Beberapa pembicara pada kegiatan Orientasi Kewaspadaan Nasional adalah para birokrat nomor satu pada lembaga negara ditingkat provinsi, seperti Ketua DPRD Sulsel, Sekretaris Provinsi Sulsel, Kapolda Sulsel dan Komandan Kodam VII WIrabuana serta seorang akademisi dari Universitas Muhammadiyah, Makassar Arwan Azikin, S.Sos, M.Si. Sementara pada sesi penyegaran jurnalistik tampil tiga orang pengurus PWI SUlsel yang pernah menjadi peserta Diklat Jurnalistik Dewan Pers di Jakarta, seperti Andi Rivai Mannangkasi, Yonatan dan Nur Syam.
Saya pertama kalinya merasakan interaksi dengan banyak wartawan pada sebuah kegiatan. Karena tidak pernah bergaul sebelumnya, saya terkaget-kaget dengan nama-nama media yang diwakili para peserta kegiatan tersebut. Sebutlah ada media bernama Makassar Pena, Buser, Borgol dan sebagainya. Nama-nama media tersebut saya dengar ketika para peserta mengajukan pertanyaan atau pernyataan dengan menyebut nama medianya. Yang menjadi pertanyaan dalam benak saya, bagaimana mereka menghidupi medianya dan berapa kali terbit dalam sebulan atau setahun.
Tanpa bermaksud berburuk sangka, banyak media yang muncul di era reformasi dalam menghidupi para wartawannya dengan mengandalkan amplop dari narasumber. Dengan hanya berbekal kartu pers atau kartu anggota organisasi pers, wartawan bisa menghidupi dirinya dengan berharap amplop dari para narasumber atau obyek yang diberitakan. Modus lainnya adalah dengan "memaksa" instansi pemerintah tertentu untuk menjadi pelanggan medianya, sekalipun instansi tersebut tidak membutuhkan berita-berita dari media tersebut.
Semoga anggota PWI Sulsel terjauh dari perilaku wartawan-wartawan amplop yang hanya mencari hidup dari media tanpa memperhatikan isi pemberitaan dan manfaatnya dalam pembangunan nasional.