“Politicians are so smart, they don’t think”, begitulah ungkapan seorang teman yang bekerja sebagai birokrat. Ungkapan yang bernada kesal tadi disampaikan pada saat panggung Pansus sedang heboh-hebohnya beberapa waktu lalu. Usianya masih sepantaran dengan para anggota Pansus yang tergolong vokal. Jadi bisa dimengerti pula kesamaan kandungan emosi dan tingkat kematangannya dari ucapan-ucapan yang terlontar. Bedanya hanya kalau teman tadi tidak memiliki kesempatan yang sama untuk bicara kepada khalayak, dan mungkin juga tidak seberani, para politisi muda anggota Pansus. Sebentar lagi, masa kerja Pansus dengan anggaran 2,5 milyar rupiah akan segera berakhir. Awal Maret nanti, mereka akan menyampaikan kesimpulan akhir hasil proses penyelidikan Pansus. Jelas, beban berat berada di masing-masing anggota Pansus. Kredibilitas masing-masing anggota Pansus atas ucapan, sangkaan atau praduga yang telah mereka sampaikan ke publik akan diuji. Bagi setiap anggota pansus, jelas bahwa hal ini ini merupakan faktor yang diperhitungkan bagi karir mereka ke depan. Pada saatnya nanti, media pasti akan mengungkap lagi apa saja yang pernah mereka sampaikan di publik ketika mereka berebut untuk posisi yang lebih tinggi. Hal yang mirip dengan dimunculkannya kembali komentar dari politisi anggota Pansus di media massa pada badai krisis keuangan global sedang berada di puncaknya akhir tahun 2008 lalu. Cerminan dari pandangan psikologis mereka saat itu. Komentar sebagian mereka saat itu yang cenderung berbeda dengan pandangan yang mereka utarakan dengan lugas pada saat menjadi anggota penyelidik kasus bail-out Century. Namun, terbukti dengan lihainya mereka bisa berkilah dari itu. Jadi saya kurang sependapat dengan ungkapan seorang teman yang saya kutip di awal tadi. Para politisi anggota Pansus memang terbukti pintar dan mereka selalu berfikir keras untuk menjaga citra diri. Mereka tahu benar cara memanfaatkan momentum rasa ketidakpuasan, dan kemarahan publik atas situasi yang sedang terjadi. Mereka misalnya dengan berani mengambil sikap berbeda ketika berhadapan dengan kalangan masyarakat kaya pemilik dana besar yang menjadi korban penipuan pemilik Century dalam kasus reksadana Antaboga. Mereka seolah menyerukan bahwa mereka harus dibail-out, pemerintah harus bertanggung jawab terhadap kerugian mereka. Padahal proses hukum sudah berjalan dan upaya untuk memperoleh dana yang digelapkan pemilik Century sedang diupayakan, bahkan sudah diblokir. Mereka sadar bahwa sentimen publik seperti ini terjadi dimana-mana, di seluruh dunia. Mereka tahu persis bagaimana posisi politisi oposisi di hadapan publik dalam menyikapi kebijakan yang ditempuh pemerintah (penguasa) dan bank sentralnya dalam menangani krisis, untuk meraih popularitasnya kembali demi kepentingan pemilihan berikutnya. Simak saja, misalnya bagaimana harian the Wall Street Journal mengulas bagaimana kemarahan publik Amerika Serikat atas bail-out raksasa pemerintahnya dan bagaimana para politisi memanfaatkan situasi ini. Tanggal 21 Februari 2010 ini misalnya, harian tersebut memuat ulasan berjudul ‘Bail-out anger undermines Geithner’ menggambakan bagaimana dilema yang dihadapi Tim Geithner, mantan pejabat bank sentral yang kini menjabat sebagai Secretary of the Treasury dalam pemerintahan Obama terhadap beratnya tekanan publik terhadapnya. Tim Geithner ini, usianya masih muda, sekitar 47 tahun, namun sudah menduduki posisi tinggi. Umurnya sepantaran dengan Sri Mulyani, Menteri Keuangan saat ini yang juga sedang sama-sama menghadapi kritikan pedas atas kebijakan yang diambil sebagai Ketua KSSK. Mungkin karena usianya yang masih tergolong muda yang membuat, baik Geithner maupun Sri Mulyani, yang bisa mengimbangi gaya dialog lugas dan keras ala Pansus sehingga cukup ‘menghibur’ publik. Geithner misalnya, dalam suatu kesempatan ‘rapat dengar pendapat’ di Komisi Ekonomi AS tanggal 19 November 2009 lalu dengan berang menyatakan kepada para anggota parlemen bahwa: “Saya tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas merebaknya krisis akibat ulah kalian di masa lalu”. Pernyataan sangat keras yang sangat jarang diberikan oleh seorang pejabat publik. Pernyataan keras tersebut dia sampaikan setelah seorang politisi dari Partai Republik Texas, Kevin Braddy, memintanya mundur dari jabatannya karena dinilai tidak becus. Tuntutan mundur terhadap Geithner sebelumnya diutarakan oleh Peter DeFazio, juga dari partai Republik (the WSJ edisi 20 November 2009, “House attacks Fed, Treasury”) Kembali ke anggota Pansus, kepintarannya sudah beberapa kali terbukti. Mereka tahu benar bagaimana memanfaatkan sentimen masyarakat. Juga situasi dimana persepsi akan memainkan peran lebih dominan dalam membentuk opini publik, ketimbang fakta serta ingatan masyarakat yang cenderung pendek. Juga prinsip bad news is good news dari media massa. Hal ini misalnya ditunjukkan oleh Bambang Susatyo, anggota Pansus yang tergolong muda dari Fraksi Partai Golkar pada bulan Desember 2009 lalu. Dengan lantang dalam pernyataan di sebuah stasiun televisi, dia menyampaikan ke masyarakat bahwa Pansus memiliki bukti, bukan sekedar rumor, ketika mengutarakan adanya rekaman percakapan antara Sri Mulyani dengan Robert Tantular sang pemilik bank Century dalam rapat KSSK tanggal 20 November 2008 malam. Belakangan terbukti bahwa fakta tersebut tidak ada karena suara tersebut ternyata milik Marsilam Simandjuntak. Yang bersangkutan mungkin menyesal tidak melakukan cek dan ricek atau terburu-buru menyampaikan hal tersebut. Namun tidak sampai merasa terganggu atau merasa perlu minta maaf. Juga terlihat tidak takut dituduh memfitnah atau berbohong ke publik. Tanggal 20 Februari 2010, seperti yang diberitakan detik.com, hal yang serupa disampaikan anggota Pansus muda lainnya, yaitu Andi Rahmat dari Fraksi PKS yang menyatakan bahwa LPS menyesal melaksanakan kebijakan bail-out terhadap bank Century. Hal yang kemudian dibantah oleh Firdaus Djaelani, Kepala Eksekutif LPS. Langkah jitu lain sudah dilakukan Pansus dengan melakukan beberapa kali ‘sowan’ ke tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh politik. Hal ini tentunya selain untuk memperoleh dukungan secara moral atas kewenangan menurut UU terhadap Pansus yang sudah sedemikian kuat, juga sebenarnya bisa dibaca sebagai strategi bahwa apabila nantinya kesimpulan akhir tidak sebagaimana yang diharapkan maka hal tersebut adalah karena ketua Fraksi masing-masing. Bola berada di Pimpinan Fraksi, bukan di anggota Pansus. Lobi-lobi politik yang akan menjadi alasan dan kambing hitam. Lantas apa yang sebenarnya dijanjikan oleh Pansus kepada masyarakat? Yang jelas dan sedang ramai ditantang oleh beberapa pengamat dan tokoh masyarakat adalah agar Pansus menyebut nama! Tentu maksudnya bukan sekedar menyebut nama yang bertanggungjawab, melainkan nama-nama yang dinilai bersalah dan kadar kesalahannya karena mengambil kebijakan yang dinilai keliru dan menyalahi kewenangan. Kalau sekedar nama yang bertanggungjawab, semua orang tentunya sudah tahu. Nama Boediono, mantan Gubernur BI dan sekarang Wakil Presiden serta Sri Mulyani, Menkeu sudah sangat sering disebut. Tapi apakah mereka terbukti mengambil kebijakan yang salah dan melanggar kewenangan? Apakah Pansus benar-benar dapat membuktikan adanya konspirasi dibalik langkah yang diambil pada tanggal 20 November 2008 lalu? Jadi jangan terkecoh kalaupun nanti kesimpulan akhirnya, misalnya, sekedar menyebut nama pejabat yang bertanggungjawab tanpa harus menyatakan bahwa mereka bersalah. Kalaupun tidak, juga jangan kaget karena toh kedua nama tersebut sebenarnya sudah sangat sering mereka sampaikan. Jadi apa bedanya? Yang jelas, ending cerita yang mereka tawarkan sudah sangat jelas. Pansus dituntut melahirkan kesimpulan yang sensasional, klimaks. Yaitu bahwa ada indikasi kuat telah terjadi kesalahan, penyalahgunaan wewenang dan korupsi uang negara. Ada aliran dana ke partai politik yang menjadi latar belakang dilakukkannya bail-out bank Century. Inilah tantangan terberat sesungguhnya bagi para anggota Pansus yang pintar-pintar tersebut. Mereka jelas sudah menyadari ini sejak awal, namun ketika realitas sudah semakin dekat tentu beban berat tersebut semakin terasa pula. Terlebih, mereka menyadari banyaknya ruang abu-abu yang dilalui. Pandangan ahli hukum tata negara yang dihadirkan misalnya, berbeda menyangkut pengertian uang negara dan status Perppu. Demikian pandangan para ekonom yang dihadirkan sebagai ahli. Bagaimana para anggota Pansus tersebut menyikapi tantangan ini, akan segera terjawab beberapa hari ke depan. Apakah mereka akan kehilangan arah dan terjebak pada popularisme sesaat dengan tunduk pada arah angin berupa tekanan yang makin menguat untuk menyebut nama pihak yang bertanggungjawab dan dianggap bersalah, meskipun bisa jadi tanpa dukungan cukup bukti untuk itu. Ataukah mereka benar-benar berani menunjukkan kredibilitasnya dengan berjiwa besar menyatakan bahwa memang tidak ada yang salah atas kebijakan yang diambil, manakala ternyata tidak ada bukti yang kuat untuk itu. Sehingga meraka benar-benar memberikan tonggak baru sejarah kehidupan bernegara yang lebih baik, lebih jujur dan lebih bermartabat. Jelas ini berat, karena akan dinilai sangat tidak popular. Namun escape clause untuk inipun toh sudah disiapkan dengan bola seolah tak lagi di tangan mereka. Apapun, tentu masyarakat berharap bahwa semua yang nanti disampaikan adalah kebenaran yang obyektif dan substantif, bukan berdasarkan suatu ilusi. Dengan berpijak pada pikiran positif bahwa semuanya dilandaskan pada suatu niat baik maka jangan sampai nanti justru hal ini menciptakan kerugian bagi masyarakat yang jauh lebih besar ke depan. Atau jangan justru seperti yang disampaikan Paul Krugman dalam kolomnya di The New York Time edisi 7 Februari 2010, “America is not yet loss. But the Senate is working on it”, karena kepentingan politik sesaat.
KEMBALI KE ARTIKEL