Sudah lama kedua orang kaya di Indonesia ini bersahabat, saling menolong dalam beberapa kesempatan, terutama pada olahraga kecintaan mereka, sepakbola. Dari persahabatan keduanya-lah sepakbola Indonesia mengalami kejayaan. NDB dengan pengelolaan liga senior dan Timnas PSSI, dan AP dengan pembinaan usia muda melalui liga Medco, Campina yang tentunya sudah direstui oleh PSSI saat itu.
Jebolnya pengeboran kilang minyak milik PT. Lapindo Brantas Inc. di desa Renokenongo, tak jauh dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-1) yang mengakibatkan banjir lumpur yang menggenangi hampir seluruh desa merusak persahabatan NDB dan AP. PT. Lapindo Brantas Inc. sendiri merupakan perusahaan yang komposisi sahamnya 50% dimiliki oleh Bakrie grup lewat PT. Energi Mega Persada, Medco Energi sebesar 38% lewat PT. Medco E&P Brantas serta sisanya dimiliki oleh grup Santos. NDB menganggap AP lari dari tanggung jawab dengan menjual seluruh sahamnya saat tragedi lumpur terjadi. Sedangkan AP beranggapan Bakrie grup-lah yang harus bertanggung jawab karena merupakan operator dan pemegang saham utama.
Rusaknya persahabatan antara NDB dan AP akhirnya merembet pada sepakbola. Saat kedudukan NDB mulai goyah dengan maraknya demo pada rezim Nurdin Halid, AP muncul dengan proyek "breakaway leage", meniru langkah NDB saat membuat Galatama dulu. Hingga akhirnya dengan membonceng gerakan supporter, AP berhasil mendongkel NDB dari PSSI.
NDB yang tersingkirkan rupanya tidak terima. Baru 6 bulan menjabat, Djohar Arifin, yang sering diidentikkan dengan "boneka" AP mulai direcoki. NDB memulai dengan proyek "pembangkangan" yang menghasilkan liga tandingan, sama seperti yang dibuat AP. Kemudian dilanjutkan dengan pembentukan organisasi tandingan untuk mengkudeta kepengurusan PSSI saat ini.
Pertarungan keduanya masih berlanjut. Tidak mudah menebak siapa pemenangnya. Ibarat dua gajah bertarung, para semut yang jadi korban. Inilah kondisi persepakbolaan Indonesia saat ini. Ketika dua orang kaya pecinta bola bertengkar, dengan dalih ingin memajukan persepakbolaan Indonesia. Para supporter dan pemain bola yang jadi korban, tidak bisa menikmati sistem kompetisi sepakbola yang kondusif, yang akan membawa kejayaan sepakbola Indonesia.