Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

(FiksiHorror Pemanasan) Rembulan Merah Kirmizi

9 Mei 2011   12:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:54 152 0
Malam ini, piano merah di ruang keluarga itu kembali mengalunkan simfoni duka yang sudah amat familier: Moonlight Sonata, First Movement. Nada-nada adagio dari tuts-tuts piano itu tak hanya memanggil bulan untuk hadir dalam cahaya pucatnya, ia juga memanggilku untuk bangun dan menghampiri asal suara itu. Seperti magnet, suara musik itu menarikku dalam undangan tak tertolak. Aku berjalan perlahan menuju ruang keluarga. Ternyata memang ibuku, duduk anggun di atas bangku piano, tangannya menari di atas hitam-putih tuts. Dia seolah tidak menyadari aku datang, matanya menatap kosong ke arah purnama yang pasi tak berseri. Aku putuskan untuk memanggilnya, “Ma….” Dengan sebuah sentakan, ia berhenti bermain, namun tak jua ia menoleh ke arahku. Ia hanya berkata dengan suara yang tak lebih dari sekadar bisik, “Jangan ganggu aku….” Aku bergeming, menanti kata-kata berikutnya. Namun hanya kesunyian yang tinggal di antara kami, sunyi yang mencekam dan sehitam langit malam, kontras dengan merah piano Mama. Mama juga membisu membeku, tapi sejurus kemudian tubuhnya gemetar dan ia akhirnya sesenggukan sembari membenamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya. “Pergi… pergi… biarkan aku sendiri…” ia menggumam tak jelas di antara isakannya. Bingung bercampur kecewa, aku berbalik dan kembali menyusuri koridor rumah yang panjang dan gulita, hanya diterangi oleh satu lampu fluorescent yang pinggirnya sudah mulai menghitam dimakan usia. Hanya cahaya lampu nan suram itulah yang mampu berempati padaku. “Lampu…” aku berbisik sendu. “Kenapa Mama selalu menginginkan aku pergi darinya?” Lampu itu mengedip sekali sebagai jawaban.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun