[caption id="attachment_112510" align="aligncenter" width="640" caption="Sri Mulyani/Admin (KOMPAS.com)"][/caption]
Sri Mulyani Indrawati (SMI), secara eksplisit akhirnya diusung sebagai kandidat pimpinan tertinggi pelaksana, managing director (MD) IMF. Paling tidak, usulan eksplisit ini disampaikan oleh seorang pembaca Financial Times (FT) dalam suratnya ke redaksi tanggal 26 Mei 2011. Surat bertajuk ‘Excellent alternatives to a European shoo-in’ untuk mengusulkan SMI ini ditulis oleh seorang bernama Ferry Yosio Hartoyo, yang bekerja pada sebuah perusahaan keuangan berbasis di Inggris.
Sebelumnya, nama SMI sebagai kandidat pimpinan IMF dimunculkan oleh kolumnis Bloomberg bernama William Pesek. Nama SMI muncul bersama beberapa tokoh kuat Asia lainnya seperti Dr. Zeti Akhtar Aziz, gubernur bank sentral Malaysia. Pihak lain yang juga menyebut SMI sebagai kandidat yang layak memimpin IMF adalah menteri keuangan Thailand, Korn Chatikavanij dalam wawancara dengan media internasional 21 Mei lalu.
Namun demikian, belum ada pernyataan resmi dari pejabat Indonesia sendiri yang mencalonkannya. Mungkin masih sungkan, karena hal-hal yang berbau IMF masih sensitif secara politis. Entahlah kalau melalui ‘kasak-kusuk’ di belakang. Padahal, bila Indonesia ingin ikut ‘mengubah’ dunia, termasuk mengubah mindset IMF, jelas ini kesempatan yang amat langka meskipun dampak nyata kontribusinya bagi Indonesia sendiri tidak akan terlihat secara mudah dan kasat mata.
Tanpa ada upaya ‘resmi’ dari negara, jelas tak mungkin menggolkan SMI sebagai pimpinan IMF. Meskipun resmi bukan berarti harus muncul ke ‘permukaan’.
Media dan bursa kandidat yang memanas
Seperti biasa, media massalah yang menjadi sarana ‘pertempuran’ bila menyangkut pemilihan suatu pimpinan. Media-media besar dunia, seperti Financial Times, Bloomberg, Reuters, Wall Street Journal, New York Times, CNBC menjadi ajang kampanye dan testing the water para pengusung kontestan dan sang kandidat, langsung maupun tidak langsung.
Di permukaan, ‘kampanye’ via media inilah yang sepertinya diharapkan akan mendesak ‘Tim Penyeleksi’ untuk memasukkan seorang kandidat. Meski tentunya, gerakan di belakang layarlah yang akan menentukan.
Yang berhak secara resmi memilih para kandidat adalah anggota ke-24 anggota Dewan Eksekutif IMF. Yang berbeda kali ini dengan sebelum-sebelumnya adalah bahwa gubernur IMF, selain Direktur Eksekutif juga bisa mengajukan calon.
Pengajuan calon secara resmi dimulai tanggal 23 Mei lalu sampai dengan tanggal 10 Juni nanti. Berbagai calon yang masuk sesuai kriteria yang ditetapkan, akan disaring terlebih hingga tersisa 3 saja. Dari 3 kandidat ini selanjutnya akan dipilih secara consensus oleh para Direktur IMF yang tentunya akan sangat tergantung dari ‘nilai’ hak voting dari masing-masing negara anggota IMF. Proses ini diharapkan akan selesai akhir bulan Juni nanti.
Pencarian pengganti pimpinan IMF memang sedang memasuki babak yang semakin sengit. Seleksi kandidat pimpinan IMF kali ini memang tergolong yang paling ribut dan ruwet sepanjang sejarah, paling tidak karena dua hal.
Pertama, pergantian pimpinannya bukan karena habis masa jabatannya, melainkan karena yang menjabat, Dominique Strauss-Kahn (DSK), mengundurkan diri karena tersangkut tuduhan kasus kriminal pelecehan seksual di sebuah hotel di New York.
Kedua, desakan agar pimpinan IMF tidak berasal dari negara Eropa – yang sudah menjadi tradisi sejak IMF berdiri sebagaimana pucuk pimpinan World Bank yang selalu dari Amerika, semakin menguat dan eksplisit disuarakan. Selain itu, tuntutan agar pimpinan IMF bukan berasal dari birokrat, atau pejabat suatu negara yang sedang menjabat juga terus menguat. Hal terakhir ini misalnya, dinyatakan oleh Profesor Jagdish Bhagwati, ekonom kondang dan ahli di bidang perdagangan internasional, merujuk pada praktik pemilihan pucuk pimpinan World Trade Organization (WTO).
Sepanjang berdirinya IMF, baru 6 negara yang pejabatnya menduduki pimpinan tertinggi, semuanya dari Eropa, yaitu Belgia (1 kali), Swedia (2 kali), Belanda (1 kali), Perancis (4 kali), Jerman (1 kali) dan Spanyol (1 kali).
Dengan demikian, apabila calon terkuat MD IMF saat ini, Christine Lagarde, menteri keuangan Perancis, yang terpilih maka Perancis akan semakin mendominasi sebagai negara yang paling banyak menempatkan pejabatnya sebagai pucuk pimpinan pelaksana roda organisasi IMF.
Eropa bersatu, Asia terbelah
Di tengah makin santernya seruan agar pimpinan IMF tidak dijabat oleh tokoh dari Eropa, sejauh ini jutsru kandidat terkuat pengganti DSK adalah Christine Lagarde, menteri keuangan Perancis. Yang bersangkutan sudah secara resmi dicalonkan oleh Perancis dan sudah mulai melakukan kampanye untuk memperoleh dukungan dari negara berkembang. Pencalonannya semakin menguat setelah Jerman secara resmi menyatakan dukungannya, melalui pernyataan konselir Angela Merkel akhir minggu lalu. Bahkan, Perancis mengaku, China juga berada di balik pencalonan Christine Lagarde.
Bagaimana suara Amerika?
Amerika memang terlihat menghadapi dilema terkait isu ini. Di satu sisi, bila mendukung seruan negara berkembang maka bukan tak mungkin tuntutan serupa, yaitu agar tokoh Amerika yang selama ini mengisi pimpinan World Bank juga akan menguat. Di sisi lain, bila mendukung secara eksplisit tokoh Eropa, akan semakin sulit merangkul negara-negara berkembang yang sangat dibutuhkan Amerika saat ini untuk mempertahankan supremasinya di dunia.
Bagaimana dengan suara Asia?
Sampai saat ini, sayangnya negara berkembang, termasuk di Asia belum satu suara. Masih sebatas seruan agar tradisi pimpinan tokoh Eropa ditinggalkan. Asia dan negara berkembang lain belum mengerucut mengusulkan satu calon tunggal, sebagaimana Eropa.
Beberapa negara besar yang tergabung dalam kelompok BRICS (Brazil, Rusia, India, China dan South Africa), yang sebenarnya memiliki kekuatan besar untuk membendung suara Eropa masih belum terlihat satu suara. Masing-masing masih menunjukkan kepentingan yang berbeda, padahal poros dunia sedang bergeser dari negara maju ke negara berkembang.
Siapa saja kandidat resmi pimpinan IMF pengganti DSK memang sampai saat ini belum ada.
Satu tokoh kuat yang sudah lebih jelas diusung negara-negara Eropa, Christine Lagarde, meski sudah diakui kompetensinya yang mumpuni, sebenarnya juga masih memiliki kelemahan. Beberapa potensi ‘masalah’ yang melibatkannya sudah mulai dihembuskan ke media.
Tentu tak akan mudah bagi IMF untuk memilihnya bila hanya mengandalkan dominansi suara Eropa. Eropa memang sedang sangat berkepentingan dengan peran IMF dalam menangani krisis di sana. IMF akan semakin dinilai tidak juga berubah di tengah tuntutan untuk mengubah paradigma dan agar lebih mengakomodasi ‘cara pikir’ dan kepentingan negara berkembang.
Kalau saja negara berkembang, utamanya Asia dan BRICS, bersatu suara bukan tak mungkin mengalahkannya. Amerika dan Jepang bisa jadi beralih mendukung. Dalam kaitan ini, SMI selain menunjukkan perwakilan negara berkembang, juga akan dianggap sebagai calon ‘independen’ dari kepentingan masing-masing negara berkembang, utamanya negara besar yang tergabung dalam BRICS, sehingga bisa menjadi kuda hitam. Meski ini berarti, juga akan tergantung bagaimana sikap ‘resmi’ Indonesia. Beranikah Indonesia? Tak mudah tentu saja.