Menyikapi ditunjuknya Ramadhan Pohan sebagai manajer Timnas PSSI di turnamen Al Nakbah, banyak pihak yang menuduh Djohar Arifin tak ubahnya Nurdin Halid yang mempolitisasi sepakbola. Tapi ada satu perbedaan yang menyolok dari keduanya. Jika Nurdin Halid membawa PSSI pada satu partai yaitu Golkar, Djohar Arifin seakan membentuk koalisi, dengan memasukkan beberapa politisi dari partai-partai yang berbeda.
Sebenarnya, mengapa Djohar Arifin harus menunjuk orang-orang partai? Saat Hasrul Azwar, seorang politisi dari PPP ditunjuk sebagai manajer timnas U21, tak ada gejolak yang berarti. Hal yang berbeda terjadi saat Ramadhan Pohan dari Partai Demokrat ditunjuk sebagai manajer timnas senior yang akan mengikuti turnamen Al Nakbah di Palestina.
Hasrul Azwar, sebagaimana Ramadhan Pohan adalah teman dekat Djohar Arifin semasa masih aktif di kegiatan sosial politik di Sumatera Utara. Mungkin sekali Djohar Arifin ingin mengajak kawan-kawan dekatnya yang berkecimpung di dunia politik, membantunya mengurus PSSI sekaligus menghadapi ancaman perpecahan dari KPSI yang didukung oleh salah satu partai politik kuat. Hasrul Azwar terkenal sebagai politikus yang jago lobi dan negosiasi, terutama masalah budget dan anggaran. Sedangkan Ramadhan Pohan, sebagai mantan wartawan, memiliki banyak koneksi media didalam maupun di luar negeri.
Nah, sudah bisa ditebak ke arah mana strategi dari Djohar Arifin. Pemilihan dua politikus ini diharapkan bisa membantu Djohar Arifin dalam hal penggalangan dana dan komunikasi media yang tidak dikuasai oleh Djohar Arifin. Sampai saat ini, Menegpora memang masih menangguhkan anggaran buat timnas. Sekali lagi, dengan alasan masih adanya diskriminasi dalam pemilihan pemain. Masuknya Hasrul Azwar, ditambah Ramadhan Pohan yang berada dalam satu partai dengan Menegpora, diharapkan bisa mempengaruhi sikap Menegpora tersebut.
Selama ini, PSSI dibawah Djohar Arifin pontang panting menghadapi serangan dari pihak KPSI. Pihak oposisi mendapat dukungan yang sangat kuat dari Golkar. Disamping penguasaan media mainstream, KPSI lewat lobi-lobi politiknya sedikit banyak akhirnya mempengaruhi beberapa keputusan pemerintah yang seharusnya berada di pihak yang netral. Menegpora, KONI, bahkan Kepolisian tak luput dari pengaruh lobi-lobi KPSI yang sengaja dijadikan kendaraan politik oleh Golkar untuk memuluskan langkah mereka dalam Pemilu 2014.
Bisa diibaratkan, PSSI menghadapi KPSI hanya bersenjatakan bambu runcing, sementara lawannya sudah menguasai kendaraan tempur. Pendekatan PSSI pada orang-orang politik, diharapkan bisa memback-up mereka di tengah gempuran orang-orang politik yang berada dibelakang KPSI. Legalitas dari FIFA tidaklah cukup bagi PSSI. Mereka butuh legitimasi secara politik, karena memang sepakbola Indonesia terlalu sulit untuk dilepaskan dari politik praktis.