Dulu sempat dihembuskan isu terkait teori pencitraan dari Halma Strategic, yang secara singkat berisi tiga strategi PSSI Djohar Arifin untuk mengamankan kekuasaannya. Yaitu penguasaan social network, media mainstream, serta grass root communication. Untuk menguasai jejaring sosial, dibentuklah berbagai akun bayangan dan tokoh-tokoh fiktif untuk penggiringan opini. Sementara untuk penguasaan media mainstream dilakukan dengan “membeli” jurnalis-jurnalis agar bersedia melakukan black campaign bagi oposisi. Dan untuk komunikasi ke akar rumput dalam artikel tersebut disebutkan bahwa PSSI Djohar Arifin membayar massa untuk turun ke jalan apabila diperlukan.
Pertanyaannya, apakah teori diatas sudah terbuktikan? Faktanya tidak. Malah citra PSSI semakin mengabur dan tambah tidak karuan. Berbagai blunder PSSI, baik itu secara organisasi maupun produk-produknya (timnas dan liga) selalu diberitakan jelek. Sedangkan keberhasilan PSSI hampir tidak ada yang memberitakan. Yang sering terjadi, media seakan selalu membesarkan kiprah pihak yang berseberangan. Bahkan, terkait poin ketiga dari teori Halma tersebut, adakah berita yang menyebutkan PSSI dibawah Djohar Arifin membayar massa untuk berdemo? Tidak, yang ada malah sekumpulan suporter yang berdemo di Bundaran HI beberapa waktu lalu yang menuntut mundur Djohar Arifin. Dari fakta-fakta diatas, jelas strategi Halma untuk pencitraan tidak berhasil, dan gagal total.
Lantas, dimana sebenarnya Halma Strategic ikut bermain? Jika dirunut kebelakang, Halma Strategic ikut bermain bahkan sebelum kepengurusan PSSI dibawah Djohar Arifin terbentuk. Fakta bahwa pendiri Halma, Halim Mahfudz ikut dalam kelompok K-78 yang mengusung pasangan GT dan AP adalah petunjuk kuat bahwa strategi Halma bukan sekedar masalah pencitraan belaka. Halma Strategic-lah yang berperan sebagai operator PSSI dalam menghadapi 'perang' perebutan kekuasaan ini.
Tulisan ini akan mengupas tuntas strategi Halma. Hampir semua perkiraan strategi dalam tulisan ini, saya kemas ulang dari ulasan rekan Christ Abraham di FDSI. Dan untuk lebih memudahkan membaca dan memahami, sengaja dipisah menjadi beberapa bagian, sesuai urutan waktu, hingga nanti di akhir bagian strategi Halma akan turun menjelang/sesudah pertemuan JC di Kuala Lumpur. Hanya sekedar ingin mengetahui, apakah benar perkiraan strategi ini memang tepat atau tidak.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Selama satu tahun kepengurusan PSSI, setelah kemarin memposisikan diri jadi subjek teraniaya dan dihajar habis-habisan, PSSI memilih diam dan bekerja selama 1 tahun agar memiliki portofolio kerja untuk sedikit demi sedikit mengcounter tudingan-tudingan KPSI. Sikap kalem Djohar Arifin bukan karena banci atau karena watak dasarnya yang lemah lembut tapi memang sudah strategi. KPSI selalu termakan dalam psywar PSSI, merasa menang dan diatas angin, dan emosi meledak-ledak. Apalagi karakter para pembangkang semuanya adalah attacker (kecuali Djoko Driyono, yaitu operator dan gelandang).
Masyarakat akan termakan dengan permainan KPSI agar apa ? Suporter mengaburkan (dalam hal ini suporter diposisikan sebagai kabut atau kamuflase) strategi PSSI agar terpilahlah kelompok yang SERIUS ingin membangun Industri sepakbola tanpa didasari dengan ego kebintangan KLUB. Tidak percaya? Coba baca pergerakan PSSI yang memilah antara money oriented klub dan pemain (secara tidak sadar), para klub yang setia dengan PSSI dan FIFA serta bekerja dalam diam, dengan cara sedikit memberi pancingan ke klub (melalui LPIS, seperti gaji terlambat, pelaksanaan kompetisi "terlihat kacau", wasit seakan tidak diperhatikan), agar apa? Supaya jangan terlalu terlihat sempurna. Apakah memang LPIS bisa sempurna? Bisa! Tapi tentu akan sangat mencurigakan. Strategi dan manajemen LPI bisa sempurna, K-78 bisa sempurna, masa dalam hitungan jam PSSI jadi terlihat tidak solid dan bodoh? Coba analisa kembali, apakah sponsor sekelas Coca-Cola, Microsoft, dan sponsor besar LPI bisa dengan mudah menerima penggabungan LPI ke LSI yang terkenal korup dan kotor di kalangan pengusaha? LPIS bisa mendatangkan sponsor besar dan solid bukan tanpa hitung bisnis dengan penyandang dana, misalnya, Coca-cola sudah komitment saat penyelengaraan LPI bisa dikatakan adalah sponsor sekelas Djarum di LSI. Tidak mungkin Coca-cola tidak menuntut uang yang telah mereka berikan yang saya yakin bukan jumlah kecil, saat LPI harus berhenti dan bergabung dengan LSI. Mungkin ada yang bilang, masuknya beberapa perusahaan kelas kakap seperti Coca-cola dan Microsoft, itu bagian dari pencitraan LPI dulu. Bahkan, demi pencitraan tersebut, LPI rela membayar mahal pada perusahaan tersebut agar bersedia image mereka dipasang di sideboard lapangan. Apakah mungkin perusahaan sekelas Coca-cola dan Microsoft bersedia mempermalukan diri sendiri dengan menerima bayaran dari pihak luar untuk penggunaan image mereka?
Kalau diruntut, dibelakang PSSI adalah para ahli perang yang terbukti dan teruji. Ketika MoU ditandatangani, bisa dibilang itu adalah kehebatan team negosiator PSSI sehingga seluruh poin MoU sebenarnya sangat condong ke PSSI. Joint Committe adalah muara penggiringan langkah oleh PSSI terhadap FIFA dan AFC, sehingga kali ini FIFA dan AFC tidak akan bisa bermain di dalam karena CAS bisa menjerat mereka semua! Lihat, betapa Sekjend AFC, Alex Soosay tidak bertaji membantu KPSI (yang kata beberapa kalangan lebih dekat dengan pihak oposisi). Kenapa? Karena PSSI membuat FIFA dan AFC sedari awal terpaksa membuat keputusan-keputusan untuk secara tidak sengaja tercebur untuk membantu PSSI. Lihat juga mengapa FIFA, untuk pertemuan JC mendatang tidak mewakilkan pada Thierry Regginass, yang secara history sudah terbukti dekat dengan gerbong penumpang lama. Namun, FIFA malah lebih memilih Marco Villiger, dari bagian Legal Affairs. Hal ini sebagai pertanda, bahwa pertemuan JC di Kuala Lumpur nanti salah satunya adalah untuk mengetok palu keputusan, mana yang legal dan mana yang ilegal.
bersambung..................