. Namun, ini rasanya wajar, agar meski perlahan, namun kebobrokan dapat terselesaikan walau harus dengan ‘keributan’. Di mata mereka, keributan sepertinya justru dinilai sebagai cerminan berlanjutnya dinamika gerak reformasi tata kelola dalam bernegara.
Penilaian atas Indonesia oleh World Economic Forum (WEF) ini sejalan dengan penilaian yang diberikan oleh beberapa lembaga internasional, termasuk lembaga pemeringkat (rating agency). Tiga lembaga pemeringkat terkemuka, Fitch, S&P dan Moody's sudah menempatkan peringkat investasi Indonesia satu tingkat (notch) di bawah investment grade. Banyak kalangan menilai tinggal tunggu waktu untuk secara 'de jure' masuk kategori investment grade. Bahkan, lembaga pemeringkat dari Jepang, Japan Credit rating Agency (JCRA), sejak Juli tahun 2010 lalu, sudah memasukkan Indonesia ke dalam kelas investment grade. Peringkat yang disandang Indonesia sebelum dihantam krisis moneter tahun 1998 yang lalu. Namun demikian, JCRA sejauh ini belum menjadi rujukan utama bagi investor di pasar keuangan internasional.
Gita Wirjawan, Kepala Badan Koordinasi Pasar Modal (BKPM) bahkan optimis bahwa peringkat investasi akan disandang Indonesia di tahun ini juga. Pandangannya jelas masuk akal bila melihat perkembangan selama ini, apalagi Gita sebelumnya adalah investment banker di beberapa investment bank raksasa dunia. Termasuk di Goldman Sach, yang chief economist-nya, Jim O’Neill,  memperkenalkan ‘istilah’ Bric di tahun 2001. Gita tentu tahu persis sudut pandang dan cara pikir para pemilik modal, dan memang terbilang cukup sukses ‘memasarkan’ investasi di Indonesia (lihat juga: ‘Cara Gita Memasarkan Indonesia’). Tema ‘Invest in Remarkable Indonesia’ kini tersebar dimana-mana, mulai dari Youtube, TV CNBC, Bloomberg hingga berupa booklet di hotel dan kursi pesawat Garuda.
Dengan menyandang peringkat investasi, artinya investor menilai bahwa risiko Indonesia sudah lebih rendah. Dengan begitu, biaya pembangunan tentunya akan lebih murah. Bunga pinjaman untuk menjalankan usaha di Indonesia seharusnya juga akan lebih rendah, termasuk suku bunga Pemerintah untuk menerbitkan surat utang guna membiayai anggaran. Saat ini saja misalnya, suku bunga (imbal hasil) surat utang pemerintah berjangka waktu 10 tahun sekitar 7,4%, turun sekitar 4,5% dari tingkat bunga (yield) awal tahun 2009.
Memang, dalam beberapa tahun terakhir, mereka terkesan 'murah hati' dalam menilai Indonesia. Ibarat sedang jatuh cinta, hal-hal yang baik yang lebih terlihat mata. Padahal, sebelumnya sangat pelit. Perilaku yang juga mirip dengan kelakuan investor pasar finansial, yang cenderung 'over-reacting'. Sangat pesimis, mudah panik dan secepat kilat menghindari dari risiko ketika situasi dinilai tidak pasti. sebaliknya menjadi sangat optimis, cenderung sembrono dalam menilai risiko karena tertutup bayangan potensi keuntungan di depan, manakala kondisi dinilai sebaliknya.
Laporan semacam ini mulai dipublikasikan oleh penyelenggara, World Economic Forum, sejak tahun 2005. Laporan yang bermaksud menyajikan potret kemajuan pembangunan ekonomi suatu negara, potensinya dan berbagai persoalan mendasar dan kendala yang masih dianggap menghambat.
Peringkat daya saing ditentukan berdasarkan 110 indikator, dengan 80 indikator diantaranya merupakan hasil survey, yang kemudian dikelompokkan ke dalam 12 pilar daya saing. Ke-12 pilar ini dinilai sebagai faktor yang mendorong daya saing ekonomi suatu negara. Tentunya faktor mana yang dominan, akan bergantung pada dimana tahapan pembangunan ekonomi suatu negara berada.
Ke-12 pilar tadi kemudian dikelompokkan dengan merujuk pada 3 tahapan unsur yang diperlukan dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Mulai dari komponen dasar yang harus dalam suatu perekonomian (basic requirements), kemudian komponen yang menjadi syarat peningkatan efisiensi suatu perekonomian (efficiency enhancers), dan komponen pendorong inovasi dalam perekonomian (innovation and sophistication factors), mengacu pada pemikiran Profesor Xavier Sala-i-Martin, salah satu tokoh yang menjadi rujukan para ekonom penggiat ilmu ekonomi pembangunan.
Data statistik ekonomi suatu negara dikumpulkan dari berbagai lembaga internasional. Sementara untuk survey yang berisi penilaian/persepsi situasi bisnis suatu negara, dilakukan terhadap 13.607 pebisnis di 139 negara yang dinilai.
Sebenarnya metodenya serupa dengan pendekatan yang dipakai oleh OECD dalam mengukur dampak pembangunan ekonomi suatu negara kepada tingkat kesejahteraan dan kualitas hidup penduduknya. Dampak pembangunan ekonomi memang tidak bisa tercermin dari angka statistik kuantitatif semata, sehingga munculah suatu ‘happiness index’, yang antara lain menempatkan Australia sebagai negara yang penduduknya paling bahagia sedunia. Bedanya adalah kepada siapa survey dilakukan. Untuk OECD, survey dilakukan terhadap penduduk/masyarakat suatu negara, sementara untuk WEF kepada pebisnis.
Ke-12 pilar yang dijadikan tolok ukur daya saing suatu negara meliputi: aspek kualitas institusi/lembaga, infrastruktur, kebijakan makro ekonomi, kesehatan masyarakat dan pendidikan dasar, pendidikan lanjutan dan peningkatan ketrampilan, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, perkembangan pasar finansial, kesiapan teknologi, kapasitas pasar, tingkat kecanggihan bisnis, dan inovasi.
Dari ke-12 pilar tadi, tidak semuanya Indonesia memperoleh nilai baik. Bahkan, penilaian terhadap beberapa aspek yang menjadi kelemahan juga tidak jauh berbeda dengan yang menjadi sorotan masyarakat. Misalnya infrastruktur (urutan ke 82), kesiapan teknologi (91), tingkat kesehatan masyarakat serta pendidikan dasar (62), pendidikan lanjutan dan peningkatan ketrampilan (66), dan pasar tenaga kerja (91).
Meski demikian, beberapa dalam beberapa aspek, Indonesia dinilai sangat menonjol kemajuannya. Misalnya, kebijakan makro ekonomi (35), kecanggihan bisnis (37), inovasi (36) dan tentu saja kapasitas pasar (15). Hal yang terakhir ini jelas karena jumlah penduduknya yang hampir 240 juta dan dengan kelas menengah yang semakin meningkat jumlahnya akhir-akhir ini.
Dari 12 pilar tadi, terlihat bahwa salah satu nilai ‘plus’ yang dipegang kalangan global adalah konsistensi dari kebijakan makro ekonomi yang sehat dalam satu dasawarsa terakhir, yang dinilai akan memberikan pondasi yang kuat bagi proses pembangunan ekonomi yang sehat ke depan. Tentu dengan syarat problem utama bangsa, utamanya ‘budaya’ korupsi dapat teratasi.
Yang pasti, Indonesia memang tengah menjadi sorotan dan tujuan para pemiliki modal global yang tengah kehilangan kesempatan setelah kawasan Eropa dan Amerika mengalami krisis ekonomi. Jadi, jangan sampai hanya sekedar menjadi ajang mencari keuntungan dan menjadi pasar semata. Harus pintar-pintar memanfaatkan kesempatan untuk ‘menguasai’ dan menggunakan potensi pembiayaan dari luar ini, untuk membangun dengan cara yang lebih adil dan merata. Paling tidak, agar bisa menghasilkan ‘pondasi’ yang lebih kokoh seperti layaknya Brazil di bawah kepemimpinan presiden Lula. Tokoh yang sejauh ini dinilai mampu membangkitkan ‘harga diri’ Brazil dan mampu menterjemahkan nilai-nilai demokrasi ke dalam manfaat yang lebih nyata bagi masyarakat.
Banyak kalangan menyatakan, Indonesia sedang menghadapi ‘problem of success’, yang bila tidak tertangani dengan baik bisa berbalik membawa ke ambang kehancuran. Bisa terjerumus menjadi negara yang gagal, kata beberapa pengamat. Sebenarnya, bila masa ‘peralihan’ saat ini terlewati dengan baik, siapapun yang berkuasa selanjutnya akan berpijak pada pondasi yang lebih kuat, apapun ideologi pembangunannya.
Jer Basuki Mawa Bea.