Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Artikel Utama

Jalan Licin Gubernur BI Baru

23 Juli 2010   09:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:39 238 0
[caption id="" align="alignleft" width="150" caption="www.bi.go.id"][/caption] Darmin Nasution akhirnya dinyatakan layak dan patut (fit and proper) oleh Komisi XI DPR-RI sebagai Gubernur Bank Indonesia. Dengan demikian, posisi yang sudah lowong selama lebih dari setahun sejak Mei 2008 lalu saat Boediono mendampingi SBY sebagai Wakil Presiden, kini sudah terisi. Sekarang giliran posisi Deputi Gubernur Senior BI, yang saat ini dijabat oleh Darmin Nasution, yang kosong. Mestinya, terpilihnya Darmin Nasution sebagai Gubernur BI sama sekali tidak mengejutkan. Selain yang bersangkutan merupakan calon tunggal, juga ‘de facto' sudah menjabat sebagai Gubernur BI sejak Juli 2009. Tentunya sulit bagi para Anggota Komisi XI untuk menilai tidak layak dan tidak patut karena nyatanya fungsi dan tanggungjawab Gubernur BI sudah berada di pundaknya dan tidak ada masalah. Apalagi yang bersangkutan sudah lolos pula dalam pengujian serupa saat menjadi kandidat Deputi Gubernur Senior BI pada 11 Mei 2009 lalu. Tak heran bila proses uji kelayakan dan kepatutan terhadapnya akhirnya lebih mirip ‘Pansus' Perpajakan, untuk meyakini kredibilitas dan integritas sang kandidat. Aspek kompetensi dan leadership jelas tak perlu diragukan lagi terhadap doktor ekonomi jebolan Universitas Sonbourne Paris, Perancis tahun 1996 ini. Selain pernah malang melintang menduduki jabatan strategis di republik ini, mulai dari Dirjen Lembaga Keuangan, Dirjen Bapepam-LK dan Dirjen Pajak, juga sebagai komisaris berbagai perusahaan termasuk di beberapa bank. Selama pengujian, yang bersangkutan lebih banyak dibombardir dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kasus pajak. Persoalan yang sebenarnya lebih relevan dengan jabatan yang disandang sebelumnya sebagai Dirjen Pajak. Bahkan, untuk kasus-kasus pajak yang sudah terjadi beberapa tahun yang lalu. Hal yang justru tidak terlalu banyak dilontarkan saat yang bersangkutan menjalani pengujian yang sama sebagai Deputi Gubernur Senior. Proses uji kelayakan dan kepatutan terhadap Darmin Nasution kali ini terbilang ‘alot' dan memecehkan rekor dari sisi lamanya pengujian dilakukan. Waktu pelaksanaan pengujiannyapun sempat ditunda beberapa kali. Total waktu pengujian lebih dari 12 jam dan berlangsung 2 hari. Hal yang belum pernah terjadi dalam sejarah pemilihan Gubernur BI di republik ini. Juga dengan proses rapat pengambilan keputusan yang bersifat terbuka di Komisi XI semalam, yang akhirnya disepakati untuk disetujui secara aklamasi meski dengan beberapa syarat. Terkait embel-embel syarat ini, beberapa media menyebutnya sebagai aklamsi dengan catatan, seolah opini akuntan publik yang ‘wajar dengan pengecualian'. Nah, beberapa catatan dari masing-masing Fraksi Komisi XI yang menyertai persetujuan Darmin Nasution sebagai Gubernur BI itulah yang ke depan bisa menjadi jalur licin. Sang Gubernur harus hati-hati benar agar tidak tergelincir. Apalagi melihat riwayat nasib Gubernur bank sentral di republik ini yang suram pasca krismon 1998 lalu (lihat: Menjadi Gubernur BI, siapa bernyali?). Catatan-catatan tadi menuntut sang Gubernur untuk inovatif dan kreatif dalam memenuhi harapan sang wakil rakyat. Meski bisa difahami bahwa beberapa catatan wakil rakyat tadi berada dalam ranah komunikasi politik, namun bisa saja pada waktu tertentu berserempetan dengan interpretasi hukum yang rumit. Mengapa? Karena sejatinya apa yang harus dicapai sang Gubernur dan bank sentralnya, yaitu lingkup tugas dan cakupan kewenangannya sudah diatur dalam UU, yaitu UU BI No. 23 tahun 1999 yang terakhir diamandemen menjadi UU No. 6 tahun 2009 lalu.  Hal ini termaktub utamanya di dalam pasal 7, 8 dan 10 beserta penjelasannya. Bahkan ada ancaman tegas terhadap segala bentuk campur tangan pihak lain (intervensi) terhadap pelaksanaan tugasnya tersebut, berupa ancaman pidana (pasal 9 dan 67). Ibarat suatu perusahaan, UU BI merupakan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) sehingga membatasi lingkup tugas dan ruang geraknya. Bila dituntut bergerak di luar batasan yang ada, tentu harus ada amandemen terhadap UU. Bila tidak, bisa panjang dan ribet urusannya. Bahasa politik dan hukum memang seringkali bisa bertautan dengan rumit, ruwet dan njlimet sehingga sangat-sangat melelahkan mengurainya. Meski demikian, harus pula disadari bahwa tautan politik memang cenderung menguat bagi institusi bank sentral seluruh dunia pasca krisis global menjalar dengan ganasnya sejak ambruknya industri keuangan di Amerika Serikat pertengahan tahun 2008 lalu. Hal yang sudah sejak lama diendus oleh Richard Baldwin di the Economist edisi 30 Juni 2008 lalu. Sinyalemen yang terbukti benar dan menjalar kemana-mana, dari mulai Korea Selatan, Jepang hingga Argentina, Eropa dan Amerika Serikat. Pangkal perseteruan umumnya mengerucut di status indepensi bank sentral. Status yang awalnya dilandasi pemikiran agar bank sentral terbebas dari politisasi, sehingga tetap ada satu instansi yang fokus menjaga kesinambungan perekonomian suatu negara dan kepentingan masyarakat umum di era makin menguatnya alam demokrasi. Era yang seringkali membuat tendensi kebijakan penguasa yang populis, berorientasi jangka pendek untuk kepentingan pemenangan pemilu. Nah, kembali ke masalah beberapa catatan anggota dewan tadi.  Ada satu hal yang menonjol, yaitu harus bersedia mengundurkan diri manakala didakwa bertanggung jawab dalam kasus Century. Hal ini bisa jadi mencerminkan kegemasan para wakil rakyat terkait sulitnya mendesak mundur pejabat manakala sang pejabat dalam proses penyelidikan suatu kasus. Rupanya anggota dewan memanfaatkan peluang yang ada di dalam pasal 48 UU BI. Catatan yang lain umumnya lebih bersifat penekanan dari anggota dewan akan fokus tugas-tugas bank sentral. Misalnya, harus mendorong penurunan suku bunga kredit, meningkatkan efisiensi perbankan dan pengembangan perbankan syariah untuk membantu menurunkan angka pengangguran dan menciptakan lapangan kerja. Meski demikian, bank sentral diharapkan harus tetap bisa independen. Memang bila dilihat satu per satu, beberapa catatan tersebut sekilas bisa terkesan agak kontradiktif. Walaupun demikian, sejatinya hal-hal tersebut sudah merupakan paket tugas bank sentral sesuai mandat yang ada dalam undang-undang. Istilah kerennya semuanya sudah ‘goes without saying'. Sekali lagi, penguatan amanah ke bank sentral dari para wakil rakyat bukan hal yang aneh dan mengada-ada, bahkan sudah seharusnya demikian. Namun, bisa dimengerti kalau pesan-pesan tersebut perlu diungkapkan sebagai penyerta persetujuan anggota Dewan. Tak lain tentunya untuk menunjukkan bahwa fungsi para wakil rakyat semakin baik dalam check and balance. Sesuatu yang memang agak ternoda dan mutlak diperbaiki karena pada periode sebelumnya banyak anggota dewan yang justru terlibat dalam berbagai perkara. Apa yang menjadi tugas dan kewajiban bank sentral sebenarnya sudah terangkum jelas dalam pasal-pasal UU BI dan bukan merupakan hal yang terisolasi dan terpisah dari program pembangunan pemerintah. Hal ini secara jelas telah ditegaskan di dalam penjelasan pasal 7 dan 10 UU BI tersebut. Selain itu, yang berwenang menilai kinerja bank sentral adalah para anggota dewan sendiri. Yang bisa repot nantinya adalah apabila catatan-catatan tadi menjadi semacam ‘policy contract agreement' dengan anggota dewan. Interpretasinya bisa sangat lentur, apalagi bila urutan prioritas dan jangka waktunya tidak jelas, serta tidak sejalan dengan apa yang ada dalam rangkaian peraturan yang menyertai UU BI. Padahal sejatinya UU BI merupakan produk paa wakil rakyat tersebut juga. Lain halnya apabila hal-hal tadi diterjemahkan sebagiamana UKP4 mengukur kinerja para menteri. Apapun, hal terpenting adalah penugasan ke bank sentral harus tetap sejalan dengan amanat pasal 10 UU BI tadi. Memang merupakan praktik yang lazim, bahkan suatu keharusan, sebenarnya bank sentral diikat dengan suatu kontrak oleh Pemerintah, karena berada dalam ranah eksekutif sesuai dengan UU yang ditetapkan oleh para wakil rakyat. Tengok misalnya kontrak kerja beberapa tahun gubernur bank sentral New Zealand dengan Pemerintah, yang diikat dalam suatu Policy Target Agreement (PTA). Atau kontrak kerja bagi bank sentral Canada, sekedar sebagai contoh. Bila disimak, apa yang menjadi catatan para anggota dewan tadi sebenarnya juga sudah terangkum dengan sistematis dalam visi dan misi yang disampaikan dalam uji kelayakan dan kepatutan, termasuk upaya untuk lebih menjadikan kultur bank sentral sebagai pelayan publik. Paparan visi dan misi sang kandidat gubernur bahkan menjelaskan pula dengan sangat baik bahwa tidak tepat sebenarnya pandangan yang menilai bahwa bank sentral tidak peduli dengan pertumbuhan ekonomi dan rakyat kecil. Sebaliknya, bila tugas utama bank sentral sesuai UU dapat terlaksana dengan baik, maka hal tersebut dengan sendirinya merupakan bentuk nyata kebijakan yang pro-poor, pro-job dan pro-growth dalam pengertian yang sesungguhnya. Terjaganya inflasi yang rendah dan stabil jelas akan melindungi daya beli masyarakat, terutama masyarakat miskin dan menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi yang sehat. Capaian yang memang membutuhkan proses yang sehat agar dapat bertahan dan terus berlanjut, bukan merupakan suatu hasil kerja instan. Proses yang instan seringkali hanya bertahan sebentar, tidak berkesinambungan. Tersirat pula bahwa pelaksanaan tugas bank sentral dipaparkan ibarat harus berakit-rakit ke hulu dan berenang-renang ke tepian, sebagaimana petuah para tetua, dan proses tersebut dijanjikan akan dilaksanakan dengan lebih efisien. Atas catatan-catatan para wakil rakyat tersebt, yang dikhawatirkan adalah bahwa ibarat menekan pada tombol yang salah karena ternyata kendala dan hambatan ternyata beada ada di medan yang lain. Yang pasti, tantangan gubernur baru jelas tak ringan. Apapun kebijakan yang akan ditempuh akan selalu dilematis. Semua pilihan mengandung konsekuensi yang tidak ringan. Ditambah lagi situasi perekonomian dan pasar finansial global yang masih belum cukup menjanjikan.  Selain itu, landscape perekonomian dan perpolitikan global berubah total pasca global krisis terhebat yang pernah terjadi. Perubahan mendasar yang juga pernah kita alami sejak lebih dari sepuluh tahu lalu. Belum lagi agenda pembentukan OJK dan masalah UU Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) yang sudah di depan mata. Dalam kondisi tersebut, pilihan kebijakan tentunya harus dilakukan hati-hati dan penuh perhitungan, meskipun harus tetap cepat diambil. Situasi yang membuat sangat mudah tergelincir. Apalagi dalam ranah kebijakan publik, dimana ongkos atau biaya yang muncul biasanya mendapat perhatian lebih dari pada hasilnya. Terlebih bila hasil dari kebijakan tak bisa cepat dilihat dan tak mudah diukur. Sesuatu yang melekat dalam karakteristik tugas suatu institusi bank sentral. Untuk itu, ada baiknya mengingat kembali pesan Ken Henry, the Secretary of to the Treasury Pemerintah Australia, terkait kebijakan publik yang menjadi referensi dan inspirasi postingan pertama saya di Kompasiana berjudul ‘Tiga Hal untuk Para Calon Menteri'. Gubernur BI baru, Darmin Nasution, akan menjalankan tugas di era baru. Jaman yang lebih sulit, dinamis dan penuh ketidakpastian. Juga masa dimana semakin banyak pihak yang tidak sabar dan cenderung berpikir cupet. Benar-benar sebuah titian yang sangat licin. Selamat bertugas Pak Darmin,  semoga kinerja bank sentral republik ini semakin berkibar agar membantu negeri ini dalam memanfaatkan segala potensi dahsyatnya bagi kesejahteraan rakyat.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun