Sebagai akibat dari dualisme kepengurusan di tubuh Pengprov PSSI Jabar, Dewan Hakim PON menggelar sidang untuk memutuskan tim mana yang berhak bertanding di PON 2012. Sebelumnya, sejak babak kualifikasi (pra PON), yang bertanding adalah tim bentukan Bambang Sukowiyono, caretaker Pengprov yang ditunjuk oleh PSSI. Namun, Tony Apriliani, yang merasa masih menjabat ketua Pengprov PSSI Jabar menggugatnya ke BAORI. Badan arbitrase bentukan KONI ini kemudian memenangkan gugatan Tony. Anehnya, hingga dua pertandingan di putaran final PON, yang berlaga masih tim bentukan Bambang Sukowiyono.
Dewan Hakim PON kemudian menggelar sidang untuk menuntaskan kasus tersebut. Dalam sidang yang digelar 9 September lalu, Dewan Hakim PON mengeluarkan 5 butir keputusan. Dalam butir keempat keputusan tersebut ditegaskan, Dewan Hakim PON memberikan kewenangan pada Tony Apriliani untuk menjadi manajer tim sepakbola Jabar di PON Riau. Butir kelima kemudian menegaskan pula, bila putusan butir keempat tidak dilaksanakan, tim PON Jabar akan didiskualifikasi. Meski sudah diputuskan seperti itu, tim PON Jabar tidak mengindahkannya. Seperti yang terlihat saat pertandingan melawan Gorontalo, Tony Apriliani tidak hadir. Yang hadir malah manajer dari tim bentukan Bambang Sukowiyono, Dan Rizawardhana.
Jika keputusan Dewan Hakim PON dilaksanakan, seharusnya tim sepakbola PON Jabar terdiskualifikasi. Namun hal ini batal dilaksanakan akibat intervensi dari Ketua Umum KONI, Tono Suratman. Hal ini tentu saja mengecewakan tim PON Jatim, yang karena putusan diskualifikasi tersebut seharusnya ikut lolos menemani tim Sumatera Utara yang keluar sebagai juara grup B.
Terlihat jelas, betapa cabang sepakbola di PON kali ini begitu amburadul semenjak ditinggal PSSI yang kecewa karena PB PON dan juga KONI dianggap tidak menghargai PSSI. Dewan Hakim PON seperti tidak mengerti manual kompetisi. Mana ada di dunia ini sebuah tim didiskualifikasi hanya karena sang manajer tidak hadir? Bahkan AFC saja hanya menghukum denda tim yang tidak ditemani manajer dan media officernya saat konferensi pers maupun saat pertandingan. Seperti kasus yang dulu pernah dialami oleh Sriwijaya FC dan juga Arema (IPL) saat ini.
Begitu pula, jika PB PON konsisten melaksanakan aturan dari Dewan Hakim PON yang sudah diputuskan, bagaimana bisa batal putusan tersebut hanya karena intervensi seseorang yang berada diluar yurisdiksi? Apakah wewenang ketua umum KONI begitu besar hingga bisa menganulir sebuah keputusan yang dikeluarkan oleh Dewan Hakim? Ibaratnya di Olimpiade, apakah bisa ketua IOC menganulir keputusan dari dewan juri/dewan hakim pada sebuah pertandingan? Logika orang awam pun menjawabnya tidak.
Sungguh, PON Riau kali ini benar-benar menjadi hajatan negara yang sangat kacau. Akibat ego dan konflik kepentingan pada kelompok tertentu, hajatan negara yang semestinya bisa dinikmati secara nikmat dan sehat oleh masyarakat menjadi hancur lebur.