Menyikapi pemberhentian kompetisi tersebut, Menpora Imam Nahrawi mengaku bingung dengan alasan yang dilontarkan PSSI, terutama pemakaian istilah Force Majeure. "Memangnya di sini Nepal? Ada gempa, bencana, dan segala macam. Force majeure itu sesuatu yang tidak mungkin ditangani oleh manusia," ungkap Imam di Kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga, Senin (4/5/2015).
Menpora Imam Nahrawi sepertinya lupa, Force Majeure, atau dalam bahasa Indonesia disebut "kondisi kahar/keadaan memaksa (overmacht)" tidak hanya disebabkan adanya bencana alam. Istilah Force Majeure, dalam kaitannya dengan suatu perikatan atau kontrak tidak ditemui rumusannya dalam secara khusus dalam sebuah Undang-Undang tertentu. Dalam setiap bidang, "kondisi kahar" bisa berbeda-beda konsep penyebabnya. Namun, secara umum, Keadaan kahar(bahasa Perancis:force majeureyang berarti "kekuatan yang lebih besar") adalah suatu kejadian yang terjadi di luar kemampuanmanusiadan tidak dapat dihindarkan sehingga suatu kegiatan tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.Yang termasuk kategori keadaan kahar adalah peperangan, kerusuhan, revolusi, bencana alam, pemogokan, kebakaran, dan bencana lainnya yang harus dinyatakan oleh pejabat/instansi yang berwenang. (sumber: wikipedia).
Dalam buku Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa, overmacht/force majeur dapat dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan kriteria-kriteria yang membedakannya. Salah satunya, jika dikaitkan dengan kasus pemberhentian kompetisi oleh PSSI adalah force majeure/overmacht berdasarkan ruang lingkup, yakni terbagi dua menjadi overmacht umum Overmacht umum, dapat berupa iklim, kehilangan, dan pencurian serta Overmacht khusus, dapat berupa berlakunya suatu peraturan (Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah). Dalam hal ini, tidak berartiprestasi tidak dapat dilakukan, tetapi prestasi tidak boleh dilakukan.
Kembali ke masalah force majeure kompetisi, pengenaan kembali istilah Force Majeure untuk menghentikan kompetisi seakan membawa ingatan kembali ke masa Liga Indonesia, tepatnya pada musim kompetisi 1997-1998. Saat itu, PSSI menghentikan kompetisi dengan alasan "Force Majeure". Penghentian kompetisi tersebut bermula dari tindakan Kapolda Jawa Timur yang membatalkan laga Persebaya vs PSBL Bandarlampung 13 Mei, karena situasi keamanan di Surabaya tidak memungkinkan. Berikutnya, Arema Malang vs Semen Padang di Stadion Gajayana Malang, serta di Gresik Petrokimia vs PSM Ujungpandang. Dari Yogyakarta dilaporkan, Minggu 17 Mei juga dibatalkan partai PSIM Jogyakarta vs PSMS Medan.
Adalah komentar dari manajer Pelita Jakarta, Nurdin Halid, yang mula-mula "meledakkan" ide penangguhan kompetisi karena situasi sosial dan keamanan tidak memungkinkan saat itu. Nurdin menggarisbawahi, sepak bola saat ini sudah dipakai sebagai ajang kerusuhan.
PSSI akhirnya menghentikan total seluruh kompetisi sepakbola di bawah naungannya menyusul belum pulihnya kondisi stabilitas politik dan keamanan di Tanah Air. Keputusan ini diambil setelah pengurus teras PSSI mencapai kesepakatan dengan para pengurus klub dan Komisariat Daerah (Komda) PSSI, Senin 25 Mei di Jakarta. Menurut Sekum PSSI Nugraha Besoes, keputusan menghentikan total kegiatan kompetisi ini diambil setelah menimbang segala aspek, baik segi pembinaan sepakbola secara umum dan terutama aspek keamanan nasional yang belum pulih sepenuhnya.
Memang, tidaklah adil jika menyamakan penghentian kompetisi di musim 1997-1998 dengan kondisi sekarang. Tahun 1998 penuh dengan gejolak politik, yang mungkin saja dengan adanya pengumpulan massa suporter melalui pertandingan sepakbola, situasi keamanan menjadi tidak kondusif.
Tapi, juga wajar jika keputusan PSSI menghentikan kompetisi dengan alasan force majeure harus dimaklumi. Karena memang ada suatu keadaan dan kondisi dimana PSSI seakan tidak mempunyai kuasa, yang disebabkan adanya peraturan dari Menpora terkait larangan pertandingai ISL, serta surat rekomendasi Menpora kepada Kepolisian untuk tidak memberikan ijin bertanding bagi seluruh klub ISL.
Boleh saja ada yang beranggapan PSSI terlalu reaktif dan terkesan memaksakan kondisi force majeure ini. Mengingat Menpora sendiri sudah meminta PT. Liga Indonesia, selaku operator kompetisi untuk melanjutkan kompetisinya mulai tanggal 9 Mei. Tapi sayangnya, keinginan Menpora tersebut tidak dibarengi dengan kebijakannya mencabut larangan bertanding bagi klub-klub dibawah PSSI.