Hari ini, Indonesia kembali mendapat gelar sebagai negara terkorup diantara tiga belas negara di kawasan Asia Pasifik, menggantikan posisi Kamboja yang tahun lalu memegang gelar ‘bergengsi' ini. Gelar ini diberikan berdasarkan hasil survey atas sekitar 2.174 pengusaha dari berbagai negara, yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hong Kong (Bloomberg, 8 Maret 2010).
Dengan penobatan ini, Indonesia kembali turun pretasinya dari dua tahun sebelumnya yang sedikit lebih baik dengan menempati peringkat kedua. Tahun lalu, peringkat ini dipegang Kamboja. Tahun sebelumnya posisi negara terkorup dipegang oleh Philipina. Sementara itu, Singapura dipandang sebagai negara yang paling tidak korup. Jadi, Indonesia merebut kembali posisi sebagai negara terkorup yang pernah disandang pada tahun 2005 dan 2006.
Tentu akan ada beragam pandangan dalam menyikapi berita ini. Sangat masuk akal apabila sebagian akan acuh tak acuh saja, ada yang setuju atau ada yang tidak setuju. Masing-masing tentu dengan sudut pandang dan kepentingan, baik langsung maupun tidak langsung, yang beragam.
Yang menarik adalah bahwa menurut hasil survey PERC tersebut, merosotnya status Indonesia ini justru terkait dengan gaduhnya proses politik terkait kasus bail-out bank Century. Pandangan para pihak yang disurvey justru mensinyalir bahwa gaduhnya proses atas nama pengusutan bail-out bank Century ini mencerminkan bentuk perlawanan dari sebagian pihak terhadap semangat anti-korupsi dan reformasi birokrasi yang coba diusung pemerintahan SBY.
Yang dimaksud tentunya perlawanan dari pihak-pihak yang merasa terancam dengan menguatnya gerakan anti-korupsi tersebut. Jelas ini pandangan yang subyektif dan sah-sah saja dari sudut pandang para pelaku bisnis asing yang disurvey PERC tersebut. Namun tidak jelas apakah persepsi tadi terkait pula dengan mencuatnya kasus-kasus korupsi yang melibatkan politisi, baik di tingkat pusat maupun daerah, pengusaha maupun pejabat dan mantan pejabat negara, yang juga melibatkan beberapa aparat penegak hukum yang memang terlihat marak dalam beberapa waktu terakhir.
Intinya, survey tersebut menunjukkan bahwa carut-marut proses politik terkait kasus bank Century justru mengirimkan sinyal yang keliru dalam konteks upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Alih-alih dinilai untuk menggiatkan pemberantasan korupsi. Justru sebaliknya, dinilai sebagai langkah untuk menghambat pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi. (‘Bank Century bailout accusations sending out all the wrong signals', PERC, Desember 2009 dan ‘Reform rhetoric exaggerates pace of actual change', PERC, Januari 2010).
Persepsi mereka mengingatkan pandangan yang pernah disampaikan oleh Ross McLeod dan Arianto Patunru, ekonom dari Australian National University (ANU) ‘Will Indonesia sacrifice its anti-corruption champions?'. Artikel yang juga dimuat di Koran Tempo edisi 17 Desember 2009.
Masuk akal bila nanti ada beberapa pihak yang melihat bahwa persepsi ini bisa menjadi kendala bagi proses pembangunan yang sesungguhnya karena akan menghambat tumbuhnya investasi. Bisa jadi dapat pula mengurangi dampak positif atas kenaikan peringkat investasi (rating) Indonesia dari Fitch, salah satu lembaga rating internasional, tanggal 25 Januari 2010 lalu menjadi BB+/Stable (satu tahap di bawah investment grade) dimata pelaku pasar finansial. Peringkat investment grade merupakan hal yang sudah coba diraih dalam kurun waktu sebelas tahun terakhir. Indonesia kehilangan peringkat ini setelah Krismon 1998 lalu. Dengan peringkat yang membaik, maka biaya pembangunan tentu akan lebih murah.
Apapun, tentunya transparansi, kepastian dan konsistensi penegakan hukum menjadi kuncinya. Ruang remang-remang harus dikurangi. Selain karena keremangan acapkali menimbulkan praduga yang bukan-bukan dan kesalahpahaman, juga mendorong perilaku yang menyimpang. Apalagi bila keremangan terjadi di ranah hukum. Hal ini rupanya sejalan pula dengan hasil studi psikologi terbaru dari Chen-Bo Zhong and Vanessa Bohns dari the University of Toronto dan Francesca Gino dari the University of North Carolina ‘why shady deeds are more likely to happen in the dark', yang antara lain menyatakan bahwa dalam situasi yang remang-remang, kecenderungan orang untuk berbuat curang akan meningkat (TIME, 3 Maret 2010).