Ada satu kisah tentang seorang wanita karier yang tengah mengalami penurunan kinerja di kantor. Ia baru saja keluar dari ruangan bosnya dengan wajah lesu. Si bos baru saja menegurnya karena absensinya yang bolong-bolong. Kualitas hasil kerjanya pun disebut-sebut tidak lagi memuaskan. Banyak klien yang merasa kurang puas dengan performanya dan memutuskan untuk tidak melanjutkan kontrak. Si bos sekaligus memberi peringatan: Jika ia melakukan kesalahan ataupun tindakan-tindakan indisipliner lagi, ia akan dimutasi ke divisi lain dengan resiko turun ke jabatan yang lebih rendah. Alasannya: ia dianggap tidak lagi kompeten untuk menjabat posisi yang sekarang.
Sekembalinya dari ruangan si bos, ia lalu merenung di meja kerjanya, terpuruk. Ia merasa selama ini sudah melakukan yang terbaik demi perusahaan, tapi kenapa masih disalahkan? Ada sedikit ketidakterimaan dalam hatinya, namun apa mau dikata, ia pun tidak bisa membantah bila akhir-akhir ini ia memang banyak melakukan kesalahan di kantor. Memang benar bahwa belakangan ini ia sering terlambat masuk kantor. Selain tak mampu menghindari macet, ia pun kadang terpaksa mesti berangkat agak siang karena harus mengantarkan anak bungsunya dulu ke Taman Kanak-Kanak jika suaminya sedang tugas ke luar kota atau tak sempat mengantar.
Tak bisa dipungkiri juga bahwa akhir-akhir ini ia sulit berkonsentrasi mengerjakan tugas-tugas kantor. Data-data yang diprosesnya banyak yang hasilnya tidak akurat. Ia heran, lantaran sebelumnya ia selalu menunjukkan prestasi mengagumkan di kantor.