Mohon tunggu...
KOMENTAR
Olahraga

Membandingkan Kasus PSSI dan PFF

2 Juni 2012   16:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:28 1263 7
Kisruh yang melanda PSSI boleh dikata hampir sama dengan apa yang pernah terjadi di tubuh Federasi Sepakbola Philipina (PFF). Namun, ada perbedaan mendasar dari kedua kasus tersebut. Pertama adalah dasar yang dipakai untuk menggulingkan ketua umumnya, dan yang kedua adalah proses terjadinya penggantian tersebut.

Pangkal kisruh di PSSI sebenarnya adalah masalah penggantian format kompetisi, perpindahan hak siar, serta penggantian operator liga. Tiga masalah inilah yang dijadikan dasar bagi orang-orang yang tidak puas dengan kepemimpinan Djohar Arifin untuk menggulingkannya dari kursi ketua umum PSSI. Dan tiga masalah ini juga yang dijadikan alasan bahwa Djohar Arifin sudah kehilangan legitimasinya dimata anggota PSSI.

Dari tiga masalah tersebut, kemudian dikembangkan dengan gencarnya bahwa Djohar Arifin sudah melanggar statuta, sudah melanggar hasil Kongres Bali, dan sudah tidak pantas dan tidak becus memimpin PSSI. Kelompok ini juga selalu mendengungkan bahwa kedaulatan PSSI berada ditangan anggotanya. Sayangnya, mereka lupa bahwa PSSI juga merupakan property milik FIFA. Meskipun ada anggota PSSI yang menginginkan pergantian kepengurusan, jika FIFA menilai hal tersebut tidak sesua dengan standar aturan dan hukum yang berlaku, sia-sia saja.

Meski dinilai janggal dan terlalu mengada-ada, kelompok yang menamakan dirinya Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia tetap nekat menyelenggarakan Kongres Luar Biasa. Berbekal 'kepercayaan' yang diklaim berasal dari 2/3 anggota PSSI, mereka akhirnya memilih La Nyalla Matalitti sebagai ketua umum berdasarkan hasil dari apa yang mereka sebut Kongres Luar Biasa. La Nyalla sendiri merupakan mantan anggota Exco, yang bersama 4 anggota Exco lainnya dipecat oleh Komite Etik PSSI karena melanggar etika berorganisasi.

Hampir 3 bulan sejak penyelenggaraan KLB Ancol tanggal 18 Maret kemarin, La Nyalla Matalitti masih terus mencari legalitas dari FIFA. Namun, ada lima indikator yang mungkin dianggap FIFA bisa meruntuhkan kepercayaan La Nyalla Matalitti sebagai ketua umum PSSI yang sah.

1. FIFA sejak awal tidak mengakui adanya sebuah badan bernama KPSI. Padahal, KPSI adalah badan ad-hoc yang menyelenggarakan KLB Ancol.

2. Untuk menghentikan Kongres Tahunan PSSI dan mengharapkan FIFA mengakui KLB Ancol, KPSI dan klub anggota ISL mengajukan gugatan ke Badan Arbitrase Olahraga Internasional (CAS). Gugatan pertama dari La Nyalla dan tiga klub ISL yang meminta terselenggaranya KLB karena PSSI sudah melanggar statuta ditolak dengan putusan final oleh CAS. Gugatan kedua dari empat orang mantan anggota Exco, meminta putusan sela supaya KLB bisa dijalankan dan Kongres Tahunan PSSI dihentikan juga ditolak.

3. Keputusan PSSI tentang format kompetisi, sebagaimana yang dijadikan dasar masalah oleh KPSI dan dianggap melanggar statuta, merupakan keputusan yang didasarkan atas rekomendasi AFC.

4. Mekanisme KLB Ancol, jelas-jelas melanggar statuta dari PSSI dan FIFA.

Statuta PSSI Pasal 31 Kongres Luar Biasa

ayat 2 : Komite Eksekutif akan mengadakan kongres luar biasa apabila diminta secara tertulis oleh 2/3 (dua per tiga) anggota PSSI. Permintaan tersebut harus mencantumkan agenda yg akan dibicarakan. Kongres luar biasa harus diadakan dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah diterimanya permintaan tersebut. Apabila kongres luar biasa tidak diadakan, anggota yang memintanya dapat mengadakan kongres sendiri. Sebagai usaha terakhir, anggota bisa meminta bantuan FIFA.

5. La Nyalla Matalitti, yang terpilih sebagai ketua umum, merupakan mantan Exco yang sudah dipecat oleh PSSI sendiri. Apakah ada kejadian, dimana seseorang yang sudah dipecat, kemudian diangkat menjadi ketua umum?

Sekarang, mari kita bandingkan dengan kasus yang terjadi ditubuh PFF. Jose Mari Martinez, presiden PFF dilengserkan dari kursi presiden karena diduga menyelewengkan dana olahraga dan pemalsuan dokumen. Anggota PFF menggelar Kongres PFF ke - 7 pada 27 November 2010. Acara Kongres yang  direstui oleh Komite Olimpiade Philipina akhirnya memilih Mariano Araneta sebagai presiden PFF yang baru.

Masalah akhirnya timbul karena FIFA dan AFC ternyata masih mengakui Martinez sebagai presiden federasi yang sah. Namun, berkat komunikasi secara terus menerus dengan FIFA, akhirnya pada tanggal 20 Desember 2010, FIFA mengeluarkan surat resmi yang berisi pengakuan atas Mariano Araneta. Dalam surat tersebut, FIFA menjelaskan sudah meminta opini dari Ketua Komite Asosiasi Geoff Thompson yang juga menjabat sebagai Wakil Presiden FIFA, untuk mengeluarkan fatwa dan validitas hasil kongres.

Dalam opininya, Geoff Thompson mengatakan bahwa hasil kongres PFF terakhir itu sudah sesuai dengan statuta PFF, tentang penggantian presiden PFF, yang isinya juga sama dengan statuta PSSI. Geoff Thompson juga menambahkan, bahwa Boards of Governor (komite executive-nya PFF) memang sudah melakukan mosi tidak percaya untuk menurunkan Jose Mari Martinez dari kursi presiden PFF.

Dari kasus antara PSSI dan PFF dapat dilihat perbedaan yang mendasar. Pertama, untuk PFF, ada restu dari komite executive untuk mengganti presiden PFF. Sementara dalam kasus PSSI, permintaan anggota untuk menggelar KLB dan mengganti Djohar Arifin tidak mendapat persetujuan dari komite executive. Memang, anggota yang memintanya bisa menyelenggarakan sendiri KLB, dengan catatan, meminta bantuan dari FIFA untuk menyelenggarakannya.

Kedua, dasar yang dijadikan alasan untuk mengganti presiden PFF sangat kuat. Jose Mari Martinez tersandung kasus penyelewengan dana olahraga dan pemalsuan dokumen. Ini merupakan masalah pidana. Dan statuta FIFA mengharamkan orang yang menjadi terpidana menjabat sebagai ketua federasi. Sedangkan untuk PSSI, tidak ada alasan yang kuat untuk mengganti ketua umum. Kalau hanya sebatas format kompetisi, hak siar dan operator liga, apakah itu melanggar statuta?

Dalam mempelajari kasus di PFF, FIFA hanya membutuhkan waktu kurang dari satu bulan. Terhitung dari terselenggaranya kongres pada tanggal 27 November 2010, hingga keluarnya surat keputusan per tanggal 20 Desember. Sementara itu, semenjak terselenggaranya KLB Ancol tanggal 18 Maret, sampai detik ini (2 bulan lebih) FIFA belum pernah menanggapi hasil KLB tersebut. Memang FIFA sudah memerintakah AFC untuk membentuk tim Task Force. Namun, esensi dari tim Task Force tersebut adalah adanya dualisme kompetisi, bukan dualisme federasi.

Dengan sudah dijadwalkannya pertemuan kedua dengan tim Task Force AFC minggu depan, semoga saja permasalahan yang mendera PSSI lekas terselesaikan. Jika yang lain sibuk mencari pengakuan, PSSI diharapkan terus berupaya menjalankan program-programnya. Memperbanyak pertandingan persahabatan, pembinaan sepakbola usia dini, pembenahan kompetisi, dan jangan lupakan pembinaan pada suporter. Agar sepakbola kita menjadi lebih baik.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun