Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money Artikel Utama

Bubble? Tetaplah Waspada!

14 April 2010   15:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:47 570 0
[caption id="attachment_118598" align="alignleft" width="300" caption="Pergerakan harga saham : Bloomberg"][/caption]

Setiap tahun, menjelang lebaran harga beberapa barang terutama makanan akan naik. Penyebabnya karena masyarakat biasanya membeli makanan lebih banyak untuk persediaan, agar tidak repot untuk menjamu saudara-saudara yang datang bersilaturahmi di hari kemenangan tersebut. Perilaku ini juga lantaran saat lebaran, banyak pembantu pulang kampung dan banyak toko yang tutup. Para ibu, terutama di perkotaan harus mengambilalih peran pembantu, termasuk menjamin pasokan makanan untuk seluruh anggota keluarga.

Alasan pragmatis masyarakat tersebut terbukti tak mudah diubah. Meskipun Pemerintah selalu berusaha meyakinkan bahwa pasokan barang tersedia cukup agar tidak terjadi lonjakan harga di tengah meningkatnya pembelian barang, persepsi bahwa pasokan barang akan terbatas tetap eksis. Belum lagi karena ulah distributor barang yang cenderung memberi kesan kelangkaan barang dengan menahan barang-barang di gudang.

Kenaikan harga karena ‘psikologi masa' seperti yang terjadi setiap menjelang lebaran terbukti sulit dihilangkan. Namun, hal seperti ini tidak terlalu mengkhawatirkan. Selain karena  harga akan kembali turun setelah Lebaran berlalu, juga karena fenomena tadi tidak menyebabkan kerugian dan akibat buruk yang lebih luas. Motif masyarakat membeli barang lebih banyak menjelang Lebaran tadi bukan untuk mencari keuntungan.

Lain halnya bila situasi tersebut terjadi di pasar saham atau di pasar surat utang (obligasi), dan berlangsung untuk beberapa waktu lamanya. Akibatnya bisa sangat parah bagi masyarakat luas.

Pasar saham merupakan tempat dimana pemilik modal (investor) membeli saham perusahaan untuk memburu keuntungan. Meskipun secara teori harga saham ditentukan berdasarkan kinerja perusahaan dalam mencetak laba, namun prakteknya tidak selalu demikian.  Banyak investor yang tidak terlalu perduli dengan hal tersebut, karena tujuannya hanya mencari keuntungan dari naiknya harga saham (capital gain). Artinya, begitu harga saham naik lebih tinggi dari saat dibeli, maka dia akan menjual sahamnya. Tak heran bila harga saham naik turun setiap hari seperti halnya nilai tukar. Pergerakan semakin harga saham akan semakin berfluktuasi bila makin banyak pelaku yang membeli saham bukan dengan dananya sendiri, melainkan dari meminjam (berhutang).

Kondisi sesungguhnya dan prospek suatu perusahaan seringkali diabaikan, atau tidak dengan cermat diperhitungkan. Walaupun tidak mudah memang melakukan penilaian tersebut.

Banyak sekali faktor yang terkait dan harus dipertimbangkan karena menyangkut penilaian atas situasi masa depan. Penilaian ini juga sangat terkait dengan bagaimana prospek perekonomian suatu negara, bahkan dunia. Sesuatu yang seringkali memang sulit diamati.

Pada akhirnya, penilaian kondisi suatu perusahaan dan prospek ekonomi akan sangat tergantung pada keyakinan! Sesuatu yang dengan mudah mengarah ke tindakan yang spekulatif.

Sejarah membuktikan bahwa keyakinan tersebut seringkali berlebihan. Baik keyakinan terhadap prospek yang membaik maupun sebaliknya. Akibatnya, bila ada tanda-tanda atas hal yang diyakininya tidak akan terjadi, maka dengan cepat saham-saham tersebut akan dijual.

Bila pihak yang menjual saham tadi adalah pelaku yang cukup besar atau yang ‘bonafide', akan diikuti pihak lain. Siapa yang terlambat menjual akan menderita kerugian besar karena harga sudah jatuh. Terjadilah ‘perlombaan' menjual sehingga harga saham semakin cepat jatuh. Perilaku ikutan ini juga karena banyak pemain di pasar saham yang sekedar mengekor bagaimana gerakan pemain besar tadi, baik menyangkut jenis saham dan kapan saat membeli atau menjualnya.

Sejarah juga membuktikan bahwa perilaku seperti itu seringkali menyebabkan harga-harga saham maupun obligasi, yang sering disebut sebagai surat-surat berharga (SSB) atau aset finansial, bergejolak. Seringkali juga dengan kecenderungan yang terus meningkat, jauh di atas nilai yang seharusnya. Kondisi yang seringkali disebut sebagai bubble (menggelembung).

Bila gelembung ini terlalu besar dan pecah, sehingga harga-harga saham atau obligasi tadi ‘terjun bebas' akibatnya bisa berdampak sangat luas. Persis seperti kejadian krisis global tahun 2007/2008, yang asal mulanya dari pasar surat utang terkait kredit perumahan yang sebenarnya kurang layak (sub-prime mortgage) di Amerika Serikat (AS). Akibat krisis terbesar paska Perang Dunia II ini masih terasa di berbagai belahan dunia sampai kini.

Banyak pihak yang dianggap bertanggungjawab atas terjadinya krisis hebat tersebut. Antara lain karena ‘pembiaran' atas perilaku serakah mengejar keuntungan para pemain pasar keuangan, pola hidup masyarakat (konsumen) AS yang ‘besar pasak daripada tiang'. Pejabat pemerintah maupun otoritas termasuk yang dipersalahkan. Survey TIME online menyebutkan ada 25 orang atau pihak yang dianggap sebagai penyebab krisis.

Saat ini, kekhawatiran bahwa terjadi bubble kembali mulai mencuat.

Kekhawatiran tadi terkait dengan berlimpahnya dana murah akibat banyak bank sentral di dunia mencetak uang untuk menangani krisis. Berlimpahnya dana, sementara suku bunga di banyak negara maju mendekati ‘nol' persen menyebabkan berbagai pihak memburu beragam aset di berbagai negara yang dianggap pertumbuhan ekonominya lebih menjanjikan dan negara dengan suku bunga yang lebih tinggi. Dana yang sering disebut dengan ‘hot money' karena sifatnya memburu keuntungan jangka pendek ini mengalir sangat banyak ke berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia.

Nah, apakah di Indonesia ada tanda-tanda yang demikian?

Beberapa pihak masih beranggapan bahwa belum ada indikasi bubble di pasar keuangan Indonesia. Di pasar saham, kenaikan tajam dan cepat harga saham di Bursa Saham Indonesia (Indonesia Stock Exchange, dulu Jakarta Stock Exchange), dinilai masih sesuai dengan kondisi sesungguhnya perekonomian Indonesia dan prospeknya. Apalagi beberapa lembaga rating telah menaikkan peringkat Indonesia. Selain itu, juga menunjukkan kepercayaan terhadap kebijakan yang diambil para penyelenggara negara. Sesuatu yang tentunya menggembirakan dan semua berharap hal itu menjadi kenyataan.

Harga saham, yang tercermin dalam indeks harga saham gabungan (IHSG) atau Jakarta Composite Index (JCI) melesat cukup pesat. Saat puncak krisis, sekitar November 2008, IHSG berada di level 1100-an kini telah melesat ke level mendekati 2900-an. Sudah melebihi level sebelum krisis dan merupakan level tertinggi selama ini.

IHSG merupakan cerminan harga seluruh saham perusahaan yang diperdagangkan di Bursa Saham Indonesia. Pertama kali diperkenalkan pada Agustus tahun 1982 dengan indeks dasar 100 (Bloomberg).

Selama tahun 2010 ini saja, IHSG telah naik sekitar 14% dan merupakan salah satu yang dianggap paling ‘kinclong' di Asia. Saat ini, IHSG berada di level 2885 dan banyak pihak yang optimis segera menembus level ‘psikologis' 2900, bahkan 3000.

Sekali lagi, hal tersebut tentunya menunjukkan indikasi yang menggembirakan. Namun tetap harus harus diwaspadai. Harus diyakini benar bahwa perkembangan ini dilandasi penilaian yang cermat. Bukan semata merupakan ‘dampak' perilaku mengejar capital gain karena berlimpahnya dana murah di luar negeri.

Peringatan perlunya kewaspadaan tersebut sebenarnya bukannya tidak ada. Namun seringkali justru dianggap mengada-ada. Ibarat seruan terhadap anak kita yang sedang asyik bermain play station. Pasti akan disikapi dengan cemberut.

Bloomberg tanggal 8 April 2010 lalu misalnya, memberitakan semacam peringatan akan indikasi bubble ini dengan mengutip salah satu pernyataan pejabat Bank Indonesia. Berita ini, yang meskipun kemudian diklarifikasi sebagai sebatas hasil study dan tidak mencerminkan kondisi saat ini direspon dengan penurunan harga saham (koreksi). IHSG terkoreksi turun sebesar 1,7% pada hari itu. Bahkan, saham salah satu bank besar di Indonesia terkoreksi cukup tajam, yaitu sekitar 3% dalam sehari tersebut. Sangat bisa dimengerti bila hal ini menyebabkan beberapa pihak merasa tidak nyaman karena merasa terusik 'keasyikannya'.

Padahal, di tengah situasi ekonomi dunia yang masih diliputi ketidakpastian, peringatan-peringatan seperti itu sangat diperlukan. Selain untuk mencegah perilaku memburu keuntungan sesaat yang berlebihan, juga agar semua tetap cermat dan membuat penilaian yang lebih tepat menyangkut setiap perkembangan ekonomi yang ada.

Jelas bahwa semua harus tetap optimis dan berharap kondisi yang semakin baik terwujud. Namun tetaplah harus waspada, tidak seharusnya terlena dalam eforia.

Agar jangan seperti yang dikatakan oleh Edward Chancellor, jurnalis the Financial Times dalam kolomnya tanggal 12 April 2010 ‘Bubbles : A Victorian lesson in mania'bahwa perilaku investor yang irasional seringkali terlambat diketahui, yaitu setelah bubble pecah dan krisis terjadi.

Dalam kolomnya itu, dia juga mengutip pendapat Andrew Odylzko, seorang peneliti ekonomi dari Universitas Minnesota, AS yang menyatakan bahwa ‘you don't need any special skill or complicated models to detect a bubble. All that is needed is common sense, an ability to do simple arithmetic, and knowledge of a few basic facts about the economy'.

Hal senada diungkapkan oleh Glenn Stevens, gubernur bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia) yang menyatakan bahwa bank sentral seharusnya bisa mengendus ancaman terhadap perekonomian, termasuk adanya potensi bubble.

Dengan begitu dapatdiambiltindakan pencegahan yang diperlukan tepat waktu, yaitu sebelum bubble pecah dan krisis melanda. Walaupun disadari memang bahwa langkah tadi akan tidak popular secara politis, pada saat dilakukan. Namun tetap dan seharusnya dilakukan karena memang demikianlah, menurut Glenn Stevens mandat sebuah institusi bank sentral. (William Pesek, kolumnis Bloomberg dalam artikelnya 7 April 2010: ‘Miracle Economy Gives ‘Pilot' Lessons to Bankers')

Sekali lagi, sikap optimis memang tetap dan harus dipertahankan. Namun janganlah berlebihan. Pihak berwenang seharusnya tetap perlu memberikan peringatan dini terhadap setiap indikasi perilaku ketidakwajaran untuk mencegah hal yang tidak diinginkan. Agar tidak berkembang perilaku yang justru mengancurkan kondisi ekonomi yang sebenarnya memang bagus dan terus membaik. Di sinilah sebenarnya bukti kepiawain para pemangku kebijakan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun