Realitasnya Indonesia Emas diprioritaskan cukup 100 tahun terwujud -- tidak perlu seperti Amerika Serikat yang perlu waktu 200 tahun untuk menjadi negara maju -- , telah dipikir dan diperhitingkan oleh para cerdik pandai, tokoh-tokoh nasional negara ini dengan bijaksana. Kerangka besarnya sangat kuat dan indah, namun kerangka-kerangka kecilnya perlu diawasi dan dianalisis secara detail kemajuannya. Beberapa analisis muncul di benak penulis yang membuat gundah dan gamang akan kesuksesan tujuan besar dan mulia Menuju Indonesia Emas ini. Pertama, pihak pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan nasional maupun Departemen terkait lainnya, melaksanakannya, merealisasikan blue print visi Indonesia Emas ini hanya sebatas proyek. Proyek yang dilakukan per program yang ditargetkan. Apalagi terkesan Proyek akan jalan jika ada pendanaan, dan proyek akan berhenti jika sudah tidak ada dana. Walhasil, kekontinuitas program tidak jalan, hal demikian tercopy sampai jajaran tingkat yang paling bawah-- sekolah--. Hasilnya apa ? produk program yang serba parsial -- patah-patah--, bahkan putus sama sekali. Sebut saja sebagai contoh, pendidikan karakter dan budaya yang seharusnya terintegratif di setiap mata pelajaran di segala jenjang pendidikan, sekarang ini mati kutu. Kurikulum baru yang nota bene sebagai kurikulum berbasis Kecakapan Hidup -- melatih murid agar mampu survival di masa depan, dengan mengedepankan vokasional, prakarya, masih tumpang tindih pelaksanaannya di lapangan.
Kedua, tingkat perencanaan yang rendah tampak menyolok sekali terjadi di jenjang pusat maupun daerah. Terlihat fenomena sekedar berani dulu, nanti kalau ada yang tidak sesuai akan dibetulkan. Apalagi tidak semua elemen bangsa memahami visi Indonesia Emas ini yang memang minim sosialisasi. Taruh contoh pembubaran Sekolah Bertaraf Internasional, pencetakan buku ajar baru kurikulum 2014 dengan membuang buku-buku yang sudah terlanjur di cetak, Kebingungan praktisi pendidikan di tingkat sekolah terhadap implementasi pelaksanaan kurikulum 2014, penyajian pembelajaran dilapangan, dan evaluasinya. Hasilnya tampak sebagai tidak ada perubahan yang berarti pada aplikasi pembelajaran, dan kualitas outputnya.
Ketiga, ketidaksinergisan semua Institusi kenegaraan dalam menyikapi kesuksesan visi Indonesia Emas ini tercermin pada tindakan yang sendiri-sendiri dalam perjalanan bernegara. Terkesan tidak ada kata sepakat untuk menyukseskan program ini. Departemen-departemen lain berjalan sendiri yaang terkesan asal jalan. Seolah beban ini hanya dipikul oleh departemen yang hanya menyelenggarakan pendidikan saja. Sementara di kehidupan sosial masyarakat tidak ada greget sama sekali terhadap visi besar ini, di dunia penyiaran, mass media tetap bebas menayangkan hal-hal yang justru bertentangan dengan visi besar ini. Visi besar ini tidak dianggap sebagai Program Nasional.
Kalau kita tidak segera mengambil sikap Sepakat Nasional terhadap kerja besar ini, Saya kira tidak cukup power untuk kita mewujudkannya. Kita simak sejarah di Amerika Serikat, mereka punya tekad American Growth, sementara Jepang pernah menpunyai Restorasi Meiji, untuk memajukan negaranya-- kita sekarang bahkan tidak punya bentuk tekad pasti.
Jayalah Bangsa Indonesia, salam Saatnya Memberi Arti.